Senin, 28 Maret 2011

Solid atau Liquid?

Sering terdengar di telinga sebuah pesan agar menjadi tim yang solid. Sebenarnya manakah yang lebih indah. Menjadi tim yang solid atau liquid?
Saya melihatnya dari segi dinamika sebuah tim. Sebuah tim untuk menghadapi perubahan jaman, diperlukan tim dengan karakteristik liquid. Liquid senditi secara mudah dapat diartikan sebagai zat cair. Ini artinya tim harus senantiasa satu, namun memiliki kondisi yang cari, mengalir seperti air. Bayangkan saja dengan analogi berikut : sebuah tim ada di dalam sebuah botol minyak. Tiba-tiba terjadi perubahan kondisi karena tim tersebut akan dipindah ke botol Vodka. Bayangkan jika tim tersebut memiliki sifat solid. Tentu akan sulit beradaptasi dan merubah kondisi tim sesuai dengan kondisi yang ada. Maka, artinya menjadi tim yang liquid adalah tim yang selalu dapat dengan mudah beradaptasi dengna kondisi terbaru dari lingkungan sekitar.
Dari segi kekompakan, karakteristik tim yang baik adalah tim yang solid. Dalam artian padat, kuat. Jika memiliki sifat yang kuat, maka tim tidak akan mudah tercerai berai dan tetap dengan semangat melakukan tugas yang telah dibebankannya. Meskipun, sebenarnya tim yang solid ini tidak selamanya memiliki makna baik, karena tim yang solid sendiri dapat kemudian mengacau keadaan dengan menafsirkan segala kebijakan tim sebagai sesuatu yang menguntungkan dirinya.
Jadi, pilih yang mana? dua-duanya penting. Tapi, bila kehilangan satu unsur itu saja, maka tim yang berjalan juga akan kacau. Maka, bentuklah tim yang solid, kuat dalam persaudaraan, tapi juga liquid, menjadi mudah beradaptasi pada perubahan jaman.

Kriting dengan Konstitusi???

Jumat-Minggu kemarin saya berkesempatan merasakan penyusunan konstitusi untuk sebuah organisasi kemahasiswaan. Dan ini sebenarnya bukan kali pertama karena sebelumnya pernah mengikuti kegiatan penyetujuan konstitusi fakultas, meskipun pada akhirnya harus amandemen lagi. Penyusunan konstitusi yang memang baru di organisasi kemahasiswaan yang saya ikuti ini harus memakan waktu 7 jam hanya untuk 9 pasal dan lebih kurang 60 ayat. Banyak komentar yang dilontarkan ke saya, entah tidak efektif, terlalu kelamaan, dan berbagai komentar miring lainnya. 
Sebenarnya, ini bukan merupakan sesuatu yang tak wajar. Penggodogan sebuah konstitusi atau dapat disama-artikan dengan undang-undang, merupakan sebuah hal yang sulit. Maka tak heran ketika banyak rakyat kecil atau katakanlah rakyat biasa yang melihat anggota DPR merapatkan tentang draf suatu undang-undang yang bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, memprotesnya dengan komentar miring. "Ah, buat apa waktu selama itu? Menghabiskan dana saja." Demikian komentar yang biasa didengar.
Tentu, bagi yang pernah merasakan jalannya penyusunan konstitusi ini akan merasakan suatu hal yang biasa. Rapat penyusunan konstitusi untuk kampus berjalan 5-6 jam itu biasa. Dan bisa jadi untuk negara itu 3-4 bulan itu biasa, atau malah tergolong cepat. Bisa dibayangkan, dalam sebuah tim, katakanlah organisasi kemahasiswaan milik kampus, terdiri dari setidaknya 30 orang (dalam hal ini bisa dikatakan sebagai pengurus organisasi). Dari 30 orang tersebut, saya yakin bahwa tiap pribadi memiliki pandangan tersendiri. Pandangan ini kemudian mempengaruhi cara berpikir seseorang. Dan hal inilah yang sebenarnya membuat rapat konstitusi itu berjalan sangat lama.
Mengapa demikian? Misalkan saja kita sedang membicarakan tentang buku. Si A bisa berpendapat bahwa buku itu kotak. Si B menyanggah bahwa buku itu balok. Bahkan, si C menyanggah juga bahwa buku itu untuk menulis. Setidaknya demikianlah perbedaan pandangan yang terjadi. Dan ini saya rasa wajar di negara Indonesia ini. Sebagai contoh saja dalam penyusunan konstitusi yang saya ikuti kemarin, satu pasal saja bisa terjadi perbedaan pendapat. Baik perihal bahasa, maupun esensi dari undang-undang tersebut. Bahasa? Tentu Anda tertawa kalau ternyata kalau ternyata yang diperdebatkan adalah bahasa. Perlu diketahui bahwa seluruh konstitusi yang ada di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Ini juga merupakan salah satu poin yang menyulitkan. Kalau ini tidak diberlakukan, maka bahasa dalam konstitusi itu akan multitafsir dan terdapat kemungkinan multibahasa yang pada akhirnya tidak bersifat universal. 
Tantangan kedua adalah mengenai keberlanjutan dari pasal-pasal dalam konstitusi. Maksudnya adalah esensinya bagi perkembangan organisasi masa depan. Tentu ini tidak mudah karena harus memiliki pandangan jauh kedepan mengenai kondisi organisasi. Artinya, pemikiran perlu visioner. Percuma bila membuat sebuah konstitusi hanya untuk satu kepengurusan saja. Maka, perlu dipertimbangkan aspek-aspek lainnya yang dapat menunjang perkembangan organisasi di masa depan.
Membuat konstitusi tak semudah yang dibayangkan. Tinggal membuat saja dan langsung disetujui. Jika Anda orang yang beradab dan berpendidikan, sebaiknya tinggalkan saja pandangan seperti itu. Bila masih juga belum percaya dengan proses penyusunan konstitusi itu, bisa menghubungi organisasi kampus terdekat untuk mencoba ikut dalam kongres mahasiswa atau semacamnya untuk mendapat pencerahan mengenai proses pembuatan konstitusi. Konstitusi yang dibuat tanpa pertimbangan hanya akan menjadi sampah saja. Dan konstitusi yang digodog secara sembarangan dalam tempo yang sangat singkat, justru patut dipertanyakan keberlangsungannya di masa mendatang.

Rabu, 23 Maret 2011

Laki-laki

Laki-laki. Kata ini sering disebut sebagai sebuah kata yang menunjukkan sebuah jenis kelamin tertentu dari manusia. Hanya ada dua jenis kelamin yang sah. Yakni laki-laki dan perempuan. Apa yang membedakan antara laki-laki dan perempuan? Kita sedikit bermain dengan gender dalam tulisan malam ini.
Laki-laki terkadang diidentikkan dengan segala sesuatu yang berat. Dalam olahraga pun laki-laki identik dengan olahraga yang memeras cukup banyak keringat. Misalkan sepakbola, futsal, basket, fitness, marathon, dan lain sebagainya. Seolah-olah, olahraga tersebut menjadi image utama dari seorang laki-laki. Maka, tak ayal laki-laki yang tidak bisa berolahraga berat, atau bahkan tidak suka olahraga sama sekali sering dijuluki sebagai banci. Benarkah itu? Kita jawab pada akhir tulisan ini.
Perempuan. Sering diidentikkan dengan segala sesuatu yang lemah lembut. Hanya melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang ringan saja. Seperti mengasuh anak, memasak, dan bahkan pada masa kemerdekaan dulu sering disebut sebagai 'konco wingking'. Sebuah predikat yang berarti sangat merendahkan martabat, namun semua itu sudah bisa dilawan seiring berkembangnya isu gender. Semenjak isu gender, wanita tak lagi identik dengan segala sesuatu yang lemah lembut. Bahkan, beberapa olahraga yang didominasi oleh laki-laki saat ini telah berpindah tangan popularitasnya ke kalangan perempuan. Seperti misalnya basket yang telah ada basket putri saat ini, begitu juga dengan futsal di Amerika yang sudah berkembang menjadi olahraga kegemaran wanita. Begitu juga dengan pekerjaan yang berat yang sudah bisa dilaksanakan oleh perempuan. Seperti sopir bus, operator alat berat, tukang/kuli bangunan, bos/manager, dan lain sebagainya. Lalu, apa yang membedakannya?
Ya, semua pertanyaan akan terjawab. Bahwa seorang laki-laki tidak perlu bisa olahraga keras. Seorang laki-laki tidak perlu mencucurkan keringat yang terlalu deras. Yang membedakannya dari perempuan adalah jati dirinya yang begitu melekat kuat dalam jiwanya, dan menjiwai setiap gerak dan langkahnya dan menjadikannya sebagai pribadi yang kuat, tegar, dan memiliki prinsip yang kuat. Maka, percuma saja Anda sekalian mengatakan laki-laki yang tak bisa berolahraga sebagai banci. Justru orang-orang yang gemar mencucurkan keringat dan berolahraga berat namun tidak punya jati diri yang mencerminkan siapa dirinya itulah yang layak disebut sebagai banci. Atau secara sadisme dapat disebut sebagai ababil karena mereka tak memiliki jiwa yang kuat dan selalu senantiasa akan berubah.

"Laki-laki tidak dilihat dari sejauh mana ia mampu melakukan kegiatan yang menunjukkan simbol 'kelaki-lakiannya'. Laki-laki dilihat dari sejauh mana ia memiliki jati diri yang melekat kuat dalam jiwanya dan menjiwai setiap langkahnya. Jati diri yang kuat, bijaksana, dan tak mudah berubah, itulah laki-laki." TND0892

Senin, 21 Maret 2011

Hati Sepi

Hati sepi
siapa lagi kan menemani
Sepi sendu dalam hati
Tiada tangis rindu diri

Malam dingin tiada tepi
Dunia mini tanpa hati
Kejam tak terperi
Lumpuhkanku kian hari

Otak melayang sepi
Tiada kan menemani
Sejuk dalam hati 
Tiada lagi kan menemani

Aku memeram sedih dalam hati
Karbit mendung ledakkan rasaku
Carut marut tak keruan
Menusuk hati tiada kan bertalu

Ku takkan tahu
Takkan paham duniaku
Kapan duri kan berlalu
Tinggalkanku yang tak lagi sendiri

Karmen 21 Maret 2011

Rabu, 09 Maret 2011

Prapaskah, Saatnya Berserah

Tidak terasa Rabu Abu sudah tiba. Benar-benar tidak terasa, terutama bagi orang yang tinggal jauh di perantauan. Ini artinya masa Prapaskah sudah tiba dan 40 hari lagi sudah akan tiba Paskah, masa dimana Tuhan Yesus akan menebus dosa kita dan menyelamatkan kita dari segala dosa yang telah kita lakukan.
Masa Prapaskah ini merupakan masa yang penting bagi umat Katolik, dan mungkin juga umat Kristen. Masa Prapaskah sering juga disebut sebagai masa ber-APP. APP sendiri merupakan Aksi Puasa Pembangunan. Yakni sebuah tindakan bermatiraga, dan hasil bermatiraga itu bisa digunakan untuk pembangunan. Pembangunan dalam arti luas. Bisa jadi pembangunan iman, mental, spiritual, atau pembangunan fisik, misal menyisihkan sedikit uang jajan untuk menyumbang pembangunan gereja. Setidaknya, selama masa Prapaskah ini, sebagai umat Katolik, terutama yang sudah berusia 17 tahun keatas diwajibkan berpuasa ketika Rabu Abu dan Jumat Agung serta mengambil pantang pada hari Jumat, ditambah hari lainnya bila ingin menambah ritme berpantang.
Kenapa pantang bukan puasa 40 hari penuh? Sebenarnya gereja hanya mewajibkan puasa selama 2 hari utama. Yakni ketika Rabu Abu sebagai awal Prapaskah, dan Jumat Agung sebagai puncak dari segalanya yakni wafatnya Yesus Kristus. Dan dalam puasa ini, sejauh saya tahu, merupakan puasa 24 jam penuh. Jadi puasa dimulai pukul 00.00 dan akan berakhir pukul 24.00. Sedangkan pantang merupakan suatu kegiatan bermatiraga menahan hawa nafsu kita. Pantang tentunya bisa bermacam-macam dan selayaknya berisi niatan baik untuk memperbaiki diri. Misalnya pantang merokok, pantang berkata jorok, pantang jajan, pantang makan daging, pantang gula, pantang garam, dan lain sebagainya. Kegiatan pantang ini hanya wajib dilaksanakan pada saat hari Jumat saja. Selebihnya, dipersilakan mengambil keputusan secara pribadi. Pantang ini juga sebagai salah satu sarana pembelajaran bila mungkin suatu ketika kita memang 'harus' pantang gula karena terlanjut terkena diabetes mellitus. Pada intinya, pantang ini melatih kita menahan hawa nafsu.
Hanya pantang saja? Tidak juga. Percuma saja kalau hanya pantang selama 7 hari penuh sekalipun atau berpuasa bermatiraga selama 7 hari penuh. Perlu adanya perubahan sikap dalam hidup bermasyarakat ataupun menggereja. Menjadi rendah hati itulah yang utama. Mampu menahan hawa nafsu yang ditimbulkan oleh diri sendiri dan mampu mengatur mana yang penting dan mana yang tidak penting.
Akhir kata, semoga Prapaskah tahun ini bisa membawa hal-hal yang bermakna. Pertobatan tidak diberikan secara cuma-cuma. Melainkan harus melalui beratus-ratus cambukan dan beribu-ribu butir darah Yesus terjatuh sia-sia di jalanan. Mari kita sambut Paskah ini dengan hati yang bersih, penuh rasa ikhlas, dan tidak lupa berderma bagi sesama yang membutuhkan. Ad Maiorem Dei Gloriam.

Senin, 07 Maret 2011

Komersialisasi Pendidikan

Komersialisasi pendidikan bukan merupakan kata-kata baru. Terutama di kalangan aktivis yang bergerak di bidang pendidikan. Komersialisasi pendidikan merupakan hal yang sudah kompleks dan mengakar. Sehingga, penyelesaiannya saat ini pun hanya terkesan sebagai sebuah awang-awang saja. Langkah konkret yang sebenarnya telah matang, dimentahkan kembali oleh para pelaku-pelaku pendidikan.
Komersialisasi sendiri memiliki arti singkat sebagai kegiatan menjadikan segala sesuatu sebagai barang dagangan. Bahkan suatu hal yang sebenarnya tidak pantas menjadi barang dagangan sekalipun, baik berkaitan dengan hajat hidup rakyat banyak, atau yang memang tidak layak untuk diperdagangkan sekalipun. Dagangan disini memiliki kata dasar dagang, yang dalam arti yang sempit biasa diartikan sebagai kegiatan menjual sesuatu (dalam hal ini barang) untuk mencari keuntungan.
Komersialisasi pendidikan, bisa diartikan dengan memperdagangkan pendidikan. Mencari keuntungan melalui pendidikan. Bahkan, diartikan juga menjadikan pendidikan sebagai komoditas perdagangan, lengkap dengan segala serba-serbi yang ada di dalamnya. Mencari keuntungan melalui pendidikan sebenarnya tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan. Tapi, kenyataan saat ini komoditas pendidikan mulai diminati banyak orang. Dan tak hanya itu, kini pendidikan tak lebih dari sekilo bawang merah yang menjadi komoditas perdagangan bangsa ini.
Komersialisasi pendidikan sangat berbahaya, bila diartikan sesuai dengan jabaran secara etimologis di atas. Bahkan, sampai hal-hal kecil dalam pendidikan pun akan dikomersialisasi (baca : diperdagangkan). Tak dapat dipungkiri, masing-masing dari kita saat ini tengah merasakan betapa kejamnya pendidikan yang telah menjadi komoditas perdagangan. Bahkan, ibaratnya tusuk gigi di warung makan pun kini harus membayar. Seperti itu pula lah yang terjadi dalam pendidikan kita. Ketika kelas 3 SMA lalu, atau mungkin siswa kelas 3 SMP yang hendak mencari sekolah, secara tidak langsung pendidikan telah menjadi komoditas pendidikan yang terkejam. Lihatlah berbagai lembaga bimbingan belajar yang menjamur di kota-kota besar. Sesungguhnya, mereka tidak menjanjikan kelulusan yang hakiki. Dalam hal ini, kelulusan yang hakiki juga tidak dapat dicapai apabila si pelaku tidak memiliki niat untuk mencapainya. Tapi, hal ini lain. Kita berbicara soal komoditas pendidikan dalam lembaga bimbingan belajar yang dengan enaknya diperjual belikan. Misalnya saja, jika ingin ini ingin itu, ingin lulus ujian di universitas A, B, C, harus membayar sekian. Begitu juga ketika kita sekolah di SD sampai SMA bahkan. Ada kewajiban membeli buku ini buku itu. Ini juga secara tidak sadar merupakan komersialisasi pendidikan. Bahkan, biaya pendidikan selalu naik sekian kali lipat setiap tahunnya. Dulu saya masuk SMA harus membayar Rp 6 juta untuk uang gedungnya. Tapi, apa bisa dibayangkan uang 6 juta itu saat ini hanya bisa dipergunakan untuk masuk SD saja? Benar-benar mengerikan.
Lebih mengerikan lagi ketika di Universitas. Untuk masuk jurusan favorit saja, harus membayar sekian juta rupiah. Bahkan, di salah satu universitas negri, untuk masuk jurusan Kedokterannya saja diharuskan membayar minimal Rp 80 juta. Beruntung masih ada SNMPTN, sehingga bagi yang benar-benar cerdas dan tidak mampu secara finansial masih bisa masuk ke Universitas Negri pilihannya. Tapi, selepas dari proses seleksi itu ternyata masih belum lepas juga dari komersialisasi pendidikan. Pungutan-pungutan semacam uang gedung lah, yang bisa dibilang penggunaannya sebenarnya kurang realistis. Belum lagi intimidasi dosen yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Misal menjual pernak-pernik keperluan kuliah, seperti handout, perlengkapan praktikum, dan lain sebagainya.
Terkadang, komersialisasi ini berjalan tanpa kita sadari. Alasan yang diberikan oleh pelaku komersialisasi pendidikan bermacam-macam. Dan yang sangat berbahaya adalah terdengar sangat masuk akal bagi yang menuntut kejelasan. Seperti misalnya uang gedung. Ada rinciannya sekian sekian. Tapi, ketika mau mencermati lebih jauh, apa mungkin membangun atau merenovasi gedung A dengan kualitas yang demikian itu habis biaya sekian milyar? Ini perlu pencermatan kritis. Atau misalnya pada transaksi jual beli pernak-pernik pengajaran. Peralatan ini tidak wajib dibeli. Tapi, ketika akan membuatnya sendiri, tentu akan memakan waktu dan hasilnya tidak akan sebaik ketika beli. Hasil yang buruk, maka nilai pun juga akan buruk. Benar-benar pemanfaatan sebuah kesempatan yang sangat mini sebagai sebuah peluang bisnis yang luar biasa. 
Apa dampaknya komersialisasi pendidikan? Bagi kaum ber-duit tidak masalah. Karena uang yang dikeluarkan bisa bak mengeluarkan secara langsung dari ATM. Tapi, yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua masyarakat Indonesia adalah orang yang kaya. Sebagian besar penduduk Indonesia adalah masyarakat menengah kebawah. Ini artinya, ketika komersialisasi pendidikan semakin merajalela, kesempatan belajar bagi masyarakat menengah kebawah akan semakin terenggut. Dan ini artinya telah merenggut hak asasi manusia untuk memperoleh pengajaran dan pendidikan. Biaya pendidikan semakin tak terjangkau. Dan yang muncul di kemudian hari adalah masyarakat miskin hanya dapat menikmati pendidikan yang ecek-ecek atau kurang bermutu. Atau bahkan bisa masuk ke fakultas yang bermutu di universitas yang amat baik pula, tapi kuliahnya harus mogol karena tidak kuat membeli buku, perlengkapan kuliah, dan kebutuhan-kebutuhan sekunder kuliahnya. Perlu diketahui juga, harga buku yang diperlukan di semester 2 di Fakultas Kedokteran Gigi saja sudah habis sekitar Rp 1,2 juta. Seandainya harga terus naik, dan kebutuhan semakin meningkat, maka niscaya bahwa di masa depan akan semakin jarang orang-orang dari kalangan menengah kebawah bisa menduduki fakultas-fakultas favorit di perguruan tinggi yang baik.
Negara membutuhkan kekritisan kita dan keberanian kita. Komersialisasi berlangsung dengan pilihan. Seandainya kita bisa memilih jalan tanpa komersialisasi, ini tentu akan baik. Bagaimana caranya? Mungkin kurang mendidik. Tapi sebaiknya menjadi kaum yang sedikit tidak mudah percaya dan menjadi kaum yang oportunistis. Tinggal keberanian kita untuk memilih.Yang jelas, komersialisasi ini secara perlahan akan membawa kehancuran bangsa. Komersialisasi hanya akan membuat orang yang sudah kaya akan semakin berjaya, dan yang miskin akan mati perlahan. Jangan jadikan pendidikan bagus hanya dapat dinikmati oleh orang kaya saja.

Jumat, 04 Maret 2011

Senja

Senja itu memerah
Cahya matahari mulai tenggelam
Dalam syahdu sinarnya malam
Merah itu takkan pecah
Menjadi hitam memendam temaram

Senja itu takkan berlalu
Menggantung dalam hati
Hati rindu kian bertalu
Rekatkan rindu tak kunjung sirna

Suara itu getarkan kalbu
Tak tahu aku diam seribu
Mendung menggantung di pelupuk mataku
Hujan deras kan segera tiba
Senja takkan kunjung sirna juga

Entah sampai kapan senja ini kan menggantung
Dalam lubuk hati yang terdalam
Tiada ada manusia kan tahu
Hingga entah kapan
Merah membawa ini kan menjadi biru mendayu

TND 0892 Karmen

Kesulitan Hari Ini Biarlah Menjadi Kesulitan Hari Ini

"Kesulitan hari ini biarlah menjadi kesulitan hari ini saja. Hari esok ada kesulitannya sendiri."

Potongan ayat dalam Alkitab pada misa hari Minggu, 27 Februari 2011 ini setidaknya memberikan sedikit kekuatan bagi diri saya, dan bisa saja bagi semua orang. Banyak yang sangat cepat menjadi tua memikirkan hal-hal ini itu saja. Tiap hari yang dipikirkan sama : kegagalan masa lalu yang terus menerus dipikirkan. 
Apa yang terjadi hari ini biarkanlah saja terjadi hari ini. Segala macam kesulitan kita hari ini, biarkanlah saja menjadi kesulitan hari ini. Kesulitan hari ini takkan terulang kembali pada hari esok, kecuali kita memikirkannya secara terus menerus. Dan kesulitan hari esok, bukanlah kesulitan hari ini. Jadi, setidaknya petikan ayat ini mengajarkan kita untuk berfokus menghadapi hari. Dengan berfokus, masa depan secara perlahan akan tertata dengan baik. 
Begitu juga rejeki yang diberikan merupakan rejeki untuk hari ini. Tidak perlu memikirkan rejeki untuk hari esok, karena Tuhanlah yang akan menyediakan rejeki bagi kita. Maka, jadilah bijak dalam mengatur dirimu. Jangan terlalu larut dalam suramnya hari ini dan kau bawa ke hari esok. Hari ini, biarlah menjadi hari ini saja. Hari esok, pasti akan lebih indah dan punya jalannya sendiri.