Sabtu, 29 Januari 2011

Pentingnya Menegakkan Diagnosis

Pergi ke dokter merupakan sesuatu yang biasa ketika kita sakit. Tinggal ke dokter yang mana kita akan pergi. Apakah ke dokter yang memiliki kualitas yang baik atau yang biasa saja? Apakah ciri dokter yang baik dan dokter yang bisa dikatakan buruk?
Semua dokter belum tentu pandai. Apalagi saat ini sangat mudah untuk masuk ke yang namanya Fakultas Kedokteran Umum. Hanya yang penting punya uang yang banyak saja sekarang bisa masuk ke Fakultas Kedokteran Umum tertentu. Maka dari itu, perlu selektif dalam memilih dokter. Kemampuan dokter sebenarnya tidak ditentukan oleh nilai IPKnya atau banyaknya seorang dokter TA (Titip Absen). Kemampuan dokter yang sesungguhnya ada pada kemampuan anamnesis dan diagnosisnya. Dokter yang benar-benar memiliki kemampuan, maka ia akan mendiagnosis penyakit tersebut dengan baik.
Suatu ketika, saya pergi ke seorang dokter di sebuah rumah sakit yang tergolong dalam rumah sakit baik di Jogja. Saya diperiksa dan menyebutkan gejala-gejala yang menyertai penyakit saya. Pada umumnya, proses anamnesis dokter umum sangat singkat. Inilah yang kadang membuat diagnosis yang diberikan tidak tepat. Setidaknya, anamnesis dilakukan sesuai dengan porsi yang diperlukan. Jangan terlalu cepat, jangan juga terlalu lama. Kemudian, setelah proses anamnesis selesai, dokter segera meresepkan obat. Dan alangkah terkejutnya saya karena ternyata obat-obat yang diberikan tidak merujuk pada penyakit yang disertai gejala-gejala yang saya alami. Melainkan untuk mengobati gejala-gejala yang ada pada diri saya.
Contoh ini merupakan dokter yang kurang baik. Dokter ini hanya mengobati gejala-gejala yang saya sebutkan tadi. Otomatis obat yang diberikan merupakan obat untuk gejala-gejala saya. Jadi misalkan ada 5 gejala yang saya sebutkan, maka ada 5 obat pula untuk mengobati gejala saya. Ini merupakan contoh dokter yang buruk. Sekalipun IPKnya 4,00 tapi tidak punya kemampuan untuk mendiagnosis, maka semuanya sama saja nol besar. Kemampuan dan kredibilitas seorang dokter terletak pada bagaimana ia dapat mendiagnosis penyakit. Diagnosis ito sendiri dapat diperoleh dari anamnesis. Baik dari riwayat hidup pasien dan melalui gejala-gejala yang disebutkan pasien. Dari gejala-gejala dan riwayat hidup atau riwayat penyakit tersebut, dapat ditarik kesimpulan tentang sebuah penyakit. Maka, obat yang diberikan tersebut seharusnya mengobati penyakit tersebut, bukan mengobati gejala.
Sekarang ini di Indonesia masih banyak sekali dokter yang seperti itu. Hanya mengobati gejala, bukan mendiagnosis dan mengobati penyakit. Akibatnya, obat yang diberikan pun menjadi banyak. Maka, menjadi wajar ketika seorang pasien datang ke dokter dan memiliki rasa enggan untuk mengungkapkan gejala-gejala yang dialaminya karena budaya yang seperti ini. Tentu pasien merasa enggan, karena mereka berpikiran semakin banyak gejala yang disebutkan, maka semakin banyak obat yang harus dibeli, makin banyak pula biaya yang keluar. Di sisi dokter, maka dokter yang benar-benar ahli pun tidak dapat melakukan penyembuhan penyakit secara menyeluruh karena adanya gejala yang tidak tersebutkan dan menyebabkan kabur diagnosis. Dan ini tentunya menjadi tugas seorang calon dokter dan dokter muda untuk kembali pada patern : menegakkan diagnosis terlebih dahulu, baru kemudian meresepkan obat yang dianggap perlu. Bukannya menegakkan anamnesis dan memberikan obat sejumlah gejala yang disebutkan pasien.

Rabu, 26 Januari 2011

Mengelola Hidup A'la Surabaya

Hidup di Surabaya. Sebuah perbedaan yang kadang membuat anjlok mental. Dari Yogyakarta, sebuah kota yang boleh dibilang masih cukup agraris dengan lingkungan yang asri dan penduduk yang ramah, pindah ke Surabaya, sebuah kota metropolitan dengan kultur manusianya yang kurang ramah. Berikut ini adalah ulasan pendek mengenai bagaimana hidup di Surabaya, apa tantangannya, dan serba-serbi Surabaya.

Kultur Hidup
Jawa Timur, sebuah daerah yang memang berada di bagian timur Jawa dengan Surabaya sebagai ibu kotanya. Mentalitas nekad masih mendominasi kota ini. Maka tak jarang jika ada sebutan BONEK (Bondho Nekat) untuk suporter tim sepakbola dari kota Surabaya. Mentalitas nekad ini sepertinya memang sudah mengakar di dalam diri orang-orang Surabaya. Ini tercermin dari cara berlalulintasnya dan cara orang-orang Surabaya dalam mengambil sebuah keputusan. Kadang keputusan yang diambil benar-benar hanya berlandaskan kenekatan saja dan tidak melihat kondisi riil di lapangan. Mental seperti ini sangat mengerikan, terutama dalam sebuah organisasi. Yang bisa mengimbangi kondisi seperti ini biasanya hanyalah dengan berpikir tenang dalam merencanakan segala hal.

Gaya Bicara
Seolah tidak ada yang berbeda logat bicara orang-orang Surabaya dengan ketika berbicara di JB. Umpatan demi umpatan dengan sangat mudah keluar. Kata-kata "Jancuk" dan lain sebagainya menjadi kata yang biasa karena memang gaya hidup masyarakat Surabaya yang keras. Bicara dengan nada tinggi juga menjadi kebiasaan. Bahasa Jawa Timur yang terdengar kasar pun sering didengar. Orang-orang dari Jogja, Jawa Tengah, Jawa Timur Mataraman (Madiun, Magetan, Ponorogo) biasanya cukup bingung dengan bahasa Surabaya karena memang beberapa kosakata diganti. Seperti misalnya "kowe" menjadi "koen (baca: kon)", "kuwi" menjadi "iku", "tibo" menjadi "lugur" dan lain sebagainya. Biasanya, setelah 3 bulan, kosakata tersebut dapat terkuasai dengan cukup baik.

Lalu Lintas
Ini mungkin yang menjadi keluhan utama orang-orang daerah barat jika pindah ke Surabaya. Kemacetan lumayan menjadi di daerah ini. Terutama di jalan-jalan utama semacam Jalan Ahmad Yani, Jalan Darmo, Jalan Diponegoro, dan Tunjungan. Tapi, jika berkuliah di ITS maupun UNAIR, akan sangat jarang melalui jalan-jalan tersebut. Kemacetan di daerah Unair dan ITS tidak separah di jalur utama tersebut. Kalau ingin ke daerah-daerah yang tergolong jalur utama, biasanya waktu tempuh akan berlipat. Jarak 12 km kalau di Jogja bisa ditempuh dalam waktu 15 menit. Kalau di Surabaya, paling cepat 30 menit. Standarnya 45 menit-1 jam. Jumlah sepeda motor di Surabaya juga sangat banyak. Sehingga, terkadang sangat rumit mengatur lalu lintas.
Juga perihal Polisi di Surabaya. Polisi di Surabaya lebih banyak mengincar plat-plat non Surabaya (non plat L). Jika plat luar Surabaya, biasanya akan sangat mudah tertilang. Tapi, jangna khawatir karena Polisi hanya ada di jalur-jalur protokol. Hanya waktu tertentu (pagi, sore) di jalur-jalur kecil. Yang penting teliti saja membawa rambu karena rambu-rambu di Surabaya banyak yang disembunyikan.

Cara Mengemudi
Ini juga yang sangat sulit diikuti oleh orang-orang dari daerah Barat. Cara mengemudi orang Surabaya rata-rata nekad. Diilhami dari mentalitas nekad juga. Rata-rata mereka gemar memanfaatkan celah sekecil apapun. Yang penting bisa masuk. Kalau orang-orang membawa mobil, biasanya gemar memepeti mobil lain, meskipun tidak ada masalah. Kalau sepeda motor, biasanya bawaannya seenaknya sendiri. Pelan ada di tengah, belok tanpa aba-aba langsung belon, kalau diklakson malah marah-marah. Yang membedakan dari daerah lain, biasanya sepeda motor kalau diklakson akan minggir. Kalau di Surabaya malah makin ke tengah dan jarang minggir. Kesabaran yang perlu dilatih untuk mengemudi di Surabaya. Prinsipnya, jaga jarak karena banyak mobil sering mengerem mendadak, dan tetap sabar dan jaga perasaan. Karena orang-orang Surabaya, biasanya lebih berani dengan kendaraan plat non-L. Suatu ketika pernah saya diajak balapan oleh seorang yang tak dikenal (baru keluar dari pasar) pada saat berhenti di lampu merah. Tapi tidak saya tanggapi karena kalau ditanggapi, dilayani sampai ke Malang pun tidak akan ada henti-hentinya.

Kondisi Jalan
Untuk kondisi jalan di Surabaya, saya tidak mau komentar banyak. Pada intinya, pemerintah kota Surabaya pandai membuat jalan baru, tapi tidak pandai merawat jalan lama. Banyak jalan yang rusak. Nyaris 70 % jalanan di Surabaya bergelombang parah dan 10 % nya berlubang. Jadi, siap-siap saja yang bawa sepeda motor tebengnya akan cepat rusak dan sokbreaker akan mudah jebol.

Makanan
Untuk cita rasa makanan di Surabaya tentu berbeda dengan yang di Jogja. Bila di Jogja terbiasa dengan rasa manis, maka di Surabaya harus terbiasa dengan rasa asin. Nyaris semua makanan di Surabaya memiliki rasa asin. Bahkan yang bertuliskan Asli Jogja atau Solo sekalipun juga rasanya asin. Suatu ketika pernah membeli Gudeg di warung bertuliskan 'Asli Jogja' sekalipun, gudegnya juga masih asin.
Pedagang kebanyakan berasal dari Lamongan, Jawa Timur. Untuk daerah sekitar kampus Unair (Kampus A dan kampus B) sentra makanan ada di Karang Menjangan dan Dharmawangsa. Disana menawarkan berbagai makanan khas Lamongan. Mulai dari penyetan Lamongan, Soto Lamongan, hingga Nasi Goreng Lamongan. Beberapa diantaranya juga ada yang khas Priangan Bandung, seperti Batagor atau siomay, dan ayam goreng Bandung. Yang cukup terkenal dan ngetrend adalah mie pangsit (mie ayam kalau di Jogja). Nasi Goreng selain Nasi Goreng Lamongan juga ada Nasi Goreng Surabayanan dengan rasa seperti Nasi Goreng di Chinnese Food. Untuk Chinnese Food sendiri kurang disarankan karena harganya masih cukup mahal.
Ciri khas Surabaya adalah pada perbedaan nama dengan di Jogja. Jika di Jogja lebih dikenal dengan nasi rames, maka di Surabaya lebih dikenal sebagai nasi campur dengan ciri khas telur atau tahu bumbu bali (lombok merah diblender halus). Juga ada pecel tumpang. Yakni nasi pecel biasa, kemudian disiram dengan bumbu tumpang. Bumbu tumpang sendiri adalah tempe yang sedikit diremuk, kemudian direbus dengan kuah santan gurih.
Mengenai harga, rata-rata harga makanan di Surabaya lebih mahal daripada di Jogja (untuk sentra makanan di Karangmenjangan, Dharmawangsa, dan Dharmahusada). Nasi, telor, tempe, es teh memiliki harga Rp 5.500. Untuk nasi ayam, es teh sekitar Rp 9.000-12.000,00. Siomay/Batagor 1 porsi Rp. 6.000. Tapi, jika mau sedikit 'mblusuk' ada warung makan murah di Karangmenjangan Gang V. Untuk nasi, sayur kangkung, perkedel, peyek udang, telur bali, dan es teh cukup membayar Rp 8.000,00. Rata-rata makanan murah terdapat di daerah ITS. Ini mungkin karena kebanyakan mahasiswa ITS adalah laki-laki.

Pergaulan
Untuk pergaulan saya pikir tidak terlalu berat bagi siswa JB yang sudah biasa dengan pergaulan. Sangat berbeda memang pergaulan di Jogja dan Surabaya. Perlu membiasakan kultur yang keras untuk bisa bergaul dan bertahan di Surabaya. Tapi, rata-rata orang Surabaya welcome terhadap orang-orang dari luar kota, meskipun kadang orang-orang dari Jogja dibilang medhok karena bahasanya yang sangat 'njawani'.

Kesenjangan Sosial
Kesenjangan sosial di Surabaya bisa dibilang cukup tinggi. Suasana akan sangat berbeda bila pergi ke komplek mewah dan ke perkampungan rakyat. Di komplek mewah, semua serba tertata. Kalau ke perkampungan, akan sangat banyak rumah tak tertata. Bahkan jarang ada rumah di perkampungan yang memiliki halaman cukup. Jarak antarrumah pun sangat mepet, bahkan tidak ada. Orang-orang yang berdiam di perkampungan pun terkesan tidak ramah. Pandangannya mengerikan ketika melihat orang asing masuk kampung mereka menggunakan sepeda motor atau mobil. Pernah suatu ketika salah lewat jalan bersama teman dengan menggunakan sepeda motor. Orang-orang kampung yang kebetulan berada di sepanjang jalan terebut memandangi kami dengan curiga dan wajah-wajah yang tidak bersahabat.
Kesenjangan sosial juga akan nampak di daerah Citraland. Dari jauh sangat terlihat megahnya Citraland. Tapi, di balik tembok Citraland berdirii rumah-rumah kumuh dan padat. Pada intinya, arah pembangunan Surabaya sepertinya menyingkirkan orang-orang kecil ke kota-kota di sekitar Surabaya seperti Gresik, Sidoarjo, dan Mojokerto.

Angkutan Umum
Untuk angkutan umum tidak ada yang perlu ditakutkan. Angkutan umum di Surabaya sangat lengkap. Terutama untuk trayek-trayek di daerah-daerah ramai. Untuk daerah-daerah kampus sendiri banyak sekali pilihan angkot. Bahkan kampus UNAIR sudah memiliki Bus FLASH sendiri untuk angkutan antar kampus (Kampus A, B, dan C). Terminal Surabaya sendiri ada 4 yakni Terminal Bungurasih (untuk trayek Jogja, Banyuwangi, Denpasar, Purwokerto, Jakarta, Bandung, Semarang), Osowilangun (trayek Bojonegoro, Cepu, Lamongan, Gresik, Semarang), Joyoboyo (khusus angkutan dalam kota), dan Bratang (khusus angkutan dalam kota). Taksi pun juga banyak. Rekomendasi taksi yang cukup bisa dipercaya adalah Blue Bird dan Orange Taxi.

Sarana Kesehatan
Kampus biasanya memiliki sarana kesehatan sendiri. Unair memiliki unit kesehatan. Begitu juga dengan ITS. Kalau Rumah Sakit ada banyak pilihan. Jika ingin yang negri bisa pergi ke RSU Dr. Soetomo. Bila ingin yang swasta Kristen/Katolik ada pilihan RS Siloam, RS Vincent A Paulo (RKZ), dan RS William Booth. Sedangkan yang khusus spesialis juga ada yakni RS Husada UTama. Bahkan, kini Surabaya sudah memiliki RS Bedah sendiri.

Sarana Rekreasi
Ini yang dikeluhkan banyak orang. Surabaya kurang memiliki sarana rekreasi. Yang ada hanya taman-taman kota seperti Taman Bungkul. Maka tak aneh bila taman-taman kota di Surabaya biasanya dipenuhi anak-anak bermain atau anak muda pacaran. Bahkan di Taman Bungkul kalau malam minggu, satu kursi taman bisa untuk 3 pasang.
Objek wisata yang ada hanya Suramadu, City of Singapore Citraland (hanya untuk golongan atas, orang kaya), Tugu Pahlawan, kota Lama Jembatan Merah, dan museum kapal. Selebihnya, untuk wisata alam biasanya orang Surabaya akan pergi ke Trawas, Tretes, atau Kota Batu Malang. Kalau obyek wisata dalam kota, biasanya sering menggunakan mall sebagai obyek wisata (ini juga yang membuat orang Surabaya seolah-olah memiliki taraf hidup yang tinggi). Mall sangat banyak di Surabaya. Untuk nonton film saja bisa di semua Mall. Tapi yang disarankan ada di Grand City Mall (baru 2010 diresmikan, ada Premiere nya, XXI sekelas Blitz Megaplex), Surabaya Town Square (Sutos), Royal City Wonokromo, dan CITO (City Of Tommorow, satu komplek dengan apartemen dan kampus UPH Surabaya).

Tempat Belanja
Surabaya bak dikepung tempat berbelanja. Mulai dari Indomaret, Alfamart, Circle K, Carrefour, sampe Hypermarket ada di Surabaya. Tinggal memilih saja. Sayangnya, untuk belanja barang-barang seperti barang elektronik, Surabaya lokasinya tidak menyebar. Tapi terpusat. Jadi terkesan jauh. Komputer pusatnya ada di Hi-Tech Mall dengan harga yang sangat terjangkau (bisa selisih 200 ribu-1 juta dengan Jogja), untuk Hand Phone bisa dicari di Plaza Marina atau WTC. Sedangkan untuk belanja baju, bisa di Pasar Atum dekat Stasiun Surabaya Semut, atau di Mall ITC.

Suhu dan Keadaan Tempat Tinggal
Untuk suhu udara, Surabaya adalah kota dingin jika musim hujan. Bahkan pernah membandingkan, suhu di Surabaya dan Jogja saat musim hujan, justru lebih dingin di Surabaya. Tapi, jika musim kemarau, perlu persiapan kipas karena udaranya panas. Karakter panasnya lebih enak daripada Semarang. Jika di Surabaya, karakter panasnya menusuk dan tidak membuat berkeringat. Sehingga tidak mudah membuat masuk angin. Sedangkan, yang paling mengkhawatirkan adalah keberadaan nyamuk di Surabaya yang jumlahnya sangat banyak. Yang lebih ironis, nyamuk Surabaya kebanyakan gesit-gesit, kecil-kecil, dan jarang mengeluarkan suara yang keras. Sehingga, perlu membeli raket nyamuk yang ringan, dan memasang kasa nyamuk. Yang sedikit mengerikan adalah selokan atau sungai di Surabaya. Hanya ada satu tipe aliran sungai di Surabaya. Yakni air menggenang dan warnanya pun juga cuma dua. Yakni coklat atau kebiru-biruan.

Tempat Nongkrong
Ini juga yang sering ditakutkan anak muda Jogja jika pindah ke Surabaya. Di Surabaya tidak ada angkringan dengan harga yang terjangkau. Ceker, ndas pithik, sego kucing, wedang jahe membuat kangen dengan Jogja. Di Surabaya kebanyakan anak muda menghabiskan waktu dengan nongkrong di Warung Kopi (semacam angkringan, tapi tidak ada makanan khas angkringan. ada juga yang bentuknya mirip warung burjo). Ada banyak warung kopi di Surabaya. Tapi, dari beberapa warung kopi, paling enak disinggahi adalah Warung Kopi depan RSJ Menur. Di Surabaya juga tidak ada warung Burjo (Bubur Kacang Ijo) khas Sunda. sehingga tidak ada pilihan paket makan hemat. Burjo yang ada di Surabaya rata-rata khas Madura. Kampus sendiri jarang dipakai sebagai tempat mengobrol karena beberapa kampus tutup pukul 17.00.

Gereja dan Tempat Ziarah
Untuk Gereja, di Surabaya sebenarnya jaraknya tidak terlalu berjauhan. Umatnya juga banyak. Hanya saja umat-umatnya kurang eksis seperti di Jogja. Untuk di sekitar Unair dan ITS, ada 2 gereja yang saya kenal. Yakni Gereja Kristus Raja Tambaksari dan Gereja Santa Maria Tak Bercela Ngagel. Sedangkan di Jl Diponegoro ada Gereja Vincent A Paulo dan di samping SMA St. Louis ada Katedral Surabaya. Untuk tempat ziarah, kebanyakan umat Katolik Surabaya menggunakan Goa Maria yang ada di samping gereja. Goa Maria terdekat adalah Goa Maria Retno Adi Tumpang, Malang. Dan yang cukup jauh ada di Goa Maria Lourdes Puhsarang, Kediri.

Biaya Lain-Lain
Berikut ini akan dirinci biaya-biaya di Surabaya

Biaya kos :
rata-rata Rp 200.000-1.500.000 per bulan. Ada yang 1 kamar untuk ber-3. Ada juga yang ada fasiilitas AC, WiFi, Kamar Mandi dalam, listrik bebas (1,5 juta per bulan).

Biaya makan per hari:
antara Rp 20.000-25.000 per hari. Tergantung makanan yang dimakan dan banyaknya makan per hari.

Biaya kontrakan
Rp 15.000.000-30.000.000 per tahun. Rata-rata 3-5 kamar. Untuk yang 30 juta biasanya ada di komplek mewah dengan halaman yang luas.



Selasa, 25 Januari 2011

Segelas Milo dari Ibu

Kembali teringat pada masa-masa masih sekolah di SMA dan masih berada di Jogja. Tiap pagi hari selalu terhidang segelas susu Milo yang selalu bervariasi tingkat kehangatannya. Suatu ketika susu itu menjadi hangat, suatu ketika sangat panas karena air yang baru saja keluar dari panci.
Segelas susu yang pada masa-masa itu saya pandang sebagai sesuatu hal yang menyusahkan. Bagaimana tidak, berangkat sekolah sudah tergesa-gesa, sementara masih harus meminum segelas susu Milo tersebut yang kadang menghabiskan waktu 3 menit. Waktu 3 menit itu sudah mampu membuat saya menjalankan sepeda motor saya sejauh 5-7 km kalau di Jogja. Namun, segelas susu itu kini menjadi sangat berarti.
Kemudian saya menyadari betapa pentingnya segelas susu saat itu. Sumber protein utama yang mampu membuat kita menjadi lebih greget dalam belajar dan lebih mudah mengingat karena kandungan protein yang melimpah. Meskipun, kadang susu juga dapat membuat ngantuk karena akan mengaktifkan hormon serotinin yang memacu rasa kantuk dari mata kita. Namun, keberadaan Susu Milo, meski hanya segelas, mampu menunjukkan sebuah kasih sayang yang besar seorang Ibu kepada anaknya agar anaknya bisa sukses dalam studinya.
Sekarang, semua harus sendiri karena memang terpisah jauh dari keluarga. Sanak saudara terdekat pun ada di Lidah Kulon yang memerlukan waktu 45 menit untuk tiba di sana (setara waktu tempuh Jogja-Magelang). Meskipun demikian, mengingat besarnya kasih sayang yang diberikan orang tua kepada kita, kita harus tetap belajar mandiri. Karena mau tidak mau, suatu ketika, kita akan meninggalkan kedua orang tua kita dan memulai sebuah hidup baru.

Senin, 24 Januari 2011

Patologi Tukang Parkir

Judulnya sangat menggelitik dan seolah-olah menyangkut masalah kedokteran. Mengacu pada arti patologi sendiri menurut wikipedia sendiri adalah merupakan suatu ciri-ciri perkembangan sebuah penyakit melalui analisis perubahan fungsi dan atau keadaan bagian tubuh. Sedangkan patologi sosial sendiri menurut wikipedia berarti ilmu tentang gejala-gejala yang dianggap sakit (dalam hal ini bertentangan dengan yang seharusnya). Patologi tukang parkir sendiri saya definisikan sedemikian rupa sehingga memiliki arti sebagai suatu 'penyakit' yang mulai timbul pada tukang parkir terutama kaitannya dalam dunia perparkiran. Penyakit ini berarti pada sejumlah penyelewengan atau penyalahfungsian.
Seperti kita tahu, nyaris semua daerah di kota tak pernah lepas dari apa yang namanya tukang parkir. Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan mereka memang untuk mencari nafkah. Namun, tak jarang pula keberadaan tukang parkir ini justru sama sekali tak membantu dan mempermudah kita. Namun justru mempersulit, bahkan kadang membuat kita dongkol.
Rasa dongkol kadang muncul dengan berbagai penyebab. Misal karena tukang parkir yang sangat tidak profesional. Tidak dipungkiri bahwa ternyata tukang parkir memerlukan sebuah pelatihan khusus dan tidak bisa ngawur dalam melaksanakan tugas memarkir kendaraan tersebut. Suatu ketika pernah di daerah Jogja, ada seorang tukang parkir yang nampaknya kurang profesional justru membuat mobil yang sedang diberikan aba-aba harus menyerempet mobil depannya karena tukang parkir yang kurang melihat jarah antar mobil tersebut. Alhasil, tukang parkir tersebut nyaris menjadi bulan-bulanan pengemudi mobil.
Namun, ada lagi tingkah tukang parkir yang cukup membuat dongkol. Misalkan kita akan membeli suatu barang di sebuah toko. Ketika tidak mendapatkan barangnya, kita tetap akan ditarik biaya parkir. Ini merupakan pengalaman pribadi saya. Suatu hari, saya pernah dalam sekali trip saya menghabiskan Rp 4.000,00 hanya untuk parkir, sementara barang seharga Rp 3.000,00 yang saya cari tidak saya temukan. Tentunya ironis ketika harga barang yang dibeli dengan biaya parkir lebih mahal daripada harga barang yang kita beli. Bahkan, suatu ketika pernah ada anekdot,"Saya beli sebuah cat seharga Rp 49.000,00. Tapi kemudian uang Rp 1.000,00 itu dipakai untuk membayar parkir. Padahal seandainya Rp 1.000,00 itu saya simpan, masih bisa saya pergunakan untuk keperluan lainnya."
Lebih menyebalkan lagi ketika kendaraan yang kita parkir itu kita tunggu sendiri. Sudah tahu seperti itu, masih ditarik biaya parkir. Merupakan sebuah hal yang tidak masuk akal karena tidak mungkin sebuah kendaraan yang ada penghuninya kemudian dicuri bersama dengan penghuni yang masih ada di dalamnya.
Yang lebih membuat dongkol lagi, dan ini hanya terjadi di Surabaya, bahwa di Indomaret, Alfamart, dan Circle-K juga dijaga oleh para tukang parkir. Padahal disitu sudah jelas tertulis bahwa "PARKIR GRATIS" tapi tampaknya itu juga tidak diindahkan oleh tukang parkir tersebut.
Sejauh ini, kemudian muncul patologi tukang parkir. Bahwa kemudian parkir kendaraan hanyalah menjadi sebuah bentuk lain dari premanisme yang menghalalkan segala cara dalam mendapatkan uang. Ketidaknyamanan ini pada akhirnya akan berdampak pada kemajuan pariwisata kota tersebut. Sebenarnya masih banyak bentuk patologi tukang parkir lainnya yang berujung pada premanisme. Di antaranya adalah menaikkan tarif parkir di atas normal, seperti yang terjadi di arena Sekaten Jogja. Sepeda motor diharuskan membayar Rp 3.000,00 sekali parkir. Tentu ini menjadi PR bagi pemerintah, dan tentunya bagi kita semua agar berani lebih tegas kembali menyikapi premanisme kecil-kecilan tersebut.

Menilik Kembali Apa dan Siapa Mahasiswa (1)

Malam ini, pukul 19.00 saya menyempatkan diri untuk keluar dari kos sejenak. Keluar dengan sepeda motor dengan maksud ingin mengeprint poster dan menuju ke BG Junction untuk belanja beberapa keperluan harian. Sebelum berlanjut menuju tujuan, saya memutuskan untuk mengambil uang terlebih dahulu di ATM Mandiri Kampus B Unair karena memang saat itu uang di dompet tinggal Rp. 8000,00.
Ketika tiba di depan ATM, antrian panjang sudah terlihat. Mau tidak mau harus mengantri karena memang kebutuhan uang yang sangat mendesak. Ternyata antrian ini disebabkan ATM yang satu (merk DEBOLD) dalam kondisi offline. Dan yang aktif hanya satu ATM. Saya kemudian mengantri. Di depan saya ada bapak-bapak, dan di kanan saya ada seorang mbak-mbak yang saya prediksi merupakan mahasiswi semester akhir. Di belakang saya saat itu belum ada orang.
Tak beberapa lama ada seorang laki-laki berkaus merah dan masih menggunakan helm warna hitam-hijau mengantri di belakang saya. Ternyata lelaki ini memang akan mengambil uang juga. Nampaknya juga masih mahasiswa, dilihat dari umur dan wajahnya. Tak berapa lama pula, datang 2 orang teknisi ATM memperbaiki ATM. Sementara antrian ATM makin panjang. Tiba giliran bapak yang mengantri di depan saya. Bapak tersebut masuk dengan lancar. Dan saya masih berada di antrian, di belakang trap-trap an naik. Tiba-tiba laki-laki berkaus merah di belakang saya tadi memepet saya dan bilang "maju mas...maju mas..." Saat itu, saya menyadari bahwa posisi saya memang kurang maju (tapi bukan seperti ini caranya. Boleh dibilang ini cara ndeso seperti orang-orang antri tiket nonton sepakbola lokal). Tapi, kemudian tiba-tiba lelaki tadi bilang lagi melalui telinga kiri saya "Maju mas...maju mas..." Saat itu saya tidak merasa terlalu mundur. Saya segera sadar ternyata lelaki ini meminta saya untuk mendahului giliran yang seharusnya untuk orang yang di sebelah kanan saya. Ini artinya menyerobot. Kemudian, saya menggertak orang tersebut,"Antri Mas, yang di sebelah kanan dari tadi sudah duluan!" Kemudian orang tersebut hanya diam dan tidak berani mengkompori saya lagi.
Sebuah kilas kasus yang perlu direfleksikan. Jika memang benar prediksi saya bahwa orang tersebut adalah seorang mahasiswa, maka apa yang dilakukannya adalah salah besar. Bahwa salah satu peran mahasiswa adalah agent of change, dimana ia harus selalu menjadi agen perubahan di tengah masyarakat. Bila ada kesempatan untuk berbuat baik, maka berbuat baiklah. Jangan bila ada kesempatan berbuat baik, justru mengambil kesempatan untuk berbuat buruk. Jika bisa berlaku adil saat itu, bertindaklah adil saat itu juga. Fair. Bila meniru tingkah laku orang-orang terdahulu (orang tua) yang cenderung mementingkan dirinya sendiri, maka peran mahasiswa sebagai agent of change itu hanya semu dan sekedar koar-koar orang jualan panci saja. Sebaliknya, apabila bisa menjadi contoh, jadilah contoh terlebih dahulu. Karena dengan mahasiswa bisa memberikan contoh baik kepada masyarakat sekitar, maka peran fungsi mahasiswa ini akan terjalankan.
Hendaknyalah kemudian mahasiswa itu bercermin, bahwa ia sekarang adalah maha siswa. Siswa yang lebih dari segala siswa. Jangan sampai kata mahasiswa ini kemudian dipelesetkan menjadi maha sisa, yang artinya sisa dari segala sisa.

Pekerjaan Paling Enak itu : DOSEN

Ketika anak kecil bertanya, apa pekerjaan paling enak kepada orang tuanya, biasanya orang tua menjawab dengan jawaban-jawaban itu-itu saja. Biasanya dokter, karena gajinya gedhe, manager, karena karyawannya banyak, dlsb.
Sebenarnya jawaban itu sepenuhnya salah. Yang paling enak adalah Dosen. Mengapa dosen? Kenapa tidak guru saja? Ini bukan karena ibu saya adalah seorang dosen. Melainkan memang demikian keadaannya. Seorang dosen mengajar mahasiswa dan mahasiswa berada pada jenjang rawan karena nilai-nilainya sudah sangat diperlukan dalam mencari pekerjaan. Inilah lokasi strategis dan paling enak sebagai dosen.
Dosen bisa dengan enaknya memainkan mahasiswanya dengan permainan nilai. Seorang mahasiswa tentu sangat memerlukan nilainya yang baik. Dosen bisa dengan seenak hati memainkan proporsi nilai UTS dan UAS karena memang dalam kebanyakan buku pedoman pendidikan Universitas tidak disebutkan proporsi pasti antara UTS dan UAS. Jadi, dengan demikian dosen bisa memainkan proporsi tersebut dan memainkannya agar mahasiswa-mahasiswanya tidak lulus. Melalui itu pula, enaknya jadi dosen adalah dihormati oleh mahasiswanya.
Memang benar demikian bukan keadaan yang ada. Universitas dengan demikian perlu mengatur proporsi pasti antara UTS dan UAS agar tidak terjadi permainan-permainan semacam ini oleh dosen, sehingga nilai yang diperoleh mahasiswa bisa menjadi lebih jelas dan pasti. Bukankah hidup ini memang permainan, dan segala sesuatu yang seharusnya tidak untuk mainan, justru dijadikan permainan. Bahkan nyawa sekalipun. Dan itulah Indonesia.

Minggu, 16 Januari 2011

Bermalam Bersama Bunda Maria




Sabtu Siang, waktu sudah menunjukkan pukul 13.00.
Saya harus bergegas menuju Terminal Bungurasih untuk memulai perjalanan saya ke Kediri. Ini merupakan perjalanan saya yang pertama kali dimana perjalanan ini dilaksanakan sendirian ke kota yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Biasanya bila saya berkunjung ke kota yang belum pernah saya kunjungi, saya hanya singgah di terminalnya saja sebentar kemudian melanjutkan perjalanan. Dan kali ini saya benar-benar sendiri menelusuri beberapa sudut Kota Kediri.
Perjalanan saya lakukan pukul 15.01 dengan PO Sumber Kencono Nucleus 3 W 7501 UY menuju Kertosono. Sampai di Brak'an, saya kemudian turun dan berganti bus dengan menggunakan PO Pelita Indah Nisan CB.

*****

Senja itu masih menggantung. Pukul 18.15 saya sudah memasuki kota Kediri. Saya memutuskan untuk turun di terminal saja karena memang tujuan saya dekat dengan terminal. Ojek menjadi pilihan saya saat itu karena memang jam-jam segitu Kota Kediri sudah jarang angkutan umum. Rp 15.000,00 saya keluarkan untuk naik ojek dari terminal ke Gereja Puhsarang. Ini merupakan tujuan utama saya selain menuju Harapan Jaya Tulungagung. Saya telah berjanji sebelumnya dengan Bu
nda Maria apabila saya mampir ke Kediri, maka saya pun juga akan menyempatkan diri untuk mampir ke Puhsarang.
Tempat ini sudah 6 tahun tidak saya kunjungi. Terakhir pun hanya berangkat bersama rombongan 1 bis dan hanya singgah 2 jam saja untuk jalan salib dan doa pribadi. Kali ini saya menyempa
tkan diri untuk berziarah semalam suntuk di tempat itu.
Pukul 18.30 saya sudah tiba di depan Gereja Puhsarang. Dan kenyataan berada di luar dugaan saya. Goa Maria saat itu sedang sepi-sepinya. Warung yang jumlahnya sangat banyak itu pun juga telah tutup. Saat itu saya ingin makan Tongseng RW (Sengsu : Tongseng Asu). Maka saya mencari warung yang ada tulisan Rica-rica RWnya. Warung
tersebut saya datangi, dan ternyata sedang berkemas untuk tutup. Itu adalah warung terakhir yang masih menjual nasi malam itu. Saya pun memulai percakapan
"Lho, sudah mau tutup Bu?"
"Iya Mas, lha Masnya ngersakke nopo?"
"Wah, saya mau makan e Bu. Kalau sudah tutup ya sudah..."
"Wooo, wah, Pak, Masnya ini mau makan e. Pintunya jangan ditutup dulu."
Itulah awal mula saya bisa mendapatkan makan malam itu. Dengan belas kasihan yang sangat, warung tersebut tidak jadi ditutup. Saya akhirnya memesan 5 tusuk sate babi dan 2 piring nasi putih serta segelas teh anget. Saya pikir saya adalah pembeli yang terakhir. Ternyata, kemudian datanglah sekeluarga beranggotakan 3 orang singgah ke warung kecil tersebut. Kemudian datang pula satu keluarga beranggotakan 3 orang juga singgah ke warung tersebut. Sehingga, warung yang hampir tutup tersebut menjadi ramai kembali.
Obrolan demi obrolan kami lakukan. Dan ternyata, satu keluarga yang datang pertama kali tersebut juga berasal dari Jogja, sama seperti saya. Lalu, kami mengobrol dengan akrabnya karena ternyata beliau berasal dari Paroki Kotabaru. Bahkan, saya ditawari tumpangan bersama mereka kalau
hari Minggu pagi pulang ke Surabaya karena mereka juga ingin mampir ke Surabaya.
Berbagai hal kami bicarakan. Mulai dari masalah ngrasani Romo Paroki, masalah merapi, masalah Ekonomi, sampai masalah politik kami bicarakan. Tak terasa pula sudah pukul 19.30. Akhirnya keluarga tersebut pun pamit dan saya pun juga pamit karena ingin melakukan jalan salib.

****

Jalan Salib malam itu sangat melelahkan, menakutkan, dan mendebarkan. Baju saya basah karena keringat yang menetes itu. Kemudian saya singgah sejenak di depan Goa Maria untuk melakukan doa. Tapi, ternyata hujan pun turun dengan derasnya. Terpaksa saya lari menyingkir dan mencari tempat berteduh. Sedianya, saya akan tidur di teras Gereja Puhsarang. Tapi, karena hujan terlanjur deras, maka saya tidur di Aula Emaus yang sangat terbuka. Saya langsung ambruk dan tertidur di sana. Perasaan saya sangat takut malam itu karena Aula Emaus itu berada persis di samping kuburan Katolik. Saya tak bisa tidur sampai pukul 01.00. Semenjak pukul 21.30 sampai pukul 01.00 itu, sudah berkali-kali ada orang lewat. Orang tersebut selalu memandang saya dengan aneh.
Malam itu sungguh menusuk. Meskipun sudah memakai jaket tebal, celana jeans panjang, dan kaos kaki yang masih lengkap dengan sepatunya, hawa dingin masih mampu menerobos masuk. Malam itu, selama saya tertidur secara tidak nyaman di Aula Emaus, saya ditemani seekor anjing. Entah mengapa, setiap kali saya sendirian, saya selalu ditemani oleh seekor anjing. Maka, saya menganggap semua anjing itu adalah sahabat saya yang lucu dan bisa diajak bermain. Akhirnya, saya beranjak bangun dan berjalan ke komplek warung untuk sekedar mencari teh atau kopi hangat, lalu kemudian berdoa lagi di depan Goa Maria. Ternyata semua warung sudah tutup. Akhirnya, langkah saya tanpa saya sadari mengayun ke pelataran Gereja Puhsarang. Benar saja disana sudah terbaring dengan nyenyaknya 4 orang pemuda yang memang sengaja menginap di Puhsarang. Akhirnya, saya bergabung dengan mereka dan tertidur lelap. Di tempat itu, meskipun terbuka, saya tidak merasakan kedinginan yang sangat. Entah apakah karena ada karpetnya, atau saya diselimuti oleh Roh Kudus.
Pagi, pukul 04.51 saya baru benar-benar terbangun. Saya segera bangun lalu menuju Goa Maria untuk melakukan 3 doa : Rosario biasa, Rosario Pembebasan, dan Doa Kepada Bunda Maria Bunda Allah. Setelah selesai, pukul 06.05 saya mandi sebentar, kemudian berangkat ke Jalan Mastrip untuk bertemu teman-teman saya dari Bismania.com.

****

Sungguh pengalaman tiada tara bagi saya. Saya tidak menyangka bisa kembali ke Puhsarang lagi dan menjalankan segala rutinitas keagamaan di sana. Saya merindukan hal itu dan ingin suatu saat kembali ke sana lagi. Terima kasih ya Bunda Maria atas segalah yang telah Kau berikan sejak awal, hingga aku bisa pulang ke Surabaya lagi dengan selamat malam ini.

Kamis, 13 Januari 2011

THE GENOSIDA NEW CONCEPT

Dinamai Genosida New Concept karena bentuknya yang sangat membunuh. Kurang aerodinamis, tapi dirancang berbody alumunium alloy kelas 3 (paling kuat). Lebih condong seperti Laksana Legacy, tapi dengan front lebih garang dan desain lebih minimalis.
Spesifikasi sebagai berikut:
Chasis awal : Scania K124iB
Panjang total : 12000 mm
Tinggi : 3250 mm
Lebar : 2500 mm
Bahan : Alumunium Alloy
Berat total : lk 9575 kg
Air Conditioner : Sutrak
Tire : Standard, Bridgestone R150
Kaca : Crystal lapis LLumar
Lampu depan bawah : Genosida New Concept white LED
Lampu depan atas : Blue LED Genosida New Concept
Lampu Belakang : FULL red and orange LED
Seat : 32 Seats by Alldila
Lampu dalam : Full blue LED, bedroom lamp
Lantai : Karpet kain (tengah), karpet plastik standart (bawah kursi)
Sistem kursi : Kursi geser dengan derailler
Bagasi atas : Big Bins TM
Toilet : Closet by TOTO
TV : SHARP 18 inch
Audio : Subwoofer 27" mega bass
Pintu darurat : 2 (smooking area, atap)
Pemadam : 2 tabung
Palu darurat : 4 palu
Fasilitas lain : Smooking Area, Air Suspension with ACS, GPS, CCTV

Karoseri tetep by TERUS DJAYA CAROSERIE, sebuah perusahaan Karoseri yang ingin saya dirikan di daerah Gunung Kidul dengan luas lahan lebih kurang 20 hektar. Lengkap dengan area pabrik, sirkuit percobaan, dan area riset mesin.

John De Britto College

John De Britto College, sebuah SMA swasta kecil yang terdapat di pinggiran kota Jogja. Lebih tepatnya masuk ke Kabupaten Sleman. Termasuk juga salah satu dari 8 kolese milik tarekat SJ (Serikat Jesus atau sering dikenal sebagai Jesuit). 8 kolese itu adalah Kolese Kanisius (Jakarta), Kolese Gonzaga (Jakarta, lebih dikenal dengan Gonz), Kolese Loyola (Semarang), PIKA (Semarang), Seminari Peter Canisi (Magelang), Kolese De Britto (Jogja), Mikael (Solo), dan Le' Cocq De Armandville (Nabire Papua). Tiap kolese memiliki ciri khas pendidikan yang berbeda.
SMA Kolese De Britto sendiri adalah sekolah homogen. Hanya berisi siswa putra saja. Sekolah homogen merupakan hal yang sangat biasa di Yogya sendiri. Setidaknya ada 4 sekolah homogen di Yogya (Kolese De Britto, Stella duce 1 dan 2, dan Santa Maria (Stama)). Bila ada yang bertanya apa nggak bosen sekolah isinya cowok semua? Inilah jawabannya. Justru tidak bosen sama sekali. Di sekolah ini, justru menjadi sangat terkonsentrasi terhadap pelajaran. sekolah ini berhasil mencetak pribadi-pribadi unggul yang benar-benar dahsyat dalam tindakan dan pemikiran. Apa yang diajarkan, bukan hanya melulu mengenai pelajaran-pelajaran. Berbagai softskill dan tingkah laku banyak disinggung. Pribadi yang kritis pun juga diasah dalam pendidikan di sekolah ini. Mental yang kuat pun langsung dibentuk ketika Inisiasi De Britto dilakukan saat siswa pertama kali masuk sekolah.
Lulusannya pun beragam. Rata-rata sukses dan menggapai sesuai apa yang mereka inginkan. Contohnya adalah Susilo 'Den Baguse' pelawak kawakan dari Jogja. Ada juga dokter Asdi Yudiono, dokter umum kawakan yang saat ini berdinas di RS Panti Rapih Jogja, ada juga Mas Hary yang menjadi pak becak dengan link sampe ke negara-negara di Eropa dengan kemampuan bahasa asing yang dahsyat, dan tentunya masih banyak lagi. Untuk lulusan 2010 pun ternyata juga telah menjadi calon-calon orang sukses. Rata-rata lulusan 2010 masuk ke universitas dan jurusan sesuai yang diharapkan.
Meskipun bukan sekolah yang terkenal macam BPK Penabur ataupun Taruna Nusantara, tapi saya bangga pernah menjadi siswa di SMA Kolese De Britto. Satu motonya, Ad Maiorem Dei Gloriam.

100% JB, 100% Jogja, 100% Katolik, 100% Indonesia

Ungkapan ini saya peroleh ketika ujian Agama Katolik. Jadi teringat semboyan yang tengah digembor-gemborkan umat Katolik di Keuskupan Agung Semarang, 100% Katolik, 100% Indonesia. Maka, saya membuat slogan tersendiri: 100% JB, 100% Jogja, 100% Katolik, 100% Indonesia.

100% JB
JB sendiri adalah singkatan dari John De Britto, yakni sekolah menengah atas yang dahulu pernah mendidik saya untuk menjadi seorang pribadi yang kuat dan cukup tangguh. Bukan sekolah biasa menurut saya. Ketika sekolah lain sibuk mengurusi siswanya agar bisa mencapai nilai mata pelajaran yang maksimal dengan menghalalkan berbagai cara, justru sekolah ini sibuk mendidik siswanya untuk menjadi siswa yang tangguh menghadapi jaman, tidak mudah jatuh, dan menjadi pribadi yang kritis. Yang dimaksudkan 100% JB adalah menjadi pribadi siswa John De Britto College itu sendiri secara utuh. Menjadi pribadi yang kritis menghadapi jaman, rela berkorban, penuh kasih sayang, tegas, tidak mudah jatuh, mudah bergaul, dan yang terakhir adalah tangguh menghadapi setiap perubahan jaman.

100% Jogja
Jogja, adalah sebuah kota kecil di bagian tengah Pulau Jawa yang saat ini sedang diributkan perihal keistimewaannya. Jogja memiliki pesona tersendiri. Selain kaki lima atau angkringan, seperti yang diceritakan Katon Bagaskara dalam lagunya 'Yogyakarta', penduduk di sana memiliki tingkat keramahan yang melebihi tingkat keramahan kota-kota yang lain. Penduduk yang santun, ramah, terbuka, dan sopan merupakan sikap yang ingin saya lekatkan dalam diri saya dan memperkuat brand image, bahwa warga Jogja merupakan warga dengan keramahan dan kenyamanan tersendiri dalam bergaul.

100% Katolik
Ya, Katolik adalah agama saya. Meskipun minoritas, tapi saya bangga memilikinya. Di sana diajarkan berbagai hal mengenai hukum cinta kasih, yang tentunya juga diajarkan dalam agama-agama atau kepercayaan lain. Menjadi 100% Katolik sangatlah sulit. Selain dengan rela mengikuti jejak Yesus Kristus, yang memang selalu identik harus sengsara, juga harus siap menerima dan melaksanakan apa yang dibebankan Yesus kepada kita dengan sebaik-baiknya. Menjadi 100% Katolik, adalah perihal bagaimana kita menjalankan ajaran cinta kasih tersebut, mengimplementasikan pada kehidupan sehari-hari, dan tak lupa pula tetap rajin berdoa kepada Yesus Kristus sebagai sang empunya hidup.

100% Indonesia
Menjadi 100% Indonesia itu harus karena kita merupakan Negara tempat dimana saya tinggal. 100% Indonesia bukan berarti meniru 100% sikap Indonesia yang terkenal saat ini: korup. Menjadi 100% Indonesia adalah menjadi pribadi yang bangga terhadap Indonesia, lengkap dengan segala sumber daya yang membangakan. Dengan menjadi 100% Indonesia ini, akan membantu pemerintah dalam hal Bela Negara yang memang merupakan kewajiban Warga Negara. Menjadi 100% Indonesia dan menjadi bangga terhadap Indonesia, maka perlu dilakukan pula sikap-sikap menjaga keutuhan bangsa negara dengan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, tidak perlu menjadi pribadi yang fanatis, melainkan menjadi pribadi nasionalis terbuka.

Menjadi 100% adalah pilihan, dan ini adalah pilihan saya untuk menjadi pribadi yang berguna bagi siapapun juga. Pro Deo Et Pro Patria!

Rabu, 12 Januari 2011

Feel Like Home This Morning

Pagi yang cerah, alarm sudah diset pukul 07.00. Tapi apa daya, badan setengah sadar kemudian mematikan alarm di HP butut tersebut.
Pukul 08.22, baru terbangun karena tersadar masih punya 5 tusuk sate dari warung sate Ponorogo mas Pothok (Sebenernya namanya Pak Seger, tapi karena badan berotot kaya binaragawan, jadi,....) dan nasi putih dari nasi tempe penyet seberang. Akhirnya, segera bangun melaksanakan hajat cuci piring dan sendok, kemudian menyalakan kompor gas mini untuk membakar sate di dalam kamar lalu memanaskan nasi sejenak. Setelah semua beres, giliran mengambil mug kosong dan diisi dengan susu MILO 3 in 1 dan diberi air panas. Dan acara sarapan pertama kali sejak seminggu ini pun dimulai.
Rasanya seperti di rumah dulu. Bangun kesiangan, mandi secepat kilat, di meja sudah ada sarapan yang enak, lalu minum susu MILO 3 in 1 yang airnya baru saja keluar dari panci panas. Lalu berangkat dengan super tergesa-gesa. Sarapan yang nikmat dan segelas susu MILO pagi ini benar-benar mengingatkanku pada rumah dan ingin melaksanakan ritual semacam itu lagi. Tapi, kini ada di Surabaya, dan semuanya harus dilakukan sendiri dengan penuh semangat.

Ngejoss Lagi Setelah Lama Ngeloss

Rencana touring terakhir untuk menuju Gili Trawangan, Lombok, Bima, dan Komodo gagal setelah uang yang ditabung habis untuk mendaftar kuliah. Sekarang, dengan dana yang cukup minim akan kembali ngejoss dalam touring jarak menengah. Lokasinya masih di Jawa dengan rencana budget sekitar 300 ribu dan dilaksanakan dalam waktu 4 hari. Touring ini sekaligus mengisi waktu luang penugasan menuju Kediri, Tulungagung, Surabaya, Semarang, Ungaran, dan Jogjakarta. Akan dibagi menjadi 6 chapter:
Chapter I : Surabaya-Kediri, direncanakan menggunakan Harapan Jaya Patas/Sri Lestari
Chapter II : Kediri-Tulungagung, akan menggunakan armada Harapan Jaya Scania
Chapter III: direncanakan Tulungagung-Malang-Surabaya via Karangkates. Dengan armada Harapan Baru disambung Restu Panda Malang-Surabaya
Chapter IV : Surabaya-Kudus-Semarang direncanakan menggunakan Sinar Mandiri Mulya/Nusantara Scania
Chapter V : Semarang-Jogja, lihat sikon. Kalau lewat Solo, pakai Shantika Patas/Safari Royal dilanjut Sumber Kencono/DAMRI Volgreen
Chapter VI : Jogja-Surabaya, direncanakan menggunakan armada Rosalia Indah Purwokerto- Surabaya
Medan yang ditempuh kali ini lumayan berat. Dengan hampir 90 % bus baru belum pernah dinaiki, dan semoga mendapat track record baru. Terberat adalah chapter IV karena perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh 6-7 jam harus ditempuh selama 12-13 jam karena jalan di Kudus rusak parah. Sementara Chapter V juga berat karena Jalur Magelang-Jogja sering putus oleh karena banjir lahar. Sehingga, kepastian melewati jalur itu hanya sekitar 45 %.
Semoga touring ini lancar dan bisa foto-foto dengan kamera seadanya. Amiiiiin...

My First and Last Experience with Mandala Air


Minggu, 27 Desember 2009
Badan masih terasa lemas setelah donor darah yang pertama seumur hidup dalam rangka acara Natalan di gereja. Mendung masih menggelayut setelah hujan sangat deras menerbangkan seng-seng dan pipa di torn air. Hari itu, pukul 17.55 merupakan saat pertama menggunakan pesawat untuk bepergian jarak jauh. Biasanya paling mentok menggunakan bus atau kereta api. Ya, hari itu saya, keluarga saya, dan keluarga kolega ayah saya akan pergi ke Denpasar, Bali untuk berlibur. Awalnya, saya ingin naik Lion Air atau Garuda Airlines saja karena pesawat-pesawatnya masih relatif baru dan keberangkatannya pun malam. Tapi, menurut bapak saya tingkat kenyamanan tertinggi ada di Mandala Air.
Pukul 15.30 kami sudah berangkat menuju satu-satunya bandara di Yogya : Bandara Adisutjipto. Mendung masih menggelayut, hujan masih cukup deras. Jalanan masih basah karena sisa hujan badai. Pukul 16.00 kami tiba di Bandara Internasional Adisutjipto. Perjalanan cukup lama karena macet sana-sini karena hari itu adalah hari libur. Barang segera kami turunkan dan menunggu orang dari ticket agent tempat kami memesan tiket.
Ternyata pesawat Delay hingga pukul 19.55. Artinya ada waktu 2 jam untuk menunggu. Kami menunggu dengan membunuh waktu luang. Saya, ayah saya, dan kolega ayah saya makan di foodcourt bandara. Sementara, ibu saya, kakak saya, dan istri kolega ayah saya menunggu di ruang tunggu karena kakak saya masih menggunakan kruk karena baru saja operasi pasca kecelakaan. Selebihnya, kami membunuh waktu luang dengan membaca koran bekas yang tersedia di ruang tunggu bandara 'internasional' itu.
Pukul 19.45 ada panggilan untuk masuk ke pesawat. Bayangan saya seperti Garuda Airlines, ada papan petunjuknya : Nomor pesawat, tujuan, gate. Ternyata tidak. Penumpang Mandala Air hanya dipanggil dengan keras seperti calo cari penumpang di terminal ,"Ya, yang Mandala tujuan Denpasar di gate 4!!!"
Kami segera bergegas masuk ke pesawat, sementara hujan masih gerimis. Ternyata menggunakan pesawat Airbus versi lama. Tapi, tempat duduknya kulit dengan bagasi atas yang lumayan lebar. Tak sampai 10 menit kemudian, pintu pesawat ditutup dan ada instruksi dari pramugari perihal keselamatan. Sementara itu, pesawat berjalan perlahan menuju landasan pacu. Arah take off kali ini menuju arah barat. Artinya, kalau gagal take off bakal menabrak Jembatan Layang Janti. Hehehehe
Take off kali ini diprediksi sedikit buruk karena landasan licin dan masih gerimis. Akhirnya, take off dimulai. Dengingan keras mesin pesawat segera terdengar, dan dalam hitungan beberapa detik sudah mencapai kecepatan maksimal. Perlahan, sangat perlahan, bagian depan pesawat terangkat. Dalam hitungan detik pesawat telah mengudara, dan terlihatlah pemandangan jalan Godean dan Jalan Solo yang macet padat merayap. Sungguh benar-benar take off yang sangat halus. Padahal kakak saya sudah memperingatkan bahwa tiap take off di Adisutjipto pasti ada sentakan tiba-tiba karena landasan yang pendek. Tapi, Madala Air kali ini sama sekali tanpa adanya sentakan.
Perjalanan berlangsung cukup buruk. Cuaca yang buruk dan mendung menyebabkan pesawat harus melewati awan-awan hitam yang membuat pesawat bergetar sepanjang perjalanan. Beberapa kali pula pilot sempat memberi tahu adanya sinyal bahaya, sehingga semua penumpang dilarang meninggalkan tempat duduk dan tetap menggunakan sabuk pengaman. Getaran semakin dahsyat ketika mulai masuk area Denpasar karena awan mendung pekat.
Hati menjadi tentram ketika pesawat sudah perlahan turun dan terlihat remang-remang lampu daratan. Ternyata sudah mendekati bandara. Dan tanpa diduga pula, pesawat Mandala ini melakukan landing yang sangat halus dan tidak nampak tiba di daratan. Hingga bahkan berbelok memasuki area parkir pesawat dan menurunkan penumpang. Saat itu saya sungguh terkesan dengan perjalanan bersama Mandala karena dengan pesawat yang lama tapi dapat membuat perjalanan yang nyaman dan lembut.

Sabtu, 2 Januari 2010
Liburan di Bali tak terasa harus segera diakhiri. Perjalanan pulang harus segera dilakukan. Kami memilih penerbangan pagi dari Denpasar. Lagi-lagi pesawat yang kami pilih adalah Mandala Air. Pesawat take off pukul 07.05 WITA. Sehingga, pukul 05.00 WITA kami sudah berangkat menuju Bandara Internasional Ngurah Rai (kali ini benar-benar bandara internasional). Kami tidak menunggu lama karena pesawat tidak Delay. Pukul 06.30 kami sudah dipersilakan naik ke pesawat. Setelah duduk nyaman, tak beberapa lama kemudian pintu ditutup dan seperti sebelumnya, ada penjelasan dari pramugari.
Kemudian, pesawat masuk ke landasan pacu. Arah pesawat kali ini ke arah timur untuk melakukan take off. Pesawat berjalan perlahan. Tidak terdengar suara dengingan mesin yang keras. Hanya tiba-tiba Mandala Air sudah mengudara dengan sangat halusnya. Kali ini cuaca sangat cerah, sehingga pulau jawa terlihat sangat mini dan bisa diinjak dari atas.
Tak terasa, pesawat sudah mendekati daerah bandar udara Adisutjipto. Pesawat kemudian memutar lewat kaki gunung Merapi, lalu berjalan sejajar dengan rel kereta yang membentang dari Patukan sampai stasiun Maguwo (karena posisi landasan sejajar dengan rel). Tak lama kemudian, dengan hentakan yang lembut, Mandala Air telah mendarat dengan selamat tepat pukul 07.00 WIB di Bandara Adisutjipto. Hanya pengereman akhir yang sengaja kasar karena landasan pendek.

Pengalaman itu adalah pengalaman pertama saya dan mungkin menjadi pengalaman terakhir bersama Mandala Airlines. Kabar mengejutkan saya terima tadi siang bahwa Mandala Airlines dihentikan operasionalnya karena ada masalah perusahaan. Semoga, permasalahan tersebut bisa segera ditangani, dan penerbangan murah dengan fasilitas high class bersama Mandala bisa dilakukan kembali.

Selasa, 11 Januari 2011

Lempar Batu Sembunyi Tangan

Pagi hari dengan dingin yang menggelayut, memaksa diri untuk pergi ke kampus FKG karena ada janji dengan salah satu dosen jam 10.00. Karena perut lapar, lalu makan di area kuliner khas FKG : Lapten (Lapangan Tenis) sembari membaca koran Surya. Tiba-tiba perut terasa mual dan ingin tertawa terbahak-bahak. Entah karena ketololan mereka, atau karena mereka yang tolol dan tak mau menanggung akibat apa yang telah mereka perbuat.
Surya, Rabu 12 Januari 2011 memberitakan adanya pemblokiran jalur Ponorogo-Trenggalek oleh ratusan sopir truk yang biasa melalui jalan tersebut. Ratusan sopir truk tersebut menyatakan kekecewaannya kepada pemerintah karena jalan lintas Ponorogo-Trenggalek rusak parah. Sementara, salah satu anggota Dinas Perhubungan menyatakan bahwa jalan tersebut rusak adalah karena struktur tanah dan muatan berlebihan. Akibat rusaknya jalan tersebut, awak truk mengaku harus berkali-kali ganti suku cadang.
Sebenarnya lucu sekali berita tersebut. Ibaratnya, kita beli bolpoin dengan kualitas super. Kemudian kita memakainya secara awur-awuran, lalu bolpoin rusak. Lalu kita menyalahkan toko yang menjualnya, padahal kita sendiri yang merusaknya. Sama dengan sopir-sopir truk tersebut. Mereka tidak pernah berpikiran agak maju sedikit. Urusannya hanya politik perut. Truk yang melintas di jalanan tersebut, bisa dikatakan rata-rata memiliki kelebihan tonase (dari data dephub). Sementara medan yang dilalui adalah pegunungan dengan kondisi tanah yang rentan pergeseran, sesuai dengan tingkat kemiringan lereng. Akibatnya, karena beban berlebih, dan kualitas tanah buruk, jadilah jalan bergelombang, berlubang, atau mengelupas aspalnya. Dan kebanyakan sopir truk, awak truk, dan bagian ekspedisi pengiriman kurang melihat hal ini secara lebih jeli. Jadi, kerusakan jalan di lintas Ponorogo-Trenggalek itu memang akibat dari ulah truk-truk yang kelebihan tonase. Kalau ada suku cadang rusak karena melewati jalan tersebut, ya itu harus diterima sebagai akibat dari ulah mereka. Jalan rusak memang tanggung jawab pemerintah. Tapi, tidak dengan lempar batu sembunyi tangan. Kita sebagai masyarakat bisa dengan enaknya merusakkan sarana-prasarana milik negara demi kepentingan perut kita sendiri, kemudian menuntut pemerintah untuk mengganti kerusakan seperti itu. Ini salah, dan tindakan yang demikian adalah egoistis dan tidak mendorong Indonesia maju.
Mungkin kejadian ini sama persis dengan jalur lintas Secang (Magelang)-Semarang yang rusak dan bergelombang karena truk melebihi muatan. Bagaimana tidak, truk seharusnya berjalan di lajur kiri karena memang jalannya lambat. Ketika lajur kiri masih baik, mereka jalan di lajur kiri. Ketika lajur kiri sudah bergelombang dan jelek, mereka pindah ke lajur kanan dan membuat lajur kanan bergelombang. Kelebihan tonase pada truk pun seolah-olah sudah menjadi hal biasa di kalangan pemerjalan. Truk yang melaju pelan, bisa dipastikan kelebihan tonase (truk, baik Hino, Mercedes-Benz, Scania, Volvo, MAN, DAF, dlsb, dibuat dengan hitungan tertentu agar dengan beban maksimal yang bisa dibawa truk, truk tetap jalan dengan kondisi aman, artinya dengan kecepatan standar. Apabila kecepatan di bawah standar, dan takut rem blong, artinya itu sudah kelebihan tonase). Dan kelebihan tonase ini sepertinya tidak 'dideteksi' dengan baik di Jembatan Timbang. Entah karena ada pungli, atau apalah itu namanya. Sebaiknya, jika kondisi tetap seperti ini, pembunuhan massal di jalanan oleh truk kelebihan tonase yang membuat jalanan rusak dan tingkat kecelakaan menjadi tinggi ini perlu dihentikan. Sebaiknya, efektifkan kembali pengangkutan barang dengan menggunakan kereta api.

Selasa, 04 Januari 2011

Pagi Hari Nostalgila Masa SMA

Selasa, 4 Januari 2011 pukul 06.45 Yogyakarta.
Sisa waktuku tinggal 30 menit untuk menuju Stasiun Besar Yogyakarta sebelum ketinggalan Kereta Express Sancaka yang akan membawaku ke Surabaya pagi itu. Saat-saat seperti itu adalah saat-saat maut terutama bagi anak-anak SMA yang akan berangkat sekolah dari arah utara, masuk Jalan Palagan Tentara Pelajar sampai dengan Perempatan Monjali. Tiap jam tersebut bisa dipastikan berpuluh-puluh sepeda motor yang ditumpangi oleh anak-anak SMA saling balapan satu sama lain. Bisa dipastikan Jalan Palagan Tentara Pelajar yang seharusnya 2 jalur hanya menjadi 1 jalur. Semuanya ke arah selatan berburu waktu. Kecelakaan di jalan itu adalah hal biasa. Nyaris kecelakaan itu hal yang sangat biasa. Gak pernah nyaris kecelakaan itu hal yang mustahil.
Jadi teringat saat SMA dulu tiap pagi berangkat dengan waktu mepet. Masuk sekolah pukul 07.00, berangkat dari rumah rata-rata pukul 06.45. Pernah juga pukul 06.50 baru berangkat. Sementara jarak dari rumah ke sekolah adalah 12 km. Tapi jangan bayangkan 12 km yang ada di Surabaya. 12 km di Surabaya, berangkat 1 jam sebelum acara pun masih terlambat.
Bangun sudah pagi. Jam 05.45 rata-rata tiap hari sudah bangun. Mandi, siap-siap, sarapan rata-rata menghabiskan waktu 30 menit. Jadi jam 06.15 sebenarnya sudah siap. Karena TV baru menayangkan berita atau Sponge Bob, maka nonton TV dulu. Sambil nungguin mobil tetangga keluar (mobil tetangga keluar biasa jam 06.40). Mobil tetangga keluar, baru berangkat. Eh, ternyata mobil tetangga gak keluar-keluar. Lihat jam sudah pukul 07.45. Akhirnya segala macam cara ditempuh. Mulai dari ngebut, sampai masuk jalur cepat di Ring Roang menjadi keseharian. Akhirnya, karena sering dipepet waktu, berangkat pukul 07.45 menjadi kebiasaan, dan masuk ke Jalur Cepat Ring Road juga menjadi sebuah hal yang lazim. Jalan 115 km/jam juga menjadi hal yang lazim dilakukan di Jalur Cepat. Kadang malah balapan dengan teman-teman SMA lain, bahkan dengan teman 1 SMA. Biasanya jika sudah berbarengan dengan teman-teman dari Turi yang berangkat lebih dulu dan teman dari Jalan Kaliurang, balapan seru 3-4 sepeda motor sesama siswa JB berlangsung seru mulai dari Ring Road sampai Jalan Gejayan. Pesaing seru biasanya Toni, si Jay, dan Odit adik kelas semasa SMA. Bila 3 sepeda motor ini sudah masuk Jalan Gejayan dengan raungan khas, tiap orang yang ada pilih minggir daripada disikat. Di jalan boleh sikut-sikutan tapi masuk parkiran SMA, semuanya langsung tertawa-tawa lepas dan gojeg seperti biasa.
Rekor perjalanan dari rumah ke Sekolah adalah 7 menit lewat Jembatan Sardjito Baru. Kalau lewat Ring Road rata-rata dari 8 menit sampai 15 menit. Karena sering lewat ring-road, jadi hapal. Tiap jalan dari bangjoo ring road Jakal, terus ke arah timur, jalan 80 km/jam konstan, maka sampai bangjoo Concat juga akan dapat hijau. Berlaku juga kalau jalan 115 km/jam konstan, pasti juga pas hijau. Begitu juga dari Ring Road Monjali, kalau jalan ke timur 100 km/jam juga akan pas hijau di Ring Road Jakal.
Masa SMA. Tiap pagi beradu dengan maut untuk bisa sampai ke sekolah. Dan hanya ada di Yogyakarta!

Tak Perlu Saling Menyalahkan, Sudah Jelas Siapa yang Salah

Polemik saling menyalahkan dan saling tuding antara pengendara sepeda motor dan mobil sebagai penyebab dari kemacetan di Surabaya sudah seharusnya disudahi. Sudah sangat jelas mana yang lebih pantas dituding sebagai biang kemacetan kota Surabaya. Bukan atas dasar subjektif karena saya pengendara sepeda motor, namun memang demikianlah keadannya.
Surabaya sebagai sebuah kota metropolitan dengan taraf hidup yang termasuk tinggi. Maka, tak heran pemilik mobil bertebaran di jalan. Yang disayangkan adalah penggunaan mobil yang sangat tidak tepat sasaran, baik waktu, tempat, dan fungsionalnya. Setiap melintasi jalan-jalan besar di Surabaya yang nampak ada beratus-ratus mobil yang hanya berisi satu dan maksimal dua orang saja. Sangat tidak efisien. Pertanyaannya adalah mengapa tidak menggunakan sepeda motor saja? Bayangkan, sebuah mobil memiliki lebar lebih kurang 2,5 meter dan panjang mencapai 4 meter. Artinya, satu mobil saja sudah menghabiskan jalan sebesar 10 meter persegi. Itu saja hanya berisi dua orang dan dua orang tersebut dapat diangkut dengan lebih efisien dengan menggunakan sepeda motor. Jika sepeda motor hanya memiliki dimensi lebar 0,5 meter dan panjang 2,5 meter. Bayangkan, sesungguhnya betapa egoisnya para pengguna mobil tersebut yang hanya menggunakan mobil tersebut sendirian atau berdua dan memakan jalan yang seharusnya bisa digunakan lebih banyak orang. Seandainya bisa berpikir efisien, maka setelah tulisan ini dibuat, akan banyak orang yang tersadar bahwa penggunaan mobil hanya untuk sendirian atau berdua merupakan pemborosan. Pemborosan tempat dan bahan bakar.
Lalu, apa solusinya? Three in One seperti di Jakarta? Itu hanyalah program terobosan yang saya nilai gagal total. Bagaimana tidak? Lihat joki Three in One di Jakarta bertebaran. Memang baik bisa menambah lapangan pekerjaan. Tapi, program itu sama saja nol, kosong. Tujuan utama tidak tercapai, yakni untuk mengurangi jumlah mobil kosong yang bersliweran di Jakarta. Lantas? Pelebaran jalan dan penambahan jalan, apalagi tol dalam kota Surabaya juga merupakan solusi yang konyol. Justru akan memperparah kemacetan kemudian hari. Solusinya hanya satu, angkutan umum massal yang terintegrasi dan terjalin dengan baik.