Kamis, 20 Juni 2013

Perkara

Bukan perkara tidak ada yang melihat
Tapi perkara bisa bertindak jujur

Bukan perkara pintar dan ahli di bidangnya
Tapi perkara cekatan dan peka situasi

Bukan perkara superioritas dan jabatan
Tapi perkara kesalahan dan rasa bersalah
Membuat untuk terus berkembang dari waktu ke waktu

Bukan perkara bisa atau tidak bisa
Tapi perkara mau atau tidak mau berusaha

Bukan perkara sekarang atau nanti
Tapi perkara mau berdisiplin dan tepat waktu

Bukan perkara bisa karena biasa
Tapi perkara memang di ahlinya dan berpengalaman

Bukan perkara hidup berlebih lalu menang segala hal
Tapi perkara menghargai yang lain
dan perkara 'tiap kebebasan, akan senantiasa berbatasan dengan kebebasan orang lain'

Bukan perkara lebih tua lebih pintar
Tapi perkara bisa mengenal lebih dahulu

Bukan perkara 'biarin, nggak ada yang tahu'
Tapi perkara 'Tuhan Maha Tahu segalanya'
Mata hatimu pun melihat
Pun mata hatimu yang kelak akan bercerita padaNya

Bukan perkara 'karena aku ahlinya, maka aku selalu benar'
Tapi perkara 'mendengarkan pendapat orang lain'
Bahwasanya mendengarkan adalah salah satu bentuk menghargai
Sekalipun kita adalah ahlinya

Bukan perkara meluapkan emosi dengan kemarahan
Tapi perkara menjaga masing-masing hati dan kepala untuk tetap dingin

Bukan perkara 'dia musuhku'
Tapi perkara 'semua manusia adalah sama, punya kewajiban sama dan hak sama'

Semuanya memang bukan segala-galanya
Segala-galanya dimulai dengan sesuatu
Sesuatu,
Sangat kecil,
namun pondasi pun berasal dari butiran pasir dan debu

Bukan perkara mendapatkan nama
Tapi ini perkara memiliki integritas!

Dongeng sebelum tidur siang
Mojoklanggru Kidul F6, 20 Juni 2013

Minggu, 02 Juni 2013

Kehilangan

Negara kehilangan pemimpinnya adalah wajar
Anak kehilangan orang tuanya adalah wajar
Orang tua kehilangan anaknya di mall adalah wajar
Seseorang kehilangan barang yang dicintainya adalah wajar

Aku kehilangan diriku sendiri
Ini tidak wajar
Karena baru terjadi sekali

Bayanganku pun pergi meninggalkan aku
Entah kemana perginya

Wajahku entah telah menjatuhkan diri dimana
Terang aku tak punya wajah lagi
Mungkin wajahku malu menjadi aku

Jiwaku mulai merengek untuk terbang
Lepas dari tubuhku ini
Tinggal seperempat yang ada dalam tubuhku

Tubuhku mulai gontai hilang arah
Ingin segera melepaskan identitas
Segala identitas yang melekat dan atas nama 'aku'
Seolah malu beridentitaskan 'aku'
Seolah 'aku' telah melakukan kejahatan asusila terjahat abad ini

Padahal tidak

Kepribadianku telah hilang
Termakan jaman yang kian menghimpit

Jati diriku baru saja berkemas
Pergi membawa segala kata 'baik' yang pernah diajarkan padaku
dulu
Entah kemana ia akan pergi

Pemikiranku menjadi tumpul
Ditumpuli oleh rautan ideologi
Yang kian memaksa si minor menyingkir

Perasaanku telah mati sejak sebulan lalu
Telah dikuburkan di pemakaman belakang
Bersama dengan harapanku
Yang baru saja hilang semenit yang lalu

Aku hanya tinggal identitas 'aku'
Jiwaku, tubuhku, pemikiranku, kepribadianku, perasaanku, wajahku, jati diriku
Sebagian telah mati
Sebagian telah hilang, entah kemana

Dan aku yang dulu hanya akan menjadi aku yang dulu
Yang telah hilang
Aku yang kini, hanyalah menjadi identitas

Bahwa aku telah hilang dan tiada

Mojoklanggru Kidul F/6
Minggu, 2 Juni 2013
Untuk telah matinya segala yang telah kumiliki. Aku telah kehilangan.

Sabtu, 01 Juni 2013

Indonesia, Perokok, dan Beban Kehidupan

"Ngopo e kok leh mu ngrokok ngebes tenan" (Kenapa kok ngrokoknya kenceng banget?)
"Lagi ngelu e..." (Baru pusing)

Setidaknya potongan percakapan di atas biasa terjadi ketika saya menanyai sahabat/teman yang sedang merokok, dan merokoknya kenceng pada suatu kesempatan. Dan jawaban 'sedang pusing', 'sedang ada masalah', atau 'sedang tidak punya uang' selalu muncul ketika saya menanyai orang yang ngerokoknya 'ngebes'. Ada hubungan yang saling terkait antara beban hidup (gaji, permasalahan, beban pekerjaan, urusan sekolah, dan lain sebagainya) dengan kebiasaan merokok.
Kita mencoba memandang kebiasaan merokok dari sisi lain. Sudah biasa kita menuding-nuding perusahaan rokok berikut iklan-iklannya sebagai salah satu agen yang menyebabkan banyak orang rela menghabiskan uang untuk membeli rokok. Namun, jarang kita melihat dari sisi si pengguna rokok tersebut bahwa ada hal lain yang membuat ia harus senantiasa membeli rokok, hingga menjadi kebiasaan merokok, karena beban kehidupan yang harus mereka tanggung.
Orang Indonesia tergolong orang dengan beban kehidupan yang luar biasa tinggi. Tanpa menggunakan data, saya berani berkata demikian melalui pengalaman dan pengamatan (karena data terkadang menipu, dan data hanya akan sekedar berkata secara kuantitatif, tidak kualitatif). Bisa kita lihat secara bersama, sejak jaman sekolah saja sudah dibebani dengan beban mata pelajaran, yang menurut saya, bukan tuntutannya untuk anak-anak dengan usia tersebut. Anak-anak SD kelas 1-3 sudah dituntut untuk bisa berbahasa Inggris, bahasa yang bukan bahasa ibu dan sangat dipaksakan untuk menjadi bahasa ibu. Alasannya, supaya lebih maju. Padahal tidak ada korelasi langsung antara bisa berbahasa Inggris dan Indonesia maju, yang ada si anak malah semakin terbeban. Begitu juga dengan tingkatan selanjutnya yang dipaksa untuk belajar yang seharusnya belum menjadi porsinya. Ditambah les musik, les olahraga, dan lain sebagainya yang sebenarnya menambah beban pikiran dari si anak tersebut. Beranjak SMP beban akan semakin berat, masih tetap les ini itu. Dan beranjak ke bangku SMA harus mampu masuk IPA, jurusan yang dianggap bagus (padahal menurut saya tidak demikian juga (saya SMA di IPA)) dan harus bisa masuk kuliah favorit: Kedokteran! Ketika kuliah, kembali dibebani dengan jumlah SKS. Beban ketika kuliah yang sangat menyiksa bagi generasi masa kini adalah percepatan kuliah, dimana 144 SKS harus bisa diselesaikan selama 3,5 tahun. Hanya demi IPK 3,5 dan predikat lulus Cumlaude. Dan ketika kerja, dibiasakan dengan pressure yang sangat tinggi, dan manusia disamakan mesin! Lebih baiknya lagi, bahwa di Indonesia, untuk mengimbangi semua pressure yang diberikan tersebut, hanya sedikit atau bahkan tidak ada waktu untuk liburan yang diberikan hanya sekedar untuk meletakkan beban-beban tersebut dan sedikit refreshing saja (Sekolah, dari SD-SMA libur semester hanya 2 minggu, perkuliahan lumayan panjang (1-2 bulan), dan kerja nyaris tidak ada hari libur kecuali Sabtu -Minggu dan hari libur besar). Wow!
Pertanyaannya, kemana beban kehidupan ini harus dilarikan ketika semua orang dikatakan memiliki beban kehidupan yang rata-rata relatif sama? Manusia penuh dengan beban. Seharusnya, seorang suami bisa sedikit berbagi beban kepada isterinya. Namun, karena isterinya pun pasti punya tanggungan beban rumah tangga sendiri, maka isterinya pun tidak mampu turut serta menanggung beban kehidupan suaminya. Seharusnya, seorang mahasiswa bisa berbagi beban kehidupannya dengan curhat dengan teman-temannya. Tapi, tidak jarang yang terjadi adalah bebannya bertambah lagi karena harus ikut-ikutan menanggung beban temannya juga.
Hingga akhirnya, rokok menjadi pelarian dan menjadi tempat 'menanggung beban' sementara. Pertanyaan yang pasti muncul adalah, orang luar negri (baca: Eropa dan Amerika) memiliki beban kerja yang sedemikian besar. Tapi kenapa mereka tidak menyerahkan seluruh beban kehidupannya pada sebatang rokok? Jawabannya adalah karena setiap pekerja di Eropa dan Amerika memiliki jatah 'berlibur' yang 'dibiayai oleh perusahaan mereka' untuk 'meletakkan sedikit beban kerja mereka, dan refreshing bersama keluarga mereka'.
Karena di Indonesia kesempatan untuk refreshing menjadi sebuah kesempatan yang sangat mahal dan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang sudah kaya. Rokok menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang berpenghasilan menengah ke bawah ini untuk menjadi sarana refreshing yang bisa dilakukan sewaktu-waktu dan hanya membutuhkan waktu singkat. Cukup 5-15 menit, seseorang sudah bisa berpetualang dengan sebatang rokoknya. Karena awalnya bisa menenangkan diri dengan sebatang rokok, maka kemudian ini menjadi keterusan, dan menjadi sebuah kebiasaan: menenangkan diri, meletakkan beban dengan merokok.
Pemerintah, perusahaan, dan tiap individu di Indonesia tidak akan pernah memahami ini. Percuma demo besar-besaran, membuat spanduk, membuat himbauan tentang bahaya rokok ketika memang kondisi yang ada seperti ini. Saat ini, tidak hanya perlunya pemahaman mengenai bahaya rokok. Dan saya yakin, perokok di Indonesia tidak bodoh. Mereka tahu, mereka paham tentang bahaya rokok. Namun, ada 1 hal yang telah membuat merokok menjadi kebiasaan. Maka, yang terpenting adalah bagaimana membuat orang yang belum terbiasa merokok ini menjadi terbiasa menyalurkan beban kehidupannya melalui cara lain yang lebih positif jika dibandingkan dengan merokok. Misal, memperbanyak refreshing dengan browsing internet, atau ke taman di dekat rumah. 

Tulisan ini, secara khusus saya buat secara khusus untuk memperingati World No Tobacco Day. Bukalah mata, bahwa ternyata kesalahan tidak murni 70% terletak pada perusahaan rokok berikut sarana promosinya dan pada pribadi-pribadi yang mengkonsumsi rokok. Beban kehidupan tidak hanya memicu 80% kasus bunuh diri, tapi juga mengambil peranan penting 60% pada kasus kecanduan rokok.

Jangan jauhi perokoknya. Tapi, jauhi dampak buruk dari merokok. Karena perokok adalah manusia. Karena perokok adalah keluarga kita dan memiliki hak yang sama dengan kita.