Minggu, 16 Januari 2011

Bermalam Bersama Bunda Maria




Sabtu Siang, waktu sudah menunjukkan pukul 13.00.
Saya harus bergegas menuju Terminal Bungurasih untuk memulai perjalanan saya ke Kediri. Ini merupakan perjalanan saya yang pertama kali dimana perjalanan ini dilaksanakan sendirian ke kota yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Biasanya bila saya berkunjung ke kota yang belum pernah saya kunjungi, saya hanya singgah di terminalnya saja sebentar kemudian melanjutkan perjalanan. Dan kali ini saya benar-benar sendiri menelusuri beberapa sudut Kota Kediri.
Perjalanan saya lakukan pukul 15.01 dengan PO Sumber Kencono Nucleus 3 W 7501 UY menuju Kertosono. Sampai di Brak'an, saya kemudian turun dan berganti bus dengan menggunakan PO Pelita Indah Nisan CB.

*****

Senja itu masih menggantung. Pukul 18.15 saya sudah memasuki kota Kediri. Saya memutuskan untuk turun di terminal saja karena memang tujuan saya dekat dengan terminal. Ojek menjadi pilihan saya saat itu karena memang jam-jam segitu Kota Kediri sudah jarang angkutan umum. Rp 15.000,00 saya keluarkan untuk naik ojek dari terminal ke Gereja Puhsarang. Ini merupakan tujuan utama saya selain menuju Harapan Jaya Tulungagung. Saya telah berjanji sebelumnya dengan Bu
nda Maria apabila saya mampir ke Kediri, maka saya pun juga akan menyempatkan diri untuk mampir ke Puhsarang.
Tempat ini sudah 6 tahun tidak saya kunjungi. Terakhir pun hanya berangkat bersama rombongan 1 bis dan hanya singgah 2 jam saja untuk jalan salib dan doa pribadi. Kali ini saya menyempa
tkan diri untuk berziarah semalam suntuk di tempat itu.
Pukul 18.30 saya sudah tiba di depan Gereja Puhsarang. Dan kenyataan berada di luar dugaan saya. Goa Maria saat itu sedang sepi-sepinya. Warung yang jumlahnya sangat banyak itu pun juga telah tutup. Saat itu saya ingin makan Tongseng RW (Sengsu : Tongseng Asu). Maka saya mencari warung yang ada tulisan Rica-rica RWnya. Warung
tersebut saya datangi, dan ternyata sedang berkemas untuk tutup. Itu adalah warung terakhir yang masih menjual nasi malam itu. Saya pun memulai percakapan
"Lho, sudah mau tutup Bu?"
"Iya Mas, lha Masnya ngersakke nopo?"
"Wah, saya mau makan e Bu. Kalau sudah tutup ya sudah..."
"Wooo, wah, Pak, Masnya ini mau makan e. Pintunya jangan ditutup dulu."
Itulah awal mula saya bisa mendapatkan makan malam itu. Dengan belas kasihan yang sangat, warung tersebut tidak jadi ditutup. Saya akhirnya memesan 5 tusuk sate babi dan 2 piring nasi putih serta segelas teh anget. Saya pikir saya adalah pembeli yang terakhir. Ternyata, kemudian datanglah sekeluarga beranggotakan 3 orang singgah ke warung kecil tersebut. Kemudian datang pula satu keluarga beranggotakan 3 orang juga singgah ke warung tersebut. Sehingga, warung yang hampir tutup tersebut menjadi ramai kembali.
Obrolan demi obrolan kami lakukan. Dan ternyata, satu keluarga yang datang pertama kali tersebut juga berasal dari Jogja, sama seperti saya. Lalu, kami mengobrol dengan akrabnya karena ternyata beliau berasal dari Paroki Kotabaru. Bahkan, saya ditawari tumpangan bersama mereka kalau
hari Minggu pagi pulang ke Surabaya karena mereka juga ingin mampir ke Surabaya.
Berbagai hal kami bicarakan. Mulai dari masalah ngrasani Romo Paroki, masalah merapi, masalah Ekonomi, sampai masalah politik kami bicarakan. Tak terasa pula sudah pukul 19.30. Akhirnya keluarga tersebut pun pamit dan saya pun juga pamit karena ingin melakukan jalan salib.

****

Jalan Salib malam itu sangat melelahkan, menakutkan, dan mendebarkan. Baju saya basah karena keringat yang menetes itu. Kemudian saya singgah sejenak di depan Goa Maria untuk melakukan doa. Tapi, ternyata hujan pun turun dengan derasnya. Terpaksa saya lari menyingkir dan mencari tempat berteduh. Sedianya, saya akan tidur di teras Gereja Puhsarang. Tapi, karena hujan terlanjur deras, maka saya tidur di Aula Emaus yang sangat terbuka. Saya langsung ambruk dan tertidur di sana. Perasaan saya sangat takut malam itu karena Aula Emaus itu berada persis di samping kuburan Katolik. Saya tak bisa tidur sampai pukul 01.00. Semenjak pukul 21.30 sampai pukul 01.00 itu, sudah berkali-kali ada orang lewat. Orang tersebut selalu memandang saya dengan aneh.
Malam itu sungguh menusuk. Meskipun sudah memakai jaket tebal, celana jeans panjang, dan kaos kaki yang masih lengkap dengan sepatunya, hawa dingin masih mampu menerobos masuk. Malam itu, selama saya tertidur secara tidak nyaman di Aula Emaus, saya ditemani seekor anjing. Entah mengapa, setiap kali saya sendirian, saya selalu ditemani oleh seekor anjing. Maka, saya menganggap semua anjing itu adalah sahabat saya yang lucu dan bisa diajak bermain. Akhirnya, saya beranjak bangun dan berjalan ke komplek warung untuk sekedar mencari teh atau kopi hangat, lalu kemudian berdoa lagi di depan Goa Maria. Ternyata semua warung sudah tutup. Akhirnya, langkah saya tanpa saya sadari mengayun ke pelataran Gereja Puhsarang. Benar saja disana sudah terbaring dengan nyenyaknya 4 orang pemuda yang memang sengaja menginap di Puhsarang. Akhirnya, saya bergabung dengan mereka dan tertidur lelap. Di tempat itu, meskipun terbuka, saya tidak merasakan kedinginan yang sangat. Entah apakah karena ada karpetnya, atau saya diselimuti oleh Roh Kudus.
Pagi, pukul 04.51 saya baru benar-benar terbangun. Saya segera bangun lalu menuju Goa Maria untuk melakukan 3 doa : Rosario biasa, Rosario Pembebasan, dan Doa Kepada Bunda Maria Bunda Allah. Setelah selesai, pukul 06.05 saya mandi sebentar, kemudian berangkat ke Jalan Mastrip untuk bertemu teman-teman saya dari Bismania.com.

****

Sungguh pengalaman tiada tara bagi saya. Saya tidak menyangka bisa kembali ke Puhsarang lagi dan menjalankan segala rutinitas keagamaan di sana. Saya merindukan hal itu dan ingin suatu saat kembali ke sana lagi. Terima kasih ya Bunda Maria atas segalah yang telah Kau berikan sejak awal, hingga aku bisa pulang ke Surabaya lagi dengan selamat malam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar