Kamis, 09 Mei 2013

God is a Dentist

God is a dentist.

Setelah beberapa waktu lalu, populer melalui film cin(T)a, dikenal bahwa Tuhan adalah arsitek (God is an architect) dan Tuhan adalah sutradara (God is a Director). Kini ada istilah yang paling baru lagi, wahai para dokter gigi dan calon dokter gigi sekalian, Tuhan adalah dokter gigi. Dan kita masing-masing adalah pasienNya yang dicintaiNya.

Dokter gigi mencabut gigi yang bermasalah dan menjadi sumber masalah ketika seorang pasien datang dengan keluhan gigi goyang, gigi sakit, atau bengkak.
Begitu juga dengan Tuhan. Ketika kita datang padaNya dengan rasa tidak enak di hati, sakit hati, pusing karena berbagai masalah, Ia meredakan berbagai masalah kita dengan caraNya: mencabut dan mengeliminir masalah yang kita hadapi dengan sentuhanNya yang pada akhirnya menjadi kekuatan kita.

Dokter gigi membuat gigi menjadi lebih putih dan lebih indah dengan bleaching ketika pasien datang ingin giginya lebih indah.
Begitu juga ketika kita datang kepada Tuhan dan memohon agar hidup kita lebih indah: bahwa segalanya akan dijadikan indah tepat pada waktunya.
Ketika dokter melakukan bleaching, akan ada akibat yang akan kita rasakan: gigi menjadi lebih sensitif. Bedanya, kita akan merasakan sebuah kesakitan terlebih dahulu, dan barulah kita akan merasakan bahwa hidup yang diberikan olehNya benar-benar indah, dan benar-benar tepat pada waktunya.

Dokter gigi memberikan anestesi (bius) atau mungkin analgesik (obat untuk mengurangi rasa sakit) kepada pasien yang mengalami kesakitan selama proses perawatan gigi dan mulut.
Tuhan memberikan kita penenangan hati melalui doa, melalui setiap komunikasi yang kita lakukan denganNya. Terhadap segala masalah yang kita hadapi. Tidak hanya ketika masalah menghadang kita, tapi juga ketika kita bahagia, Ia memberikan suatu anestesi dan analgesik yang tidak mungkin dapat dibeli dengan uang berapapun jumlahnya.

Dokter gigi melakukan komunikasi yang intens dengan pasiennya selama masa anamnesis, agar diagnosanya jelas.
Begitu juga dengan Tuhan, Ia senantiasa berkomunikasi dengan kita umatNya. Sekalipun pada akhirnya kita jarang menanggapi pembicaraan yang Ia lakukan kepada kita, dan kita cenderung memilih untuk membuka komunikasi dengan Tuhan ketika kita sakit, terluka, dan payah.

Dokter gigi melalui perawatan konservasi berusaha mempertahankan gigi yang sudah nonvital (sarafnya mati) agar tetap berada di dalam mulut dan tidak merubah lengkung rahang.
Tuhan berusaha memegangi kita ketika badai mendera kehidupan kita.

Dokter gigi membuatkan mahkota (crown) atau gigi tiruan kepada pasiennya ketika pasien tersebut kehilangan gigi.
Demikian juga dengan Tuhan. Ia memberikan kepada kita ganti terhadap sesuatu yang hilang dari tangan kita, yang mungkin sebenarnya itu adalah hak kita atau mungkin bukan hak kita. Ia mengganti yang hilang itu 1000 kali lebih baik daripada sebelumnya.

Satu perbedaan paling mencolok. Bahwa dokter gigi melakukan semua tindakan itu dengan balas jasa berupa biaya yang harus dikeluarkan pasien untuk servis yang telah diberikan. Tapi, Tuhan memberikan semuanya itu gratis tis tis, tanpa meminta imbal jasa.

*Spesial untuk Tuhanku yang sudah membawaku untuk sekolah di Pendidikan Dokter Gigi dan sudah berjalan hampir 3 tahun. I really love You

Kamis, 02 Mei 2013

Mencetak Robot Masa Depan Indonesia

Sebuah tulisan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei 2013, untuk Indonesia tercinta

Indonesia sungguh canggih jika kita pikirkan secara bersama-sama. Bukan karena ada PT Dirgantara Indonesia yang telah berhasil merakit pesawat canggih yang teknologinya tiada duanya di dunia. Bukan juga PT Industri Kereta Api yang berhasil merakit KRDE, membuat mobil, dan merakit chasis bus sendiri. Bukan juga karena ciptaan-ciptaan anak Indonesia lainnya (yang kemudian tidak diakui oleh bangsanya sendiri karena bangsa ini bangsa yang konsumtif. Miris!). Di Indonesia ada beribu-ribu pencetak robot masa depan. Betapa canggihnya Indonesia, dan tanpa disadari sekian tahun kedepan, bahkan hari ini, Indonesia telah dipenuhi dengan robot-robot cetakannya sendiri. Dan nama pabrik robot itu adalah sekolahan.
Meskipun tidak bisa menyamaratakan bahwa semua sekolah adalah pencetak robot, namun sebagian besar sekolah di Indonesia tidak lagi mendidik manusia menjadi 'manusia yang sebenarnya'. Kecenderungan pendidikan di Indonesia adalah mendidik robot untuk menjadi robot: melaksanakan apa yang sudah ada, tanpa mendorong untuk mampu berinovasi menciptakan suatu yang baru, otentik, dan khas. Manusia hanya disuruh belajar-belajar dan belajar. Nilai bagus, sasaran utama. Ini terjadi di semua jenjang. Olimpiade menjadi kebanggaan mati bagi sekolah-sekolah yang dianggap 'berhasil' mendidik siswanya. Padahal jelas mereka telah gagal, karena hanya membesarkan dan menumbuhkembangkan salah satu sisi otak saja. Jarang yang mampu melihat siswa sebagai satu kesatuan utuh manusia, yang tidak hanya memerlukan ilmu, melainkan juga pertumbuhkembangan mental yang sejajar dengan perkembangan ilmu.
Percepatan pendidikan melalui berbagai program pun semakin menunjukkan bahwa Indonesia semakin ingin menghadirkan berbagai fitur unggulan robot-robot produksi mereka: cepat saji. Entah apalah namanya itu, kejar tayang, akselerasi, atau bahkan pendidikan di universitas yang sengaja dipercepat agar bisa meningkatkan daya tampung mahasiswa di universitasnya, adalah sebuah cara paling baik untuk menghapuskan kesempatan bagi manusia untuk dapat menikmati masa muda mereka. Ilmu yang didapatkan hanya setengah-setengah, tentu dibarengi dengan niat belajar yang sudah pasti setengah-setengah. Waktu bermain dan bersosialisasi hilang, kesempatan untuk bisa melatih soft skill akhirnya pun juga turut menghilang. Akhirnya, robot-robot ini semakin dilahirkan prematur, hingga akhirnya suatu saat akan mati tertelan jaman. Mengerikan!

****

Memandang manusia sebagai suatu manusia yang utuh yang terdiri dari berbagai aspek tentu menjadi sangat penting dalam menjalankan fungsi pendidikan di dalam negara. Pendidikan tidak bisa hanya mengembangkan satu sisi saja. Belajar terus menerus memang baik. "Jadi professor" kata orang tua jaman dulu. Perkembangan akan terus menerus ada di otak kiri. Otak kanan akan mati perlahan. Wajah akan semakin mengotak, dan perlahan-lahan mulai meminum bensin atau mendapatkan tenaga dari menancapkan diri di stop kontak. Selamat, sudah jadi robot!
Pendidikan karakter merupakan sebuah kebutuhan mutlak dalam pendidikan Indonesia. Anak muda Indonesia, apalagi orang dewasanya, sudah benar-benar kehilangan arah dalam kehidupan mereka. Budaya ikut-ikutan dengan dunia luar semakin berkembang. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang konsumtif karena tidak mempunyai pendirian yang kuat. Pendidikan karakter lebih dari sekedar perpeloncoan dengan bentak-bentakan dan nilai-nilai yang diajarkan fiktif karena hanya dilandasi oleh rasa ingin balas dendam. Pendidikan karakter adalah mengelola manusia dan memandang manusia secara utuh sebagai manusia: mengembangkan segala minat dan bakat yang dimilikinya, dibiarkan dalam kondisi lepas-bebas mendalami lingkungannya hingga ia mampu menjawab suatu pertanyaan "Siapakah aku sebenarnya?".
Orang muda Indonesia sekarang banyak kehilangan orientasi kehidupan. Segala-galanya merupakan suatu kelatahan yang mereka lakukan sendiri. Orang lain melakukan seperti itu, maka aku pun juga harus seperti itu. Hilangnya orientasi kehidupan ini salah satunya adalah karena tidak memiliki karakter. Sehingga, orang muda sekarang tidak bisa memahami siapa dirinya, seperti apa sifatnya, apa yang ia miliki, dan apa yang bisa ia kembangkan. Tidak adanya karakter ini sangat berbahaya jika diteruskan. Momok pendidikan masa lalu adalah menjadi bodoh. Maka, tidak punya karakter akan membimbing Anda menuju ke arah yang lebih dari sekedar bodoh: tidak punya jati diri, dan secara perlahan-lahan Anda akan mengalami disorientasi hidup, tidak punya tujuan, hingga predikat Anda sebagai manusia pantas disemayamkan di pusara-pusara pinggir jalan.
Berbagai aksi anti narkoba, anti sex bebas, anti mencontek, dan anti-anti lainnya tidak akan berjalan dengan baik selama manusia-manusia Indonesia ini tidak berkarakter karena semuanya dimulai dari ikut-ikutan. Menegakkan karakter masing-masing individu dan menghargai hakikatnya sebagai manusia yang memiliki ciri khas masing-masing menjadi penting dalam berbagai penanganan kasus penyakit masyarakat, apalagi oknum pelaku penyakit masyarakat dewasa ini berasal dari golongan orang muda. Meskipun pendidikan karakter ini pada kemudian hari tidak mengesampingkan juga pendidikan dan pemahaman utama mengenai ilmu yang bersangkutan. Sebegitu berbahayanya tidak memiliki karakter, jika dibandingkan tidak memiliki ilmu. Bob Sadino bukan orang yang berilmu. Beliau bukan orang yang berilmu, bahkan sekolah tinggi pun tidak. Namun, beliau memiliki karakter sehingga beliau bisa sukses. Kesalahan masyarakat umum adalah "Orang nggak sekolah aja lho, bisa kaya. Aku tak nggak usah sekolah aja!" dan pandangan ini merebak karena mereka tidak paham, hanya orang yang berkarakter lah yang bisa maju.

****

Inilah cerminan pendidikan Indonesia masa kini. Orang muda hari ini butuh lebih dari sekedar belajar matematika, kimia, fisika, geografi, akuntansi. Mereka, kami, perlu pendidikan karakter yang lebih mendalam, memandang kami sebagai satu unit manusia utuh dari segala aspeknya. Dengan matematika, kami mungkin bisa paham aspek penalaran. Dengan fisika, kami paham aspek-aspek kehidupan yang berhubungan dengan gaya dan kami mampu menghitungnya. Namun, tanpa karakter, kami yakin, kami tidak akan bisa bertahan hidup, dan terus menerus terbawa arus: menjadikan Indonesia semakin menjadi bangsa yang terbelakang, bangsa pengikut, dan konsumtif tanpa bisa menghargai karya anak negri.
Bagi Anda yang merasa hanya dikekang oleh sekolah untuk berorientasi pada nilai mata pelajaran, gugatlah sekolah kalian dan katakan bahwa Anda tidak butuh doktrinasi. Yang Anda butuhkan adalah pendidikan yang lengkap yang memandang satu manusia sebagai unit yang utuh, tidak terdiri dari aspek kognitif saja. Katakan bahwa Anda bukan Robot yang perlu diprogram untuk menjadi robot-robot yang produktif menjadi kuli dan bawahan saja.
Akhir kata, mari terus berjuang bersama meraih kemerdekaan pendidikan di Indonesia. Bahwa Indonesia memerlukan banyak tenaga pendidik, dan pendidikan yang lebih merata. Bahwa Indonesia ini masih bodoh dan masih diperbudak. Berpendidikanlah, dan berkarakterlah. Maka sebagian dunia akan menjadi milikmu. Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Mari kita jadikan Ki Hadjar Dewantara menangis bahagia bukan karena setiap tanggal 2 Mei kita berdiri di lapangan menghormati beliau, namun karena konsep pendidikan yang diajukan beliau benar-benar mampu membuat Indonesia menjadi bangsa yang cerdas, beradab, dan berkarakter.