Senin, 24 Januari 2011

Patologi Tukang Parkir

Judulnya sangat menggelitik dan seolah-olah menyangkut masalah kedokteran. Mengacu pada arti patologi sendiri menurut wikipedia sendiri adalah merupakan suatu ciri-ciri perkembangan sebuah penyakit melalui analisis perubahan fungsi dan atau keadaan bagian tubuh. Sedangkan patologi sosial sendiri menurut wikipedia berarti ilmu tentang gejala-gejala yang dianggap sakit (dalam hal ini bertentangan dengan yang seharusnya). Patologi tukang parkir sendiri saya definisikan sedemikian rupa sehingga memiliki arti sebagai suatu 'penyakit' yang mulai timbul pada tukang parkir terutama kaitannya dalam dunia perparkiran. Penyakit ini berarti pada sejumlah penyelewengan atau penyalahfungsian.
Seperti kita tahu, nyaris semua daerah di kota tak pernah lepas dari apa yang namanya tukang parkir. Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan mereka memang untuk mencari nafkah. Namun, tak jarang pula keberadaan tukang parkir ini justru sama sekali tak membantu dan mempermudah kita. Namun justru mempersulit, bahkan kadang membuat kita dongkol.
Rasa dongkol kadang muncul dengan berbagai penyebab. Misal karena tukang parkir yang sangat tidak profesional. Tidak dipungkiri bahwa ternyata tukang parkir memerlukan sebuah pelatihan khusus dan tidak bisa ngawur dalam melaksanakan tugas memarkir kendaraan tersebut. Suatu ketika pernah di daerah Jogja, ada seorang tukang parkir yang nampaknya kurang profesional justru membuat mobil yang sedang diberikan aba-aba harus menyerempet mobil depannya karena tukang parkir yang kurang melihat jarah antar mobil tersebut. Alhasil, tukang parkir tersebut nyaris menjadi bulan-bulanan pengemudi mobil.
Namun, ada lagi tingkah tukang parkir yang cukup membuat dongkol. Misalkan kita akan membeli suatu barang di sebuah toko. Ketika tidak mendapatkan barangnya, kita tetap akan ditarik biaya parkir. Ini merupakan pengalaman pribadi saya. Suatu hari, saya pernah dalam sekali trip saya menghabiskan Rp 4.000,00 hanya untuk parkir, sementara barang seharga Rp 3.000,00 yang saya cari tidak saya temukan. Tentunya ironis ketika harga barang yang dibeli dengan biaya parkir lebih mahal daripada harga barang yang kita beli. Bahkan, suatu ketika pernah ada anekdot,"Saya beli sebuah cat seharga Rp 49.000,00. Tapi kemudian uang Rp 1.000,00 itu dipakai untuk membayar parkir. Padahal seandainya Rp 1.000,00 itu saya simpan, masih bisa saya pergunakan untuk keperluan lainnya."
Lebih menyebalkan lagi ketika kendaraan yang kita parkir itu kita tunggu sendiri. Sudah tahu seperti itu, masih ditarik biaya parkir. Merupakan sebuah hal yang tidak masuk akal karena tidak mungkin sebuah kendaraan yang ada penghuninya kemudian dicuri bersama dengan penghuni yang masih ada di dalamnya.
Yang lebih membuat dongkol lagi, dan ini hanya terjadi di Surabaya, bahwa di Indomaret, Alfamart, dan Circle-K juga dijaga oleh para tukang parkir. Padahal disitu sudah jelas tertulis bahwa "PARKIR GRATIS" tapi tampaknya itu juga tidak diindahkan oleh tukang parkir tersebut.
Sejauh ini, kemudian muncul patologi tukang parkir. Bahwa kemudian parkir kendaraan hanyalah menjadi sebuah bentuk lain dari premanisme yang menghalalkan segala cara dalam mendapatkan uang. Ketidaknyamanan ini pada akhirnya akan berdampak pada kemajuan pariwisata kota tersebut. Sebenarnya masih banyak bentuk patologi tukang parkir lainnya yang berujung pada premanisme. Di antaranya adalah menaikkan tarif parkir di atas normal, seperti yang terjadi di arena Sekaten Jogja. Sepeda motor diharuskan membayar Rp 3.000,00 sekali parkir. Tentu ini menjadi PR bagi pemerintah, dan tentunya bagi kita semua agar berani lebih tegas kembali menyikapi premanisme kecil-kecilan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar