Jumat, 20 Juni 2014

Indonesia: Sudah Seharusnya Agama dan Politik Dipisahkan

Beberapa saat ini, atau bahkan sudah sejak berpuluh tahun lalu pasca Indonesia merdeka, sudah banyak yang mencampuradukkan agama masing-masing ke dalam ranah politik. Sehingga mulailah tercipta suatu garis-garis yang mulai nampak kelihatan: membawa Indonesia menjadi negara dengan kiblat/dasar agama tertentu. Ini berbahaya, karena Indonesia berlandaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika: Berbeda tapi tetap satu, Bangsa Indonesia. Awal mulanya sederhana, ketidakmampuan memisahkan agama dan politik. Ketidakmampuan menentukan saat yang tepat kapan harus berbicara dalil agama dan kapan harus berbicara mengenai politik. Sejatinya, agama dan politik harus dipisahkan karena merupakan dua dimensi yang berbeda, terutama bagi Indonesia. Lain ceritanya dengan negara-negara lain yang memang sejak awal mendeklarasikan diri sebagai negara dengan dasar dalil agama tertentu. Dalam berbicara politik, tidak bisa membawa agama. Demikian juga, ketika berbicara agama, tidak etis pula bawa-bawa politik. Meskipun pada awalnya, agama membawa dua dimensi: dimensi vertikal yang menjalin hubungan antara manusia dan Sang Pencipta (Tuhan) dan dimensi horizontal yang mencakup hubungan antar manusia.
Seperti yang sudah saya jelaskan di awal, bahwa agama dan politik di Indonesia, apapun agamanya, adalah dua dimensi yang berbeda. Ketika berbicara politik, maka kita mengacu pada dasar-dasar yang mengatur negara ini. Ada cukup banyak Undang-Undang di Indonesia. Tapi, kali ini saya mengacu pada dasar tertinggi setiap Indonesia: Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua hal tersebut adalah dasar tertinggi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Agama, menjadi sebuah komoditas pembuat konflik paling menggiurkan di Indonesia. Terutama dalam hal politik, kadang membawa-bawa agama menjadi satu-satunya solusi yang paling menyenangkan agar debat semakin tidak berujung, semakin panas, tapi tidak solutif. Agama sendiri, agama apapun itu, mempunyai dasar tertinggi tersendiri, yaitu Kitab Suci. Setiap apapun yang dilakukan, dalam sebuah agama, diakui atau tidak, sumbernya pasti dari Kitab Suci yang kemudian sering disebut sebagai 'Suara Tuhan'.
Perbedaan dasar tertinggi inilah yang membuat agama dan politik tidak bisa dipersatukan di Indonesia (dan di negara lain yang sama dengan Indonesia, tidak menganut negara agama tertentu). Dasar tertinggi NKRI adalah UUD 1945 dan Pancasila sementara dasar agama adalah Kitab Suci. Padahal, dalam proses pembuatannya, dasar tertinggi NKRI tidak dibuat berdasarkan kitab suci agama tertentu, melainkan dasar pemikiran bersama pendahulu-pendahulu kita yang menginginkan agar Indonesia bisa bersatu. Belum lagi Undang-Undang yang dibuat memang tidak didasarkan pada satu kitab suci agama tertentu saja, melainkan universal. 
Perbedaan dasar inilah yang membuat kita harus mampu memisahkan antara agama dan politik, tidak bisa dicampur adukkan. Seperti yang telah diketahui, berdebat mengenai politik dan memasukkan faktor agama ke dalamnya, akan menjadi debat yang berkepanjangan. Ya karena ini, dasar yang berbeda. Meskipun sama-sama dicantumkan di kitab suci masing-masing tentang hal-hal tertentu, namun dalam politik keputusan tertinggi tetap ada Undang-Undang, bukan pada kitab suci agama tertentu. Begitu juga ketika berbicara masalah keagamaan, keputusan tertinggi tentu diambil dari kitab suci dan mungkin peraturan agama itu sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan Undang-Undang.
Jadilah insan yang cerdas dengan tidak membawa-bawa agama dalam berpolitik dan tidak membawa-bawa politik dalam beragama. Agama cukup disimpan dalam hati saja dan dilaksanakan sepenuh hati, akal, dan budi. Agar menang dalam pembicaraan, tidak perlu kok menguasai semua agama setiap lawan berbicara. Cukup menguasai isu, keadaan, dan solusi akan menjadikan diri Anda 'lebih menang' dalam pembicaraan. Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake

Rabu, 18 Juni 2014

Seputar Penutupan Dolly: Bisakah, Pentingkah?

Beberapa hari, bahkan beberapa minggu terakhir ini di Surabaya sedang hangat tentang berita penutupan Lokalisasi Dolly dan beberapa lokalisasi lainnya yang terletak di pinggiran Surabaya (Klakahrejo, moroseneng, dll) yang telah dilaksanakan sebelumnya. Penutupan Dolly menjadi topik terhangat minggu ini, karena kabarnya lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara ini (tapi saya tidak yakin dengan hal ini) akan segera ditutup. Bahkan, seorang dosen senior saya dengan santai menanggapi isu 'guyonan' ini dengan guyonan juga: "Piye mau mbengi, sido njajal diskonan ora? Jarene onok diskonan (nang Dolly)." (Gimana tadi malam, jadi coba diskonan atau tidak? Katanya ada diskonan (di dolly karena mau ditutup)."
Isu penutupan Dolly ini memang saya menganggapnya sebagai sebuah 'guyonan', sebuah tanggapan wayang kulit besar yang didalangi oleh Bu Risma, Walikota Surabaya. Bukan saya tidak setuju dengan penutupan lokalisasi sejenis Dolly ini, tapi ada sedikit hal yang menggelitik yang sebenarnya lebih urgent untuk segera diperbaiki daripada sekedar mengurusi lokalisasi. Saya, secara pribadi, bahkan setuju jika semua lokalisasi ditutup karena dapat merusak otak generasi mendatang (sebenarnya yang membuat rusak bukan lokalisasinya, tapi mentalitasnya dan budi pekertinya yang jorok dan tidak diajari hal-hal yang baik saja, akhirnya pikirannya jorok dan tidak bisa menahan hawa nafsu).
Ibarat pewayangan, penutupan Dolly adalah sebuah mega-drama yang melibatkan banyak tokoh dengan karakter masing-masing: ada yang benar-benar setuju, ada yang setuju karena dibayar, ada yang tidak setuju karena beberapa hal, ada yang setuju tapi padahal tidak setuju, ada yang netral, ada yang mencak-mencak, ada yang malah menjadikannya bahan guyonan -seperti yang saya lakukan. Selalu ada pro dan kontra dalam penutupan lokalisasi, dimanapun itu. Demikian juga yang pernah terjadi di dekat SMP tempat saya bersekolah dulu: Pasar Kembang, Yogyakarta. Ada banyak pendapat yang berkembang, dan saya mengkritisi dan berusaha melihat dari segi yang lainnya.
Penutupan Dolly ini sudah cukup terencana dengan baik: penutupan lokalisasi-lokalisasi kecil diluar dolly terlebih dahulu, diimbangi dengan pembinaan para PSK-Mucikari mengenai skill-skill yang bisa dilakukan setelah 'pensiun' sebagai PSK, dan pemberian kompensasi berupa dana bagi PSK-Mucikari-warga sekitar. Bahkan, semuanya dijamin memperoleh pekerjaan selama beberapa tahun kedepan. Semua prosesnya sangat baik, sangat sempurna bagi saya yang selama ini mengamati penutupan lokalisasi dimana-mana (yang polanya selalu main gropyok sana-sini, berusaha menghancurkan, lalu sudah padahal belum). Sayangnya satu, semua proses tersebut dilakukan dengan terlalu cepat. Sangat cepat bahkan. Pandangan saya pribadi, proses tersebut, jika berjalan dengan baik, akan memakan waktu 1-2 tahun, bahkan hingga 5 tahun, dan bukan proses yang mudah: perlu melibatkan koordinasi yang baik antara warga sekitar, tokoh lintas agama, dinas sosial, perlu negosiasi yang penuh secara perlahan-lahan antara pihak pro dan kontra, serta memberikan pemahaman yang mendalam mengenai bahayanya lokalisasi (lokalisasi adalah salah satu tempat yang tidak higienis, dimana mungkin semua jenis penyakit, tanpa terkecuali, dapat saling menular dari satu orang ke orang lain, dan jenis penyakitnya pun berbahaya semua). Saking cepatnya proses yang dilakukan (hanya dalam hitungan bulan, melalui proses deklarasi-pembinaan-pemberian uang-lalu ditutup), saya kemudian menangkap bahwa penutupan Dolly ini murni hanya ambisi yang tak bisa ditahan dari Bu Risma. Padahal, kalau Bu Risma bisa sedikit bersabar dan legowo, hasilnya sudah pasti akan lebih baik dari sekarang ini. Lebih soft.
Pembinaan, baik dalam bidang skill dan kerohanian, serta pemberian modal usaha/uang, juga sudah cukup baik. Tapi sebenarnya ada yang lebih tepat. Bayangkan seorang PSK, tidak usah PSK muda, yang cukup tua saja, berumur sekitar 35-40 tahun. Dalam sekali bekerja, katakanlah ia mendapatkan gaji Rp 300.000,00 (bahkan katanya ada yang harganya mulai dari Rp 80.000-4 juta) yang merupakan gaji standart setelah bekerja. Dalam sehari, ia bisa bekerja 2-3 kali, yang artinya dalam sebulan (dengan asumsi hanya bekerja 25 hari, dan sehari bisa bekerja sampai 2 kali), maka dalam sebulan, ia bisa memperoleh gaji Rp 15.000.000,00. Jika dipotong untuk pemasukan mucikari, mungkin bersih ia akan menerima Rp 10.000.000,00 per bulan. Wow, PNS saja kalah lho! Kemudian sekonyong-konyong pemerintah memberikan biaya cuma-cuma dengan besaran yang bisa saya katakan tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan gaji mereka. Pernah mendengar kisah PSK yang bertobat tapi kembali lagi menjadi PSK karena gaji yang terlalu kecil? Saya berkali-kali mendengar cerita tersebut. Saat saya ada tugas di daerah lokalisasi Jarak, saya mendengarkan cerita ada beberapa ibu-ibu yang dulunya bekerja demikian dengan gaji yang sangat besar. Tiba-tiba lokalisasi akan ditutup dan mereka diajari untuk bekerja lainnya: menjahit, fashion, rumah makan. Memang mereka beralih profesi, tapi tidak bertahan lama setelah mereka sadar bahwa pendapatannya jauh menurun, sementara gaya hidup terlanjur tinggi. Akhirnya, kembalilah mereka ke jalan yang salah dan mengulang masa lalunya. Alasannya: penghasilan yang tinggi dan kerja yang enak, nggak perlu susah payah. Titik permasalahan utamanya bukan pada uang, tapi bagaimana para 'pekerja' ini bisa memanfaatkan uangnya yang mereka miliki ke arah jalan yang benar, dan bisa membebaskan mereka dari jerat 'perdagangan manusia' ini. Jalannya memang panjang, butuh waktu lama. Dimulai dari pendataan terlebih dahulu untuk mencegah PSK pendatang baru. Kemudian dimulai pembinaan, bagaimana memanfaatkan uang yang ada: tidak cuma untuk mabuk-mabukan, membeli baju-baju dan barang-barang mahal, tapi bisa untuk membuat usaha yang lebih bermartabat dengan penghasilan berlipat (saya rasa banyak orang yang bisa dan tahu tentang hal ini). Pembinaan tersebut dibarengi dengan penyegaran rohani dan pembelajaran kembali mengenai budi pekerti dan perbaikan mentalitas. Seiring pembinaan berjalan, usaha pribadi masing-masing PSK-Mucikari binaan juga berjalan, disini dilakukan evaluasi agar tidak terjadi PSK-Mucikari kambuhan. Karena kalau sampai terjadi PSK-Mucikari kambuhan, benar lokalisasi tersebut akan tutup, tapi akan muncul lokalisasi lainnya yang tersebar, dan ini lebih mengerikan. Baru setelah dirasa siap, maka lokalisasi dikosongkan dan siap ditutup. Tentu pembenahan di daerah lain selain daerah lokalisasi menjadi wajib dilakukan.
Kedua, mengenai penutupan lokalisasi dianggap bisa langsung menghentikan kegiatan pelacuran di kota tersebut. Ini menurut saya pandangan yang terlalu kekanak-kanakan. Penutupan lokalisasi hanya akan menghentikan secara simbolis kegiatan pelacuran di kota, tapi secara kenyataannya, praktek pelacuran justru menyebar ke berbagai titik kecil dan sukar dilacak. Namanya juga lokalisasi, fungsinya adalah untuk melokalisir kegiatan pelacuran (meskipun ini tidak sepenuhnya 100% bisa dibenarkan karena di dalamnya terjadi berbagai dinamika yang mengerikan: jual-beli manusia, penyiksaan, mempekerjakan anak di bawah umur, dll) dengan harapan kegiatan pelacuran diluar lokalisasi tidak terjadi. Ibarat didirikannya food court dalam sebuah pasar pakaian, harapannya pengunjung kalau makan ya di food court, jangan makan di lorong-lorong toko pakaian. 
Sudah cukup baik ketika sebuah kota memiliki lokalisasi, baik besar atau kecil, ya namanya tetap lokalisasi. Tugas pemerintah dan masyarakat sebenarnya tidak banyak: hanya melakukan kontrol sosial. Bagi saya yang tinggal di Surabaya baru 4 tahun ini, saya lebih sedih ketika mendengar kabar bahwa Kenjeran Park, sebagai sebuah tempat wisata unggulan Surabaya, menjadi tempat mesum setiap sore bagi puluhan bahkan ratusan remaja/dewasa jika dibandingkan mendengar berita seorang wanita tuna susila yang rela dibayar Rp 2000 untuk 'menservis' anak-anak SD di prostitusi Jarak. Meskipun sebenarnya kedua-duanya berita yang sangat menyedihkan bagi saya, dan kedua-duanya perlu ditindak lanjuti. Setidaknya, karena sudah ada lokalisasi, pemerintah dan masyarakat melakukan kontrol sosial terhadap yang 'mesum di lokasi umum'. Tidak layak bukan ketika berkunjung ke Kenjeran Park, ada sepeda motor tapi ternyata yang punya lagi 'enak-enakan' di parit dengan pasangannya (dan ini tidak cuma satu, apalagi kalau malam Minggu)? Kemudian dilanjutkan lagi dengan salon-salon plus-plus yang masih menjamur di sana-sini, prostitusi berkedok spa dan pijat, hotel-hotel mesum yang masih menjamur terutama di malam Minggu (bahkan di Surabaya, ada lho beberapa hotel yang mendapat ratting sebagai 'hotel mesum'). Yang demikian ini seharusnya mulai ditekan, dikontrol karena lebih mengerikan karena lebih menggiurkan: biasanya yang di spa ini wanitanya dibayar sangat mahal dengan bonus berlimpah-limpah dan kadang usianya masih cukup muda. Bahkan kadang di bar dan cafe pun banyak terjadi transaksi, yang mirisnya, tidak jauh beda dengan transaksi di prostitusi: jual-beli nafsu kepada wanita.
Daripada melakukan hal yang sangat besar dengan tergesa-gesa, sebaiknya memang pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkot Surabaya dan Ibu Risma, lakukanlah hal-hal yang kecil dan terarah jika memang tujuannya adalah Surabaya yang bebas dari prostitusi dan praktek jual-beli syahwat (lain halnya kalau memang benar tujuan penutupan Dolly ini cuma demi pencitraan). Lakukanlah hal kecil dengan mengontrol praktek-praktek mesum di Kenjeran Park, di taman-taman, di daerah sepi (bahkan sempat beredar kabar Makam Peneleh juga jadi tempat mesum), hotel-hotel mesum (jangan hanya karena setoran besar lalu tidak ada kontrol dari pemerintah), menanamkan kembali pelajaran budi pekerti berkaitan hal ini di sekolah-sekolah (mentalitas remaja saat ini rusak, pikirannya selangkangan melulu. Omongannya selangkangan tidak masalah, yang penting pikirannya tidak selangkangan. Memang remaja adalah masa paling labil dan ingin tahu, disinilah perlu dipoles agar rasa ingin tahu mereka tidak menjadi rasa penasaran dan akhirnya ingin mencoba-coba akhirnya ketagihan). Setelah yang dipinggiran beres, atau bersamaan dengan itu, bisa dimulai program penutupan lokalisasinya secara bertahap, tenang, nggak usah koar-koar di media massa. Sehingga bisa dipisahkan mana massa yang pro dan kontra.
Pun sebenarnya Surabaya tidak terkenal dengan Dollynya. Cuma orang bodoh yang mengganggap Surabaya adalah Dolly. Surabaya lebih dari sekedar itu.

*Refleksi dari pola penutupan prostitusi yang begitu-begitu saja. Rata-rata sama: semua pimpinan daerah mau dianggap 'suci', bersih, dan heroik dengan menutup lokalisasi. Padahal, pimpinan daerah harus bisa berpikir lebih daripada itu. Kalau yang kecil-kecil (mesum di taman, di parkiran, di tempat wisata) saja tidak diberantas, bagaimana yang besar-besar mau diberantas?

Rabu, 11 Juni 2014

Yogyakarta (Bergerak) Menuju Perubahan

Secara kronologis, 2 bulan saya tidak kembali ke Jogjakarta tepat pada tanggal 9 Juni kemarin. Tapi, fakta menunjukkan, hampir 6 bulan saya tidak jalan-jalan menyusuri sudut-sudut kota Jogja yang katanya Katon Bagaskara "Bersahabat, penuh selaksa makna". Biasanya, ketika pulang kampung menjadi PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad) saya hanya pilih 'ndekem' di rumah, nganter Ibu ke kantor, cangkrukan di warung burjo waktu malam, beli siomay mbak solam di depan SD Tarakanita, atau mungkin cuma ziarah ke Sendang Sono. Kemarin, 9 Juni saya kembali berjalan-jalan menyusuri sudut-sudut kota Jogja, terutama di daerah dekat SMA saya, SMA Kolese De Britto, daerah Jalan Kaliurang, Jalan Magelang, Jalan Godean, Jalan Bantul, Ring-Road Utara, Jalan Gejayan, Sagan, Jalan Lempuyangan, sampai Jalan Solo. Terlepas dari isu-isu penyerangan terhadap agama tertentu dan penyerangan etnis tertentu yang terjadi di Jogja belakangan ini, Jogja sudah mulai berubah, mulai bergerak secara perlahan meninggalkan Jogja yang dulu: bersahabat penuh selaksa makna.
Secara jelas tapi pasti, Jogja bergerak menuju ke arah kota dengan gaya seperti kota metropolitan, meskipun sebenarnya Jogja sendiri belum siap menjadi sebuah metropolitan. Sudah mulai terlihat arah pergerakannya ketika tahun 2006, saat Ambarrukmo Plaza berdiri. Dan lebih jelas lagi saat memasuki masa-masa akhir 2013: banyak izin membangun bangunan besar (apartemen, mall, dlsb) yang mulai diterbitkan. Sampai saat ini, sudah ada beberapa apartemen lebih dari 15 lantai yang siap huni, terutama di Jogja utara. Ada beberapa mall diantaranya Hartono Mall, Jogja City Mall, dan total ada sekitar 5 mall baru yang berdiri di Jogja-Sleman. Hartono Mall sendiri diklaim akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara (saya tidak yakin itu karena Tunjungan Plaza saja sekarang sudah hampir sampai Tunjungan Plaza 6). Pola ini secara tidak langsung menjadikan Kodya Jogjakarta sebagai pusatnya, sementara pertumbuhan kota akan bergerak ke arah Sleman (tidak bisa dipungkiri, selain lokasi yang strategis, juga hawanya yang sejuk masih menjadikan Sleman sebagai primadona).
Berkembangnya Jogja ke arah metropolitan, tentu akan mengalami penyesuaian dalam berbagai hal. Salah satunya yang paling ketara adalah gaya hidup. 4 tahun yang lalu, saya hanya mengenal warung Spesial Sambal, Waroeng Steak, Popeye Chicken, KFC, MCD, Texas Chicken, dan es teler Kridosono sebagai makanan dengan kelas harga yang mahal. Untuk cafe/tempat nongkrong berkelas, saya hanya sempat mengenal Dixie meskipun saya sendiri belum pernah 'nyangkruk' disana, paling mentok di selasarnya Galeria Mall sekalian WiFi gratis. Sekarang semuanya berubah, makanan mahal disana-sini, tempat nongkrong mahal disana-sini. Dulu nongkrong bisa Rp 5.000,00 sudah ngobrol sepuasnya, saat ini rata-rata mahasiswa dan orang muda harus mengeluarkan setidaknya Rp 20.000,00 untuk nongkrong (biaya ini hampir sama dengan di Surabaya, untuk sekali nongkrong habis setidaknya RP 25.000-50.000). Makan Rp 25.000,00 saja sekarang dianggap wajar bagi sebagian besar 'orang Jogja' (entah ini yang benar-benar berasal dari Jogja atau pendatang yang sok-sokan Jogja). Tapi, menurut saya sebagai orang asli Jogja, makan Rp 25.000, bahkan untuk saat ini, untuk hari ini tulisan saya diterbitkan, adalah mahal! Rp 25.000 saya bisa makan 3 kali, itupun layak dan lauknya enak+banyak (coba bisa dibalik, saya berasal dari Surabaya lalu ngekos di Jogja, sisa banyak uang saku saya :D).
Belum lagi dengan trend berkendara. Terakhir, ketika saya SMA, setiap pagi saya masih menjumpai serombongan orang yang bersepeda untuk berangkat bekerja. Kalau pagi biasanya didominasi anak sekolah, sedikit siang biasanya didominasi pekerja-pekerja yang sudah berumur. Kali ini trend berubah, sepeda (mungkin) sekarang cuma buat sekedar gaya-gayaan. Dipakai kalau cuma ada Car Free Day. Jumlah kendaraan, baik mobil atau motor, bertambah dengan tajam. Jalanan mulai macet, transportasi massal (bis kota semacam Kobutri, Kopata, Puskopkar, Aspada, DAMRI) mulai ditinggalkan dan jumlahnya pun semakin sedikit. Meskipun ada peminatnya, tapi hanya ramai pada jam tertentu: saat berangkat sekolah dan pulang sekolah. 2006, ketika saya SMP, saya masih mengalami betapa bis kota ramai setiap saat. Tidak ramai hanya jam tertentu. Jumlahnya pun banyak. Dulu, bis kota jalur 12 hanya berjarak maksimal 5 menit antar bisnya. Sekarang mungkin sudah lebih karena jumlah angkutan kota yang menipis.
Kondisi ini, terutama berkaitan dengan gaya hidup, perlu dikontrol dengan baik. Saya mengkritisi satu hal dalam tulisan ini: mengenai gaya hidup 'mahal' yang mulai menjamur di Jogja. Gaya hidup di Jogja mulai mahal, meskipun masih ada yang murah juga meskipun nyempil-nyempil di gang. Perubahan gaya hidup ini, lebih didorong dari adanya pendatang dari kota metropolitan (Jakarta, Bandung, Surabaya. Dan kebetulan corak yang dibawa ke Jogja adalah corak Jakarta dan Bandung) yang kemudian menyebar ke sekitar dengan cepat (biasanya di kalangan mahasiswa, yang dulunya nggak suka nongkrong jadi suka nongkrong, yang nggak suka dugem jadi suka dugem). Akhirnya, ketika gaya hidup 'metropolis' ini dikenalkan kepada masyarakat, akan ada suatu keinginan dari masyarakat untuk mengikuti gaya hidup ini: naik kasta dari gaya hidup biasa-biasa saja (cangkruk di angkringan, ngobrol di burjo, biasa makan di warteg, biasa naik angkutan umum) menjadi gaya hidup yang biasa disebut orang-orang metropolitan sebagai gaya hidup yang 'pantas', 'wah', dan 'mewah' (jadi biasa cangkruk di cafe mahal, tiba-tiba hobby dugem, maunya naik mobil ber-AC dengan alasan panas (padahal Jogja relatif lebih adem daripada Surabaya (?)) dan lain sebagainya). Bagi orang yang benar-benar mampu, dalam hal ini mampu secara finansial dan mampu dalam hal kontrol diri, tentu menaikkan kasta gaya hidup menjadi tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika orang-orang yang sebenarnya tidak mampu, kemudian berusahan menaikkan kasta dengan menghalalkan segala cara agar bisa dianggap 'sejajar' dengan orang-orang di sekitarnya. Perhatikan, kesetaraan tingkat dengan orang di sekitar tentu menjadi dambaan bagi setiap manusia. Kecenderungan yang terjadi adalah yang berada di bawah ingin sejajar dan sama yang berada di atas (demikian lebih kurang yang terjadi di Metropolitan) dan yang di atas tidak mau sejajar dengan menurunkan 'kasta'. Salah satu akibat dari pemaksaan kenaikan kasta ini adalah gaya hidup yang kemudian berubah yang kemudian lebih menghabiskan uang, dan karena uang habis (yang seharusnya cukup untuk hidup wajar) akhirnya minta kenaikan pendapatan (ke pemerintah). Mohon maaf, seperti yang terjadi pada kawan-kawan buruh kita: menuntut gaji yang bagi saya sangat tinggi (ingat, PTT Dokter Gigi di pelosok Sulawesi saja hanya diharga Rp 5.000.000 per bulan, itu pun tidak tentu dibayarkannya) dengan standar gaya hidup, yang menurut saya, gaya hidup menengah ke atas. Ini wajar sebagai salah satu bentuk perubahan gaya hidup pada masyarakat menengah ke bawah yang mencoba mendesak ke atas. Karena, salah satu ciri kota Metropolitan di Indonesia, ekonomi bergerak di atas, hanya bagi orang-orang kaya. Akibatnya, masyarakat kecil menengah yang disingkirkan, sebaik-baiknya nasib hanya didesak/dikelilingi oleh bangunan-bangunan besar/rumah-rumah mewah. Sekatnya akan sedemikian besar. Demikian pula yang saya alami di Surabaya, dan yang mungkin akan terjadi di Jogjakarta. Tinggal menunggu waktu.
Sedih rasanya ketika melihat anak-anak muda Jogja sekarang (yang saya prediksi segerombolan 6 orang, 3 diantaranya adalah pendatang) lebih memilih mengerjakan tugas di Pizza Hut, KFC, MCD dengan alasan kondisinya nggak mendukung banget. Alasan kondisi nggak mendukung, saya masih percaya jika diutarakan di Surabaya karena memang kalau belajar diluar (kecuali di Kampoeng Ilmu atau perpus kampus yang memang enak banget hawanya) suasana tidak memungkinkan: Asap kendaraan yang super padat, bising, dan hawa yang panas menyengat. Kalau alasan itu disampaikan di Jogja, sepertinya bullshit sekali. Banyak tempat sangat nyaman dan sangat murah hanya untuk sekedar ngerjain tugas kelompok: kos-kosan masing-masing (kos di Jogja lumayan besar-besar dan tersentralkan), perpustakaan universitas masing-masing, perpusda (sangat nyaman buat kerja tugas, lebih nyaman daripada KFC, MCD, dan tetek bengeknya itu), Ghra Sabha Pramana (saya dulu pernah kerja tugas di selasarnya GSP, dan nyaman sekali), area sekitar rektorat UGM (Bulaksumur), daerah Lembah UGM (makanya woy, Lembah jangan cuma dipakai mesum, dipake belajar kek), Selasar Galeria Mall, Angkringan Lek Man, dll dll sangking banyaknya tempat enak dan adem di Jogja cuma buat sekedar kerja tugas.
Pilihannya hanya ada 2: pilih bergabung dengan gaya hidup yang metropolitan banget (nongkrong di tempat mahal biar prestis, dugem, open bottle, makan-makanan mahal, pakai pakaian bermerk yang mahal-mahal biar keren) tapi perlu diingan UMR Jogja saat ini belum mampu bergerak ke arah sana, atau tetap menjadi 'Jogja yang sederhana' (cukup nongkrong di angkringan/burjo sambil berinteraksi dengan masyarakat yang unik, naik sepeda motor/angkutan umum/sepeda onthel sudah cukup, pakai pakaian nggak peduli merk yang penting rapi sudah cukup) dengan segala resikonya (resikonya mungkin akan kalah penampilan sama pendatang dari Surabaya, Jakarta, Bandung yang rata-rata penampilannya metroseksual sekali dengan gaya yang mencolok dan 'sangat masa kini sekali').
Kalau saya, tetap pilih menjadi Jogja yang sederhana, karena tidak perlu merubah dan pusing dengan diri saya terlalu banyak. Jogja adalah kota yang kental dengan keramahannya, kesederhanannya, dan kesahajaannya. Orang asli Jogja, yuk kembalikan kebiasaan yang sederhana, ramah, dan bersahajanya. Untuk para pendatang, boleh membawa kegemaran dari kota asal kalian, tapi tolong jangan cemari Jogja dengan segala hura-hura yang kalian miliki. Menikmati Jogja lebih baik dalam kondisi kesederhanaan dan kesahajaannya.

*Sebuah refleksi setelah 4 tahun hidup di kota Metropolitan Surabaya dan merasa Jogja akan bergerak menuju ke arah yang mengerikan. Semoga tidak benar-benar terjadi, meskipun saat ini sedang beranjak bergerak menuju ke arah sana. Semoga orang asli Jogja kembali tersadar dari hura-hura kota Metropolitan yang memabukkan tapi mematikan, dan kembali membawa Jogja yang sederhana dan bersahaja. Jogja bukan nama sebuah kota. Jogja adalah gaya hidup antimainstream, Jogja adalah jiwa, Jogja adalah hati, Jogja adalah spirit.