Kamis, 30 September 2010

Sama-Sama Gelandangan, Beda Tempat Dinesnya

Pernahkah berjalan-jalan di kota-kota Jawa Tengah dan DIY. Sebut saja Yogyakarta. Ketika kita sampai di sebuah perempatan atau pertigaan, apa yang dengan jelas pertama kali dilihat? yang pertama jelas Bang Joo nya, terus berpikiran "Wah, asem ki. Kok masih lama ya ijonya!". Yang kedua sudah pasti timbunan mobil dan motor yang sudah seperti cendol. Dan yang pasti takkan pernah lepas dari tiap persimpangan di Yogyakarta adalah PENGAMEN dan ANAK-ANAK JALANAN. Coba saja cek kalau tidak percaya. Hampir di setiap bangjoo di Jogja ada pengamennya. Entah ini menunjukkan kegagalan pemerintah daerah dalam mengelola keamanan dan kenyamanan daerah, kesalahan pribadi masyarakat yang lebih memilih memiskinkan diri dari pada memperkaya diri, atau kesalahan pemerintah pusat yang dengan kebijakannya menyebabkan kemiskinan yang kompleks? Ini merupakan sebuah PR bagi kita semua. Tapi, yang membuat saya sedikit tertolong di Jogja ini, penampilan peengemis biasanya luthuk-luthuk, pakai baju compang-camping, dan wajah yang sayu.
Bandingkan dengan Surabaya. Pernahkah di sebuah persimpangan di Surabaya ada segerombolan pengamen lantas meminta-minta? Sejauh ini, saya melihat belum ada. Nah, kemudian pertanyaan yang muncul apakah pemerintah daerah berhasil menanggulangi masalah penyakit masyarakat ini? Jawaban saya secara tegas, belum! Coba saja kita makan di warung lesehan (lebih banyak warung tempe penyet) terutama di Jalan Karang Menjangan. Coba cek. Berapa interval tiap pengamen untuk masuk ke warung lesehan? Jawabanyya tidak ada 5 menit. Yang lebih menggelitik adalah, seorang dengan pakaian yang bisa dibilang layak, menenteng tas belanjaan dari supermarket terkenal, kemudian secara tiba-tiba jika bertemu orang menengadahkan tangan dan langsung meminta, "Nyuwun paring-paring, Den".
Tentunya masalah pengamen dan gelandangan ini menjadi PR terbesar bagi pemerintah, dan masyarakat. Sejauh mana perda dan hati nurani berjalan. Penegakan perda hanya sekedar hangat-hangat tai ayam. Yang penting, gelandangan dijaring, diomelin, ditampung, setelah itu terserah. Seharusnya dilakukan langkah lanjutan, yakni memberikan pembekalan pendidikan, dan sokur-sokur memberikan modal usaha kepada para gelandangan ini. Bukankah lebih baik menanamkan modal untuk kesejahteraan rakyat kecil daripada memberikan modal kepada perusahaan milik negara yang sudah pasti besar? Perlu dilakukan juga upaya-upaya prefentif untuk mencegah fenomena pemiskinan diri. Penanganan gelandangan ini tidak melulu harus berjalan kaku sesuai dengan perda. Tapi, diperlukan juga hati nurani dan pemikiran yang kuat, jangka panjang, dan realistis. Saya sebagai masyarakat Indonesia, tidak berharap banyak pada proses pengurangan jumlah gelandangan yang terjadi di Indonesia saat ini. Dan saya dapat memastikan akan semakin buruknya keadaan Indonesia jika sistem lama ini terus menerus diberlakukan dengan mengandalkan kekerasan dan mulut sekedar keluar kata saja.

TITIK NOL JOGJAKARTA

Titik Nol sering diidentikkan dengan pusatnya kota. Jogjakarta punya titik nol. Orang-orang yang pergi ke Jogja biasanya lantas mengatakan pusat Jogja itu di Tugu Jogja. Ada yang bilang di Malioboro. Berarti titik nol kilometer itu di Tugu? Apa malah di Malioboro? Apa jangan-jangan di Merapi hayoooo?
Titik Nol Kilometer Jogjakarta sendiri berada tepat di Kantor Pos Besar Jogjakarta. Bukan sebuah tempat yang luas yang menjadi sentra nongkrong berjuta-juta anak manusia di tempat itu. Melainkan sebuah tempat yang kecil, di tepi perempatan Kantor Pos Besar dengan pencahayaan yang indah. Dengan memandang arah selatan bisa menyaksikan megahnya sebuah gedung masa Belanda. Di bagian timur dijadikan gedung Kantor Pos Besar Jogjakarta, dan di sebelah barat dijadikan kantor BNI. Juga ketika memandang jauh sedikit ke selatan, akan nampak sekilas gambaran Alun-Alun Utara. Kalau melihat ke arah timur, akan nampak Monumen Serangan Oemoem 1 Maret dan Benteng Vredeburg. Di sebelah barat, nampak jelas Gedung Agung, pusat pemerintahan Yogyakarta. Kalau memandang ke utara, akan nampak keriuhan di sepanjang jalan Ahmad Yani yang menjadi satu ruas dengan Jalan Malioboro.
Kegiatannya kapan dan apa? Biasanya Nol Kilometer ini ramai pada malam hari. Kalau siang biasanya menjadi tempat mangkal tukang becak, dan kadang menjadi tempat tidur gelandangan (ini yang nggak suka dari Jogja. Di tiap perempatan banyak gelandangan. Coba di Surabaya. Perempatan bersih dari gelandangan, tapi kalau makan, wuiiihhhh....Banyak tangan tengadah). Aktivitas mulai semakin ramai pada pukul 21.00 keatas. Kalau malem minggu banyak anak-anak dari club sepeda hias, ada anak-anak skate, dan banyak sekali wong mbojo (orang pacaran). Kadang juga di depan Monumen SO 1 Maret ada pentas band.
Yang jelas, menjadi kurang afdol jika ke Jogja belum menikmati atmosfer Nol Kilometer. Transportasi gampang, dan lokasi yang unik dan jarang didapat di kota-kota lain. Jadi, nikmati Nol Kilometer dan rasakan jantung kota Jogjakarta yang sesungguhnya. Feel it, Say it!!

JOGJAKARTA

Pulang ke kotamu ada setangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna. Musisi jalanan mulai beraksi, seiring laraku kehilanganmu. Merintih sendiri ditelan deru kotamu.......

Mungkin ini adalah potongan lirik lagu 'Jogjakarta' karya Katon Bagaskara. Mungkin juga Mas Katon Bagaskara merasa marah dan terhina karena lagunya saya susun sedemikian rupa sehingga menjadi carut marut tidak karuan. Atau dalam Bahasa Jawanya Mawut.
Bukan sebuah kata yang membuat ironi berlebihan jika Jogjakarta memang sebuah kota yang layak untuk dirindukan. Setidaknya ini yang saya rasakan saat ini, setelah lebih kurang hampir 2 bulan saya merantau di kota dengan kultur yang berbalik 90 derajat : Surabaya. Saya memang merasa mulai nyaman berada di Surabaya, tempat perantauan yang benar-benar baru dan memulai semuanya dari 0 %. Dulu hawanya yang panas, sekarang telah berubah menjadi sejuk. Dan entah apa namanya kalau udara di Surabaya sejuk, maka udara di Jogja dingin. Konklusinya udara di Malang sama dengan membeku. Opo tumon?
Tapi, saya masih merasa bahwa hati saya tertinggal di Jogja. Hati disini dalam tanda kutip (kalau hati saya beneran ketinggalan di Jogja, makan gorengan dikit aja udah mati). Ada banyak sekali kenangan yang tak bisa saya lupakan. Mulai sejak saya dilahirkan hingga saya sekarang berdiri di depan kampus kebanggaan saya. Ada semacam ikatan batin antara aku dan kotaku yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Seakan ingin kembali lagi ke Jogja, kemudian menikmati canda tawa bersama teman-temanku di Angkringan Kang Ali, Non Stop Jogja Group, Burjo Jero, Sengsu Pak Santo, dan lain sebagainya yang tak bisa kutemui di tempat ini.
Bahkan, dengan lantang, bila saat ini saya berada di Jogja dan rela membayar saya dengan 1 truk emas batangan dan memindahkan segala hak milik saya ke Belanda dan meminta saya untuk meninggalkan Jogja tanpa kembali lagi, maka saya akan menolak semuanya itu secara mentah-mentah dan menampar orang tersebut. Bagi saya, meninggalkan Jogja sama halnya dengan meninggalkan masa lalu saya. Dan dengan meninggalkan masa lalu saya, maka saya sama saja berjalan tanpa arah dengan otak saya yang kosong. Dan tanpa kita sadari, masa lalu membentu masa depan kita. Artinya, ketika masa lalu itu ditarik dari dalam diri saya, saya harus merelakan masa depan saya hilang.
Jogja, yang jelas saya tidak ingin kehilanganmu tentang masa laluku. Biarlah semuanya kau simpan rapat-rapat. Terserah kau mau menyimpan. Entah di dalam Kraton, Alun-alun Kidul, Gudeg Mbarek, Resto Mang Engking, Sengsu Pak Santo, Warung Burjo dan Nonstopan, Angkringan Kang Ali, Angkringan Lek Man, SMA Kolese De Britto, SMP Stella Duce, TK SD Tarakanita, Ambarukmo Plaza, Shapir Square, atau bahkan akan kau geletakkan begitu saja di Kilometer Nol lengkap dengan kemegahan Vredeburg dan Kantor Pos itu. Yang jelas, suatu saat aku akan kembali ke kota ini dan akan bernostalgi sepanjang masa dengan segala kenangan kecil namun indah yang pernah kutitipkan di kotaku ini.