Kamis, 22 Oktober 2009

Jogjakarta Berhati Traffic Jam!!!

“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu…Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna…”
Cuplikan lagu Katon Bagaskara itu memang terasa trenyuh bila terdengar di telinga. Selalu membuat saya rindu untuk pulang ke Yogyakarta ketika saya ada di luar kota. Membuat saya merindukan suasana Jogja masa dahulu yang selalu penuh senyum ramah, bahkan di tengah jalan sekalipun.
Saya berkendara di tengah kota. Seketika mendengar lagu dari Katon Bagaskara itu. Saya langsung mengumpat, “Tak ada artinya lagi lagu itu!”. Kenyataan memang kenyataan. Pahit memang pahit. Mana ada rasa haru saat pulang ke kota Jogja saat ini. Tak ada lagi tangis haru itu. Yang ada tangis jerit dalam batin, “Mengapa kotaku seperti ini???”. Tak ada lagi sapa yang penuh selaksa makna itu. Yak ana hanya sapaan berisi pisuhan-pisuhan di jalanan yang telah kotor menjadi makin kotor oleh mulut dan sikap berdebu itu.
Entah sejak kapan aku merasa amat sangat tidak nyaman sekali berada di jalanan di Jogjakarta ini. Dulu kala, saya selalu suka bila berada di jalanan di kota Jogjakarta. Melihat gemerlap lampu ‘hakte’ (orang-orang menyebutnya lampu sate. Tapi, waktu itu saya masih cedal) dan gemerlap lampu motor yang melaju kencang namun selalu penuh arti. Saya merasa senang ketika diajak orang tua jalan-jalan ke kota. Naik mobil atau motor ramai-ramai, lalu ke Malioboro dan jalan-jalan habiskan malam Minggu bersama keluarga. Sekarang? Jangankan keluar kea rah kota. Keluar sedikit ke Jalan Magelang saja tidak mau.
Banyak orang enggan pergi ke kota, meskipun dengan terpaksa harus pergi ke kota. Kekacauan lalulintas (traffic jam) telah terjadi di Jogjaku tercinta. Macet dimana-mana. Tugu Jogja yang dulu selalu eksotis dan lumayan sepi, kini tiap detik dilalui berpuluh-puluh kendaraan yang egoistis tidak humanis. Jalan Solo, tempat yang nyaman untuk berbelanja dan sangat mudah diseberangi, kini jangankan untuk menyeberang. Sekadar maju selangkah dari trotoar saja sudah sangat susah. Beruntung bila kaki tidak bunting diserempet kendaraan yang sekali lagi egoistis dan tidak humanis!!!
Fenomena ini saya amati mulai ramai setiap menjelang liburan panjang. Baik itu liburan sekolah, Lebaran,dan Natal. Mobil luar kota banyak berdatangan ke Jogja. Setelah liburan usai, mereka enggan melangkahkan kaki dari Jogja. Ini ni saudara-saudara yang membuat Jogja semakin ramai kendaraan. SESAK! Jadi seperti Jakarta Kau! Belum lagi kredit motor yang teramat sangat mudah. CUkup 500 ribu saja motor sudah di tangan. Ajib…ajib…Belom bisa naek motor lalu kebut-kebutan di jalan yah???
Belum lagi perilaku para pengendara kendaraan. Mulai dari pengendara sepeda hingga mobil Mercedes Benz yang harganya bisa untuk makan 100 orang itu. Merasa dirinya tertib, lalu kirim-kirim surat pembaca atau SMS pembaca. Lalu bilang, “Pak Polisi, tolong tertibkan pengendara yang tidak menggunakan sein, lampu belakan putih, tidak spion ganda, ugal-ugalan di jalan, dsb “ yang kalau disebutkan blog saya ini akan penuh. Manusia. Sekali lagi Manusia. Tak akan pernah puas oleh pencapaiannya. Silakan bercermin dahulu sebelum mengomentari orang banyak. Kalau cerminnya benthet, ya beli dulu. Sehingga Anda bisa melihat diri Anda secara utuh. Benar kalau motor itu harus lengkap. Spion ganda, lampu rem warna merah, pakai sein kalau belok, dsb. Tapi, itu semuanya akan mubazir kalau mengemudinya saja tidak nggenah dan egoistis (tidak diajarkan di sekolah pasti. Pak Mentri, yang satu ini perlu masuk KURIKULUM). Misalnya, jalan pelan sekali (20 km/j) ada di tengah badan jalan. Kalau diklakson tidak minggir. Atau jalan ngebut di sisi kiri jalan, nyelip dari kiri jalan, dsb. Dengarkan dan camkan baik-baik. Lajur kiri itu untuk kendaraan yang berjalan pelan. Dan kanan itu untuk kendaraan yang berjalan kencang. Jadi, kalau lambat di kanan itu salah nggih!
Lantas apa yang menjadi indicator lambat cepat itu? Saya dan tentunya lembaga terkait tidak akan mungkin mengklaim bahwa lambat itu dengan kecepatan 40 km/j dan cepat itu dengan kecepatan 80 km/j. Kalau memang seperti itu berarti huiiibat sang pembuat kebijakan. Mana mungkin di Jalan Monjali bisa jalan dengan kecepatan 80 km/j saat ramai. Indikatornya adalah pengemudi di depan Anda. Kalau jarak Anda, tentunya di lajur Anda, sangat jauh dengan pengemudi di depan Anda, itu artinya Anda berjalan lambat, bahkan sangat lambat. Tapi, jika jarak Anda tetap terjaga dengan yang didepannya, bahkan kecepatan Anda akan atau telah melebihi kecepatan pengemudi di depan Anda, artinya Anda berjalan kencang. Itu artinya, ketika Anda akan menyalip, pengemudi di depan Anda mau tidak mau harus memberikan jalan.
Yah, lelah saya membicarakan hal ini. Tidak ada habisnya. Maka dari itu, ketika memang Jogja sudah terlanjur seperti ini, mau bagaimana lagi? Tinggal bagaimana para pengemudi dalam menjalankan kendaraannya. Buat pengendara motor, memang Anda itu yang mendominasi di Jogja. Tapi jangan seenaknya. Sebuah tempat yang bebas pun masih ada peraturannya. Buat mobil-mobil mewah, jangan seenaknya juga. Jangan mentang-mentang Anda bayar pajaknya lebih mahal, jadi jangan sembrono. Saya tahu siapa dibalik stir mobil Anda yang telah memiliki SIM dan belum memiliki SIM. Jangan bernaung dibalik kekayaanmu! Uang itu tak ada gunanya di Akherat.

Menuju Indonesia Maju

Tentunya masyarakat Indonesia tergelitik mendengar pernyataan presiden kita, Pak Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang maju pada tahun 2015. Dalam artian, industry mulai maju dan segalanya menjadi maju seperti di negara-negara maju yang telah ada saat ini.
Beragam pula pendapat masyarakat di Indonesia. Ada yang dengan bangganya dan dengan lantangnya berkata, “Itu mengada-ada. Indonesia tidak akan maju bila masih berisi masyarakat seperti ini!”. Bahkan pernyataan yang optimistic pun juga muncul di sela-sela hiruk-pikuknya komentar. Yang optimistic berpendapat bahwa Indonesia akan menjadi negara maju dalam waktu dekat ini.
Negara maju? Maju apanya? Maju giginya atau mulutnya? Saya boleh tertawa atas pernyataan itu. Memang bisa mudah, bahkan detik ini saja setelah Anda membaca opini busuk ini, kita bisa menjadi negara yang maju (mulutnya atau giginya). Menjadi sebuah negara maju adalah sebuah gagasan yang memang patut diacungi jempol dan patut kita dukung. Namun, dibalik semuanya lebih sebuah hal yang terlalu muluk-muluk melihat semua kenyataan ini.
Menjadi sebuah negara maju tentunya tak akan pernah lepas dari bagaimana keseharian masyarakat suatu negara dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya. Bahkan, sebuah kebaikan akan terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan dari masyarakat. Misalkan saja sebagai cerminan masyarakat yang malas. Itu sampah! Apanya yang akan mendorong kita sebagai masyarakat yang maju dan menjadikan sebagai sebuah negara yang maju, dengan pendapatan perkapita yang tentunya tinggi.
Mana mungkin bangsa yang malas untuk bergerak (capek katanya), bangsa yang malas untuk maju (gak tau katanya), dan lain sebagainya, akan membawa kita kepada sebuah negara yang maju. Ingat lagunya D’lloyd tentunya : “Oh tak mungkin….”. Bila tidak ada semangat ini, lantas apa artinya? Di pekerjaan mbeler penginnya dapet duit milyaran rupiah. Penginnya mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga berguna bagi negara, tapi SD saja tidak lulus. Ingat, taraf pendidikan ini juga menentukan taraf pemikiran tiap manusia, juga menentukan cara hidup dan taraf hidup masing-masing pribadi.
Untuk itu, masing-masing pribadi pasti ingin agar Indonesia maju. Keinginan itu nantinya diharapkan untuk tidak hanya dalam angan-angan. Perlu diimbangi dengan kasunyatan yang menjiwai hidup kita. Bagaimana kita berjalan, bagaimana kita menjalankan keseharian, dan bagaimana menjalin relasi dengan orang lain.

Jogja Dengan Transportasinya

Jaman SMP, lebih kurang 3 tahun lalu, saya sangat senang dan hobi menggunakan angkutan kota. Selain murah, relative cepat, bisa berinteraksi dengan banyak orang, juga lebih membuat saya sehat (harus berjalan dari jalan besar ke dusun lebih kurang sejauh 2-3 kilometer). Jaman dahulu pula, di Jogja bisa dikatakan angkutan umum menjadi primadona bagi masyarakat. Mulai dari pelajar hingga pegawai sekalipun.

Tak lama ini pula telah diluncurkan sebuah program untuk jangka panjang mengatasi kemacetan di Jogja. Dialah Trans Jogja. Saya acungi 4 jempol untuk pemkot yang telah memikirkan Jogja di masa depan. Saya bangga dengan Trans Jogja, dan secara keseluruhan angkutan umum di Jogja. Mulai dari becak (symbol cirri khas Jogja), Taxi (yang beberapa waktu lalu menambah armada baru dan berkembang jadi Taxi Motor), Kereta Api (dengan komuternya Prambanan Express), bus kota (yang dengan cepat membawa penumpang, biar sedikit ugal-ugalan), dan trans jogja (dengan berbagai bus yang mulai perlahan menurun kualitasnya).

Ada yang ingin saya sampaikan disini mengenai angkutan umum kita. Pertama-tama, masalah ini mulai muncul ketika TJ (sebutan akrab Trans Jogja) pertama kali muncul. Saya di Jogja ini selalu mengendarai sepeda motor kemanapun saya pergi karena memang saya hanya punya motor. Saya suatu ketika membandingkan trans jogja dengan naik motor. Rumah saya di daerah Mlati. TJ tidak sampai daerah itu, dan terpaksa harus titip motor di terminal Jombor. Lalu naik jalur 2B untuk sampai di UNY. Lalu nyebrang halte, ganti jalur 1B, turun di shelter De Britto. Lalu pulangnya, naik jalur 1A dang anti 2 A di UNY. Turun Jombor lagi. Kita hitung keuanggannya : titip motor 2000, naik TJ 2B 3000, naik TJ 1B karena transit luar halte, jadinya bayar lagi 3000. Naik TJ 1A dan 2B karena transit satu halte bayar 3000. Totalnya adalah 11000. Waktu tempuh dari Jombor, waktu itu saya berangkat jam 6.15 (bus keluar dari Halte Jombor). Tiba di shelter De Britto jaln 07.02. Artinya itu memerlukan waktu 47 menit.

Suatu ketika, saya juga naik bus kota dari depan Hartz Chicken Buffet jalan Magelang hingga depan gedung Wanita. Perjalanan memakan waktu 45 menit dengan tariff 5000 rupiah. Nah loh? Kalau naik motor lah bisa dihitung. Untuk PP dari rumah sampai sekolah kembali ke rumah lagi saja, saya Cuma butuh sekitar 1 strip bensin (sekitar 0.5 liter) dengan nominal lebih kurang 3000. Waktu tempuh dari rumah ke sekolah (10 km) sekitar maksimal 20 menit dengan kecepatan rata-rata 40-60 km/j. Jarak dari sekolah ke rumah lewat Tugu Yogya sekitar 11 km dengan waktu tempuh maksimal 30 menit bila macet.

Mungkin sekilas ini mencerminkan mengapa banyak masyarakat saat ini lebih mending naik kendaraan pribadi. Perhitungan matematis ini mutlak diperhitungkan. Masak sehari habis 9000 untuk transport dengan waktu tempuh hampir 3 kali naik kendaraan pribadi? Ini yang perlu menjadi bahan introspeksi. Bagaimana membuat sebuah moda transportasi tepat waktu dan murah. Lantas penggunaan kendaraan mulai dibatasi. Ini akan lebih fair ketimbang membatasi penggunaan kendaraan pribadi, namun angkutan umum masih carut marut.

Bravo untuk pemerintah Jogjakarta. Kembangkan kembali transportasi kita agar Jogja tidak lagi mendapat predikat Jogja Kota Seribu Kendaraan. Mari, ciptakan Jogja yang minim kendaraan. Minim kendaraan, minim polusi juga kan?