Selasa, 11 Januari 2011

Lempar Batu Sembunyi Tangan

Pagi hari dengan dingin yang menggelayut, memaksa diri untuk pergi ke kampus FKG karena ada janji dengan salah satu dosen jam 10.00. Karena perut lapar, lalu makan di area kuliner khas FKG : Lapten (Lapangan Tenis) sembari membaca koran Surya. Tiba-tiba perut terasa mual dan ingin tertawa terbahak-bahak. Entah karena ketololan mereka, atau karena mereka yang tolol dan tak mau menanggung akibat apa yang telah mereka perbuat.
Surya, Rabu 12 Januari 2011 memberitakan adanya pemblokiran jalur Ponorogo-Trenggalek oleh ratusan sopir truk yang biasa melalui jalan tersebut. Ratusan sopir truk tersebut menyatakan kekecewaannya kepada pemerintah karena jalan lintas Ponorogo-Trenggalek rusak parah. Sementara, salah satu anggota Dinas Perhubungan menyatakan bahwa jalan tersebut rusak adalah karena struktur tanah dan muatan berlebihan. Akibat rusaknya jalan tersebut, awak truk mengaku harus berkali-kali ganti suku cadang.
Sebenarnya lucu sekali berita tersebut. Ibaratnya, kita beli bolpoin dengan kualitas super. Kemudian kita memakainya secara awur-awuran, lalu bolpoin rusak. Lalu kita menyalahkan toko yang menjualnya, padahal kita sendiri yang merusaknya. Sama dengan sopir-sopir truk tersebut. Mereka tidak pernah berpikiran agak maju sedikit. Urusannya hanya politik perut. Truk yang melintas di jalanan tersebut, bisa dikatakan rata-rata memiliki kelebihan tonase (dari data dephub). Sementara medan yang dilalui adalah pegunungan dengan kondisi tanah yang rentan pergeseran, sesuai dengan tingkat kemiringan lereng. Akibatnya, karena beban berlebih, dan kualitas tanah buruk, jadilah jalan bergelombang, berlubang, atau mengelupas aspalnya. Dan kebanyakan sopir truk, awak truk, dan bagian ekspedisi pengiriman kurang melihat hal ini secara lebih jeli. Jadi, kerusakan jalan di lintas Ponorogo-Trenggalek itu memang akibat dari ulah truk-truk yang kelebihan tonase. Kalau ada suku cadang rusak karena melewati jalan tersebut, ya itu harus diterima sebagai akibat dari ulah mereka. Jalan rusak memang tanggung jawab pemerintah. Tapi, tidak dengan lempar batu sembunyi tangan. Kita sebagai masyarakat bisa dengan enaknya merusakkan sarana-prasarana milik negara demi kepentingan perut kita sendiri, kemudian menuntut pemerintah untuk mengganti kerusakan seperti itu. Ini salah, dan tindakan yang demikian adalah egoistis dan tidak mendorong Indonesia maju.
Mungkin kejadian ini sama persis dengan jalur lintas Secang (Magelang)-Semarang yang rusak dan bergelombang karena truk melebihi muatan. Bagaimana tidak, truk seharusnya berjalan di lajur kiri karena memang jalannya lambat. Ketika lajur kiri masih baik, mereka jalan di lajur kiri. Ketika lajur kiri sudah bergelombang dan jelek, mereka pindah ke lajur kanan dan membuat lajur kanan bergelombang. Kelebihan tonase pada truk pun seolah-olah sudah menjadi hal biasa di kalangan pemerjalan. Truk yang melaju pelan, bisa dipastikan kelebihan tonase (truk, baik Hino, Mercedes-Benz, Scania, Volvo, MAN, DAF, dlsb, dibuat dengan hitungan tertentu agar dengan beban maksimal yang bisa dibawa truk, truk tetap jalan dengan kondisi aman, artinya dengan kecepatan standar. Apabila kecepatan di bawah standar, dan takut rem blong, artinya itu sudah kelebihan tonase). Dan kelebihan tonase ini sepertinya tidak 'dideteksi' dengan baik di Jembatan Timbang. Entah karena ada pungli, atau apalah itu namanya. Sebaiknya, jika kondisi tetap seperti ini, pembunuhan massal di jalanan oleh truk kelebihan tonase yang membuat jalanan rusak dan tingkat kecelakaan menjadi tinggi ini perlu dihentikan. Sebaiknya, efektifkan kembali pengangkutan barang dengan menggunakan kereta api.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar