Robin van Basten, seekor asu
dari sebuah keluarga yang berkecukupan. Hari-harinya hanya ia habiskan dengan
tidur, menggonggong, lari sana-sini, makan, lalu tidur lagi. Ya memang begitu
hakikatnya seekor anjing, atau sering disebut sebagai asu dalam bahasa Jawa.
Hingga suatu ketika batinnya
tersiksa. Bukan karena memang disiksa majikannya, apalagi asu sering menjadi
objek hinaan kaum manusia. Bahkan sesama manusia pun saat ini saling mengatakan
‘asu!’ sebagai wujud kekecewaan. Kali ini asu Robin tersiksa batinnya karena
merasa sudah tidak berkecukupan lagi. Makan 2 kali sehari dengan menu daging 1
kali dan 1 kali dengan makanan anjing sekelas pedigree, serta minum susu tiap
pagi tidak membuat dirinya berkecukupan. Kerjaannya hanya murung di halaman
belakang. Senyum yang disajikan kepada juragannya pun hanya senyum palsu dan
sekedar-sekedar saja. Biar tetap dianggap ‘hewan yang paling setia pada
tuannya’. Biar predikat sebagai ‘asu yang sesungguhnya’ tetap terpancar dari
wajah si Robin ini.
Minggu pagi, hari yang tidak
terlalu cerah bagi Robin. Seperti biasa, waktu bagi si asu ini untuk
berjalan-jalan pagi, tanpa ditemani tuannya. Begitu pintu belakang dibuka,
langsung si Robin ini berlari kencang menuju pintu depan dan menerobosnya
karena memang tidak ditutup sejak subuh tadi. Bersegeralah Robin menemui
rekan-rekannya sesama asu.
Terjadi percakapan yang
lumayan seru antar asu tersebut. Tidak asu jantan atau betina semuanya
berkumpul. Tidak kalah ramai dengan ibu-ibu menor sok kaya yang bergosip
sana-sini membicarakan hal yang tidak penting. Bahasanya tidak kalah sengit
dengan sebangsa manusia yang disebut sebagai ‘wong asu’. Topiknya juga tidak
kalah dari obrolan warung angkring di tepi jalan: Ayu Ting-ting, anak polisi
nabrak siswa SMA, hingga manusia-manusia yang tidak puas dengan gajinya dan
terus menuntut.
“Hey para asu!” Robin memulai
percakapannya dengan asu lainnya
“Apakah kita tidak merasa
ditindas?”
Sementara asu lainnya yang
tadi asyik bercengkerama tiba-tiba diam dan mendengarkan robin yang memang
berbicara dengan sedikit lantang.
“Selama bertahun-tahun kita
mengabdi pada juragan kita, kita kurang mendapatkan hidup layak!”
“Lha tapi saya baru berumur 4
bulan mas Robin, dan baru 2 bulan saya mengabdi pada juragan saya”, celetuk
Joni tiba-tiba, seekor asu milik Pak Lurah.
“Ya, sama saja! Siapapun harus
tahu hal ini. Biar yang masih muda-muda itu tidak digobloki oleh bangsa
manusia!” Ujar Robin kembali memulai omongannya.
“Sadar atau tidak sadar, kita
telah dijadikan budak oleh juragan-juragan kita. Setiap hari kita diminta untuk
menggonggong jika ada orang asing lewat depan rumah. Setiap hari kita
diperbudak untuk menyambut juragan kita yang baru saja pulang dari kerja dengan
wajah sumringah, tanpa memperhatikan bawa kita sebenarnya sedang bersedih hati.
Kita juga diperbudak untuk mengambilkan koran tiap pagi!”
“Tapi, itu kan memang hakikat
kita sebagai asu, yang harus melayani juragan kita setulus hati?” Tanggapan
Choki mulai menimbulkan pertentangan antar asu.
Ada yang setuju bahwa saat ini
anjing selalu diperbudak, namun ada yang setuju pula bahwa itu memang hakikat
yang harus dijalani para asu.
“Lihat apa yang saya katakan.
Hakikat asu adalah hidup dengan layak tanpa tekanan. Bebas kesana kemari tanpa
ada siksaan. Pekerjaan kita banyak, tapi imbalan kita hanya sedikit. Waktu
melek kita juga sangat lebar. Tak jarang dari kita harus melek 24 jam karena
tetangga juragan baru saja kemalingan. Tak jarang pula kita hanya tidur 1 jam
saja dengan makan 2 kali per hari!” Robin melanjutkan orasinya
Banyak asu lainnya mulai
terpancing dan tidak terima dengan keadaan. Karena rata-rata lainnya hanya
makan sisa kuah bakso yang sudah semalaman. Memang beberapa dapat makan lumayan
mewah, daging, pedigree, ataupun makanan berkelas lainnya. Namun hanya secuil kecil
saja.
“Apalagi kita ini adalah asu.
Sesuai dengan buku yang pernah saya baca, bahwasanya asu adalah hewan mamalia
dengan tingkat sistem organ tubuh yang tertinggi. Nyaris sama dengan manusia.
Artinya, kita juga harus diperlakukan sama dengan manusia!” Ke-soktau-an Moli,
seekor anjing yang kebetulan membaca buku milik juragannya yang baru mengambil
Magister of Science, mulai mempengaruhi asu-asu lainnya.
Suasana memanas. Asu-asu mulai
sadar bahwa selama ini derajat mereka direndahkan. Mereka mulai paham bahwa
selama ini apa yang mereka dapatkan sangat sedikit bila dibandingkan dengan
pekerjaan mereka.
“Tenang saudara-saudaraku
sesama asu sekalian! Kita ini satu nasib, sama-sama asu, dan sama-sama hak kita
ini perlu diperjuangkan. Kita perlu mendapatkan tambahan imbalan yang sesuai
dengan kinerja kita. Mari, berdasarkan persamaan perasaan ini, kita maju ke
Hewan Perwakilan Asu untuk menuntut kenaikan upah kita ini sebagai asu-asu yang
budiman! Merdeka!!” Tutup Robin dalam suasana yang masih memanas itu.
Lantas semua asu yang hadir
menyahut dengan gonggongan dan lolongan panjang. Kemudian bubar satu persatu
dengan tetap membawa jiwa membara untuk menuntut juragan-juragan mereka agar
memberikan hidup yang lebih layak.
Senin pagi, asu-asu di
rumah-rumah sudah lenyap sedari subuh. Juragan-juragannya juga sudah tahu bahwa
hewan peliharaannya akan demo besar-besaran di kantor Hewan Perwakilan Asu.
Bahkan, di rumah pak Susanto yang punya 5 ekor anjing, sempat terjadi sweeping
oleh asu-asu lainnya. Pak Santo yang ketakutan karena asu-asu yang men-sweeping
ini bertampang seperti hewan rabies, akhirnya membiarkan anjing-anjingnya
mengikuti demo. Meskipun sebetulnya kehidupan anjingnya lebih dari layak: tidur
di ruangan ber-AC, ada kasurnya, makan pedigree 3 kali sehari, 1 minggu sekali
diberikan daging rusa atau sapi, tiap pagi dan malam minum susu, dan perawatan
salon tiap 1 minggu sekali.
Asu-asu yang jumlahnya
mencapai ribuan mulai bergerak dari kantong-kantong pertemuan. Ada yang membawa
spanduk besar dan bagus dengan biaya cetak yang mahal. Ada juga yang kompak
serempak pakai kaos bertuliskan “Serikat Asu Nasional”. Ada juga yang membawa
toa dan menyewa sebuah pickup berisi soundsystem lengkap dengan genset memutar
lagu-lagu perjuangan, dangdutan, dengan sesekali orasi. Asu-asu lainnya ada
yang datang dengan menyewa bus, menyewa kereta, bahkan beberapa menaiki
kendaraan yang tergolong mewah.
Kantor Hewan Perwakilan Asu
mulai ramai. Asu-asu mulai berorasi. Polisi, Satpol PP, TNI AL-AD-AU telah
disiagakan sejak pagi. Bahkan water canon pun juga telah bersiaga. Kondisi
padat dan ricuh. Dorong mendorong antar asu tak terhindarkan. Petugas keamanan
mulai kewalahan. Makanan yang dilemparkan kepada asu-asu yang berdemo ini pun
tidak manjur. Tidak seperti kelompok golongan manusia yang kalau berdemo,
diberi nasi, lalu pergi begitu saja. Asu-asu ini menuntut satu hal: kenaikan
upah sebagai asu.
Petugas kewalahan. Maka
disarankannya kepada kepala HPA agar perwakilan dari pihak asu dan pihak
juragan dipertemukan dalam sebuah ruangan. Sementara pihak HPA menengahi.
“Kami ingin agar upah kami
sebagai asu dinaikkan. Kami tidak terima bahwa kami hanya diberi makan
seadanya. Sebagian dari kami hanya makan 2 kali sehari tanpa gizi yang cukup!”
Robin yang kebetulan menjadi perwakilan asu-asu berorasi di dalam ruangan
tersebut.
Asu lainnya berteriak
mengiyakan ucapan Robin.
“Tenang saudara-saudara anjing
sekalian. Kali ini, kita dengarkan dahulu pendapat perwakilan dari juragan
kalian ini”, Doggy Soleha, kepala HPA, menengahi pertemuan yang berlangsung
panas.
“Pada intinya kami sebagai
juragan tidak sepakat bahwa para asu ini meminta kenaikan upah. Kami pun
sebagai juragan telah memberikan semaksimal mungkin. Tiap sore dan pagi kami
harus berkorban waktu untuk mengantar kalian ini jalan-jalan. Memang bahwa
hakikatnya asu untuk demikian, berbahagia kalau juragannya pulang, menghibur
juragannya. Kalian tidak bisa menuntut demikian. Toh, kerja kalian juga hanya
bermalas-malasan. Sekali-duakali menggonggong. Itu saja. Kalian mau menuntut
upah yang layak yang seperti apa?” Pak Joko, perwakilan dari juragan asu-asu
tersebut menyampaikan dengan nada tenang.
Para asu perwakilan mulai
panas. Mereka tidak terima jika memang disebut hakikatnya asu adalah demikian
dan pekerjaan mereka Cuma bermalas-malasan. Mereka merasa telah bekerja dengan
keras.
Perdebatan panjang dan
melelahkan menghabiskan waktu para juragan yang seharusnya bekerja banting
tulang untuk keluarganya dan para asu yang seharusnya menjaga rumah
juragan-juragannya.
Debat selama 6 jam akhirnya
menemui titik tengah yang telah diambil oleh Hewan Perwakilan Asu dan
disepakati oleh perwakilan juragan dan perwakilan asu-asu terkait: juragan
harus memberikan upah layak berupa makan 3 kali sehari dengan lauk daging atau
kaldu, minum susu minimal sehari sekali, dan ke salon minimal sebulan sekali.
Juragan juga harus memberikan vitamin yang baik bagi asu-asunya. Jelas
sebenarnya ini berat sebelah bagi juragan-juragan yang kurang mampu. Tapi,
desakan yang sangat dari golongan asu-asu yang begitu mengerikan mendesak
perwakilan juragan yang jumlahnya hanya sedikit.
Hari berganti hari. Bulan
berganti bulan. Kondisi perlahan berubah setelah kebijakan baru untuk para asu
diberlakukan. Sebulan pertama, asu-asu hidup bermewah-mewahan dan cenderung
pekerjaannya bertambah ringan: tidak lagi disuruh mengambil koran pagi hari,
tidak lagi diminta menggonggong kalau ada tamu, dan tugasnya hanya senyum saja
kalau juragannya pulang. Tidak perlu melonjak kegirangan.
Bulan berikutnya, kondisi
berbalik drastis. Juragan-juragan mulai kehabisan anggarannya hanya untuk
membiaya asu-asu. Imbas dari kebijakan berat sebelah 2 bulan lalu. Sebagian
juragan memilih meninggalkan rumahnya dan membiarkan asunya disitu. Sebagian
memilih membuang asu tersebut ke tengah hutan.
Lantas, bagaimana nasib
asu-asu itu? Asu yang gemuk-gemuk akibat kebijakan baru tersebut, sebagian
kembali jadi kurus karena ditinggal oleh juragannya beserta rumahnya. Sebagian
jadi kurus energinya habis karena berusaha pulang ke rumahnya setelah dibuang
di tengah belantara hutan, lalu mati. Sebagian berkeliaran di jalan-jalan
setelah diusir dari rumah. Dan tentu, sebagian besar nasibnya berakhir di wajan
menjadi tongseng asu, entah karena memang sengaja disembelin juragannya yang
kehabisan dana untuk makan keluarganya, atau karena sedang berkeliaran di jalan
lalu diambil pemulung yang butuh dana tambahan dari jualan daging asu.
Kemanakah Robin atas peristiwa
tersebut? Robin tertawa-tawa karena saat ini ia duduk di kursi tertinggi
perwakilan asu, menikmati keberlimpahan dana, makanan, dan fasilitas setelah
dianggap pahlawan oleh asu-asu lainnya paska lahirnya kebijakan berat sebelah
tersebut.
Jatirejo 77B
24 November 2013
Untuk banyak asu
yang masih bebas berkeliaran