Sabtu, 29 Januari 2011

Pentingnya Menegakkan Diagnosis

Pergi ke dokter merupakan sesuatu yang biasa ketika kita sakit. Tinggal ke dokter yang mana kita akan pergi. Apakah ke dokter yang memiliki kualitas yang baik atau yang biasa saja? Apakah ciri dokter yang baik dan dokter yang bisa dikatakan buruk?
Semua dokter belum tentu pandai. Apalagi saat ini sangat mudah untuk masuk ke yang namanya Fakultas Kedokteran Umum. Hanya yang penting punya uang yang banyak saja sekarang bisa masuk ke Fakultas Kedokteran Umum tertentu. Maka dari itu, perlu selektif dalam memilih dokter. Kemampuan dokter sebenarnya tidak ditentukan oleh nilai IPKnya atau banyaknya seorang dokter TA (Titip Absen). Kemampuan dokter yang sesungguhnya ada pada kemampuan anamnesis dan diagnosisnya. Dokter yang benar-benar memiliki kemampuan, maka ia akan mendiagnosis penyakit tersebut dengan baik.
Suatu ketika, saya pergi ke seorang dokter di sebuah rumah sakit yang tergolong dalam rumah sakit baik di Jogja. Saya diperiksa dan menyebutkan gejala-gejala yang menyertai penyakit saya. Pada umumnya, proses anamnesis dokter umum sangat singkat. Inilah yang kadang membuat diagnosis yang diberikan tidak tepat. Setidaknya, anamnesis dilakukan sesuai dengan porsi yang diperlukan. Jangan terlalu cepat, jangan juga terlalu lama. Kemudian, setelah proses anamnesis selesai, dokter segera meresepkan obat. Dan alangkah terkejutnya saya karena ternyata obat-obat yang diberikan tidak merujuk pada penyakit yang disertai gejala-gejala yang saya alami. Melainkan untuk mengobati gejala-gejala yang ada pada diri saya.
Contoh ini merupakan dokter yang kurang baik. Dokter ini hanya mengobati gejala-gejala yang saya sebutkan tadi. Otomatis obat yang diberikan merupakan obat untuk gejala-gejala saya. Jadi misalkan ada 5 gejala yang saya sebutkan, maka ada 5 obat pula untuk mengobati gejala saya. Ini merupakan contoh dokter yang buruk. Sekalipun IPKnya 4,00 tapi tidak punya kemampuan untuk mendiagnosis, maka semuanya sama saja nol besar. Kemampuan dan kredibilitas seorang dokter terletak pada bagaimana ia dapat mendiagnosis penyakit. Diagnosis ito sendiri dapat diperoleh dari anamnesis. Baik dari riwayat hidup pasien dan melalui gejala-gejala yang disebutkan pasien. Dari gejala-gejala dan riwayat hidup atau riwayat penyakit tersebut, dapat ditarik kesimpulan tentang sebuah penyakit. Maka, obat yang diberikan tersebut seharusnya mengobati penyakit tersebut, bukan mengobati gejala.
Sekarang ini di Indonesia masih banyak sekali dokter yang seperti itu. Hanya mengobati gejala, bukan mendiagnosis dan mengobati penyakit. Akibatnya, obat yang diberikan pun menjadi banyak. Maka, menjadi wajar ketika seorang pasien datang ke dokter dan memiliki rasa enggan untuk mengungkapkan gejala-gejala yang dialaminya karena budaya yang seperti ini. Tentu pasien merasa enggan, karena mereka berpikiran semakin banyak gejala yang disebutkan, maka semakin banyak obat yang harus dibeli, makin banyak pula biaya yang keluar. Di sisi dokter, maka dokter yang benar-benar ahli pun tidak dapat melakukan penyembuhan penyakit secara menyeluruh karena adanya gejala yang tidak tersebutkan dan menyebabkan kabur diagnosis. Dan ini tentunya menjadi tugas seorang calon dokter dan dokter muda untuk kembali pada patern : menegakkan diagnosis terlebih dahulu, baru kemudian meresepkan obat yang dianggap perlu. Bukannya menegakkan anamnesis dan memberikan obat sejumlah gejala yang disebutkan pasien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar