Selasa, 10 Februari 2015

Keluarga, Tembok Pertahanan Pertama Tertib Lalu Lintas

"Pak lampu bangjo nya masih kuning. Ayo diterobos aja, waktunya mepet, ntar aku telat sekolah!"
"Nggak usah, biar yang lain aja yang terobos. Belajar tertib lalu lintas ya!"

Percakapan itu terjadi 12 tahun yang lalu, percakapan antara bapak dan anak yang berboncengan naik sepeda motor menuju ke sekolah. Jarak rumah ke sekolah saya sekitar 10 km. Hampir setiap hari, saya selalu berangkat dengan jam yang mepet dengan berbagai alasan: bangun kesiangan, lelet, sarapan nggak enak, sampai malas sekolah. Tetapi, seperti biasa, bapak saya lebih memilih jalan agak ngebut daripada menerobos lampu merah. Jangankan menerobos lampu merah, melanggar marka jalan atau berhenti di atas zebra cross saja tidak pernah ketika membonceng saya.

Sangat miris ketika melihat anak-anak yang diboncengkan orang tuanya dengan santainya melenggang bebas ngeblong bangjoo, tidak berhenti saat lampu menyala merah. Miris juga ketika anak-anak diboncengkan dengan motor tanpa menggunakan helm. Bayangkan, seorang orang tua yang seharusnya mengajarkan sesuatu hal yang benar, justru mengajarkan suatu hal yang salah dan berakibat fatal: pelanggaran lalu lintas.

Keluarga, sebagai basis utama dari segala macam pendidikan. SD, SMP, dan SMA hanya sebagai suplemen agar anak-anak mampu mendalami secara lebih mendalam mengenai menghitung, bahasa, pengetahuan umum, sosial, dan alam. Sementara, keluarga sebagai basis utama dalam membangun karakter, mengenal diri, dan membangun relasi interpersonal. Maka, keluarga (seharusnya) mengajarkan suatu hal yang baik kepada penerusnya.

Memboncengkan anak, sudah tidak pakai helm, kalau ada lampu merah diterobos saja, berhenti di atas atau di depan zebra cross, sampai jalan pelan-pelan di tengah. Tentu kita sepakat, semua sikap tersebut adalah sikap yang menyebalkan dan menjijikkan sepanjang sejarah berlalu lintas. Lebih menjijikkan lagi, bahwa tindakan tersebut dilakukan ketika memboncengkan anak -yang berarti sang anak pasti akan melihat hal tersebut sebagai suatu hal yang 'benar' karena dilakukan orang tuanya (ingat, anak ada fase 'meniru' pada fase pertumbuhkembangannya) dan tentunya karena dianggap suatu hal yang 'benar' maka sang anak akan menirukan hal tersebut ketika kelak ia sudah bisa membawa kendaraan. Dan ironisnya, hal tersebut dilakukan secara sadar oleh orang tua, padahal mereka juga tahu bahwa sang anak kelak akan menirukan perbuatannya melanggar lalu lintas.

Maka, jika memang teori tentang 'meniru' pada fase pertumbuhkembangan benar, tidak heran ketika saat ini banyak pengguna sepeda motor yang: menerobos lampu merah, berhenti di atas atau di depan zebra cross, berjalan melawan arus (mlipir), berjalan melawan arah di jalan satu arah, memutar di tempat yang ada tanda dilarang memutar, dan lain sebagainya. Semuanya itu sebagai implementasi dari contoh-contoh yang diberikan orang tuanya ketika mereka anak-anak, kemudian berkembang menjadi remaja (mungkin gondhes), sampai terbawa hingga dewasa dan diturunkan lagi kepada anak-anaknya. Demikian lingkaran setan akan terus berputar. 

Mungkin orang tua akan berkata, "Ah, nggak papa, orang nggak ada polisi. Nggak ada yang lihat."
Hey, Anda dilihat oleh anak Anda dan bukan tidak mungkin akan ditirukan anak Anda.

"Ah, toh akibatnya nggak fatal. Cuma puter balik di tempat yang nggak boleh gini kok!"
Mungkin, bagi Anda saat itu tidak fatal. Tapi, ketika tindakan tersebut ditirukan oleh anak Anda kelak, maka yang akan mengalami kejadian fatal bisa jadi anak Anda. Bayangkan, ketika anak Anda baru anget-angetnya naik motor, sekitaran usia SMA, kemudian putar balik di tempat yang seharusnya tidak boleh, dan kebetulan putaran tersebut ada setelah tikungan, kemudian ketika mencoba memutar anak Anda ditabrak mobil yang melaju kencang dari arah tikungan. Siapa yang akan menangis? Tentu Anda dan si pemilik mobil yang harus menukar nyawa anak Anda karena kebodohan Anda sebagai orang tua.


"Nggak papa berhenti di atas zebra cross atau tetep terus aja waktu lampu merah tanda orang menyeberang tetap menyala/ada orang menyeberang di zebra cross."
Percuma teriak-teriak tentang HAM ketika ada hukuman mati, ketika gaji tidak sesuai ekspektasi, bahkan ketika disuruh lembur sama bos, tetapi kenyataannya, bahkan, hak orang lain untuk menyeberang jalan saja dilanggar. Berhenti di atas zebra cross sama saja mengurangi space bagi pejalan kaki. Demikian juga ketika macet kemudian menjadikan trotoar sebagai jalan baru, itu tindakan paling tolol se jagad raya.


Jika demikian kondisinya, maka kesimpulan Polri untuk membuat pendidikan lalu lintas sedini mungkin di TK dan SD adalah tindakan yang hanya membuang uang dan tenaga. Sehari adalah 24 jam. Anak TK-SD bersekolah selama 4 jam dan tidur selama 8 jam. Artinya ada waktu 12 jam bersama orang tua, dimana dalam waktu tersebut sangat memungkinkan sang anak 'diajari' pelanggaran demi pelanggaran oleh orangtuanya ketika melakukan mobilitas. Sehingga, waktu 4 jam di sekolah yang full dipergunakan untuk penyuluhan ketertiban lalu lintas akan kalah dengan waktu 12 jam yang bisa saja dipergunakan muter-muter orang tua bersama anaknya. Menjadi naif ketika di sekolah si anak diajari untuk tertib, tapi di jalan dan di rumah si anak diajari untuk 'tidak apa-apa melanggar toh yang penting selamat'. Dalam hal ini, penyuluhan kepada orang tua supaya tertib berlalu lintas, terutama ketika sedang membawa anaknya (syukur jika tertib dalam segala waktu) perlu digalakkan. Pemahaman tertib berlalu lintas dalam lingkup keluarga juga perlu digalakkan: orang tua perlu menyadari bahwa suatu saat tindakan melanggarnya akan diikuti oleh anaknya bukan tanpa resiko, dan orang tua lengkap dengan anaknya perlu ditentir dan diberikan pemahaman mengenai ketaatan berlalu lintas. Mengandalkan polisi untuk menegakkan aturan lalu lintas, untuk saat ini, belum bisa. Berapa banyak perempatan dan pertigaan di Indonesia, berapa banyak pula harus mengerahkan tenaga polisi untuk menjaga persimpangan agar masyarakatnya mau tertib. Kesadaran diri sendiri terhadap pentingnya berlalu lintas lah yang perlu dipupuk sejak dini.

Pemikiran instan rata-rata mendominasi pelanggar lalu lintas: 'terobos lampu merah ah, biar cepat sampai', 'puter balik disini aja ah, kalau taat jauh soalnya, eman bensinnya', 'jalan macet, lewat trotoar aja, biar cepat sampai', dll, dll. Sampai terlambat, bensin boros, kepanasan, jalan pelan-pelan, harus jalan ngebut, adalah segala jenis resiko yang mau tidak mau dihadapi ketika berkendara. Dan untuk itulah otak, akal, dan budi manusia diciptakan. Tentu, jika kita manusia, dapat menggunakan otak, akal, dan budi tersebut untuk meminimalisir atau meniadakan resiko, misalnya dengan berangkat lebih awal, berkendara dengan gas yang stabil supaya bensin hemat, pakai jaket yang punya cukup ventilasi, settingan motor standar supaya bensin hemat, dll, dll. Bukan malah menghilangkan resiko dengan memunculkan resiko baru yang berbahaya: berangkat mepet, nanti jalan kebut-kebutan, zig-zag, segala lini jalan dipakai, jalan di trotoar oke. Resikonya, jika jalan kebut-kebutan, nggak bisa mengerem mendadak, nabrak. Jika zig-zag, hitungannya gak bener, ban selip, jatuh, ditabrak kendaraan lain. Jalan di trotoar, ternyata trotoarnya licin, akhirnya jatuh. Menghilangkan resiko wajar dari sebuah tindakan dan menggantikannya dengan resiko yang tidak wajar dan lebih berbahaya. Jadi, berpikir dan bertindaklah cerdas.

Orang yang taat pada peraturan pasti dilahirkan dan dididik pula oleh keluarga yang taat pada peraturan. Melanggar peraturan tidak berdosa karena peraturan adalah buatan manusia, bukan? Tetapi melanggar peraturan, berarti Anda telah merenggut kebebasan orang lain yang sudah taat pada peraturan. Mau hak Anda terebut karena keseenakwudelan orang lain? Tentu tidak mau kan?

Tertiblah berlalu lintas. Seminimalnya, taatilah rambu-rambu lalu lintas. Untuk lalu lintas Indonesia yang lebih baik. Nggak mau macet dan stress, naik angkutan umum dong...

*Sebuah introspeksi 7 tahun berkendara, semoga ke depan bisa jadi makin taat aturan lalu lintas