Senin, 25 November 2013

Gugatan Asu

Robin van Basten, seekor asu dari sebuah keluarga yang berkecukupan. Hari-harinya hanya ia habiskan dengan tidur, menggonggong, lari sana-sini, makan, lalu tidur lagi. Ya memang begitu hakikatnya seekor anjing, atau sering disebut sebagai asu dalam bahasa Jawa.

Hingga suatu ketika batinnya tersiksa. Bukan karena memang disiksa majikannya, apalagi asu sering menjadi objek hinaan kaum manusia. Bahkan sesama manusia pun saat ini saling mengatakan ‘asu!’ sebagai wujud kekecewaan. Kali ini asu Robin tersiksa batinnya karena merasa sudah tidak berkecukupan lagi. Makan 2 kali sehari dengan menu daging 1 kali dan 1 kali dengan makanan anjing sekelas pedigree, serta minum susu tiap pagi tidak membuat dirinya berkecukupan. Kerjaannya hanya murung di halaman belakang. Senyum yang disajikan kepada juragannya pun hanya senyum palsu dan sekedar-sekedar saja. Biar tetap dianggap ‘hewan yang paling setia pada tuannya’. Biar predikat sebagai ‘asu yang sesungguhnya’ tetap terpancar dari wajah si Robin ini.

Minggu pagi, hari yang tidak terlalu cerah bagi Robin. Seperti biasa, waktu bagi si asu ini untuk berjalan-jalan pagi, tanpa ditemani tuannya. Begitu pintu belakang dibuka, langsung si Robin ini berlari kencang menuju pintu depan dan menerobosnya karena memang tidak ditutup sejak subuh tadi. Bersegeralah Robin menemui rekan-rekannya sesama asu.

Terjadi percakapan yang lumayan seru antar asu tersebut. Tidak asu jantan atau betina semuanya berkumpul. Tidak kalah ramai dengan ibu-ibu menor sok kaya yang bergosip sana-sini membicarakan hal yang tidak penting. Bahasanya tidak kalah sengit dengan sebangsa manusia yang disebut sebagai ‘wong asu’. Topiknya juga tidak kalah dari obrolan warung angkring di tepi jalan: Ayu Ting-ting, anak polisi nabrak siswa SMA, hingga manusia-manusia yang tidak puas dengan gajinya dan terus menuntut.

“Hey para asu!” Robin memulai percakapannya dengan asu lainnya

“Apakah kita tidak merasa ditindas?”

Sementara asu lainnya yang tadi asyik bercengkerama tiba-tiba diam dan mendengarkan robin yang memang berbicara dengan sedikit lantang.

“Selama bertahun-tahun kita mengabdi pada juragan kita, kita kurang mendapatkan hidup layak!”

“Lha tapi saya baru berumur 4 bulan mas Robin, dan baru 2 bulan saya mengabdi pada juragan saya”, celetuk Joni tiba-tiba, seekor asu milik Pak Lurah.

“Ya, sama saja! Siapapun harus tahu hal ini. Biar yang masih muda-muda itu tidak digobloki oleh bangsa manusia!” Ujar Robin kembali memulai omongannya.

“Sadar atau tidak sadar, kita telah dijadikan budak oleh juragan-juragan kita. Setiap hari kita diminta untuk menggonggong jika ada orang asing lewat depan rumah. Setiap hari kita diperbudak untuk menyambut juragan kita yang baru saja pulang dari kerja dengan wajah sumringah, tanpa memperhatikan bawa kita sebenarnya sedang bersedih hati. Kita juga diperbudak untuk mengambilkan koran tiap pagi!”

“Tapi, itu kan memang hakikat kita sebagai asu, yang harus melayani juragan kita setulus hati?” Tanggapan Choki mulai menimbulkan pertentangan antar asu.

Ada yang setuju bahwa saat ini anjing selalu diperbudak, namun ada yang setuju pula bahwa itu memang hakikat yang harus dijalani para asu.

“Lihat apa yang saya katakan. Hakikat asu adalah hidup dengan layak tanpa tekanan. Bebas kesana kemari tanpa ada siksaan. Pekerjaan kita banyak, tapi imbalan kita hanya sedikit. Waktu melek kita juga sangat lebar. Tak jarang dari kita harus melek 24 jam karena tetangga juragan baru saja kemalingan. Tak jarang pula kita hanya tidur 1 jam saja dengan makan 2 kali per hari!” Robin melanjutkan orasinya

Banyak asu lainnya mulai terpancing dan tidak terima dengan keadaan. Karena rata-rata lainnya hanya makan sisa kuah bakso yang sudah semalaman. Memang beberapa dapat makan lumayan mewah, daging, pedigree, ataupun makanan berkelas lainnya. Namun hanya secuil kecil saja.

“Apalagi kita ini adalah asu. Sesuai dengan buku yang pernah saya baca, bahwasanya asu adalah hewan mamalia dengan tingkat sistem organ tubuh yang tertinggi. Nyaris sama dengan manusia. Artinya, kita juga harus diperlakukan sama dengan manusia!” Ke-soktau-an Moli, seekor anjing yang kebetulan membaca buku milik juragannya yang baru mengambil Magister of Science, mulai mempengaruhi asu-asu lainnya.

Suasana memanas. Asu-asu mulai sadar bahwa selama ini derajat mereka direndahkan. Mereka mulai paham bahwa selama ini apa yang mereka dapatkan sangat sedikit bila dibandingkan dengan pekerjaan mereka.

“Tenang saudara-saudaraku sesama asu sekalian! Kita ini satu nasib, sama-sama asu, dan sama-sama hak kita ini perlu diperjuangkan. Kita perlu mendapatkan tambahan imbalan yang sesuai dengan kinerja kita. Mari, berdasarkan persamaan perasaan ini, kita maju ke Hewan Perwakilan Asu untuk menuntut kenaikan upah kita ini sebagai asu-asu yang budiman! Merdeka!!” Tutup Robin dalam suasana yang masih memanas itu.

Lantas semua asu yang hadir menyahut dengan gonggongan dan lolongan panjang. Kemudian bubar satu persatu dengan tetap membawa jiwa membara untuk menuntut juragan-juragan mereka agar memberikan hidup yang lebih layak.

Senin pagi, asu-asu di rumah-rumah sudah lenyap sedari subuh. Juragan-juragannya juga sudah tahu bahwa hewan peliharaannya akan demo besar-besaran di kantor Hewan Perwakilan Asu. Bahkan, di rumah pak Susanto yang punya 5 ekor anjing, sempat terjadi sweeping oleh asu-asu lainnya. Pak Santo yang ketakutan karena asu-asu yang men-sweeping ini bertampang seperti hewan rabies, akhirnya membiarkan anjing-anjingnya mengikuti demo. Meskipun sebetulnya kehidupan anjingnya lebih dari layak: tidur di ruangan ber-AC, ada kasurnya, makan pedigree 3 kali sehari, 1 minggu sekali diberikan daging rusa atau sapi, tiap pagi dan malam minum susu, dan perawatan salon tiap 1 minggu sekali.

Asu-asu yang jumlahnya mencapai ribuan mulai bergerak dari kantong-kantong pertemuan. Ada yang membawa spanduk besar dan bagus dengan biaya cetak yang mahal. Ada juga yang kompak serempak pakai kaos bertuliskan “Serikat Asu Nasional”. Ada juga yang membawa toa dan menyewa sebuah pickup berisi soundsystem lengkap dengan genset memutar lagu-lagu perjuangan, dangdutan, dengan sesekali orasi. Asu-asu lainnya ada yang datang dengan menyewa bus, menyewa kereta, bahkan beberapa menaiki kendaraan yang tergolong mewah.

Kantor Hewan Perwakilan Asu mulai ramai. Asu-asu mulai berorasi. Polisi, Satpol PP, TNI AL-AD-AU telah disiagakan sejak pagi. Bahkan water canon pun juga telah bersiaga. Kondisi padat dan ricuh. Dorong mendorong antar asu tak terhindarkan. Petugas keamanan mulai kewalahan. Makanan yang dilemparkan kepada asu-asu yang berdemo ini pun tidak manjur. Tidak seperti kelompok golongan manusia yang kalau berdemo, diberi nasi, lalu pergi begitu saja. Asu-asu ini menuntut satu hal: kenaikan upah sebagai asu.

Petugas kewalahan. Maka disarankannya kepada kepala HPA agar perwakilan dari pihak asu dan pihak juragan dipertemukan dalam sebuah ruangan. Sementara pihak HPA menengahi.

“Kami ingin agar upah kami sebagai asu dinaikkan. Kami tidak terima bahwa kami hanya diberi makan seadanya. Sebagian dari kami hanya makan 2 kali sehari tanpa gizi yang cukup!” Robin yang kebetulan menjadi perwakilan asu-asu berorasi di dalam ruangan tersebut.
Asu lainnya berteriak mengiyakan ucapan Robin.

“Tenang saudara-saudara anjing sekalian. Kali ini, kita dengarkan dahulu pendapat perwakilan dari juragan kalian ini”, Doggy Soleha, kepala HPA, menengahi pertemuan yang berlangsung panas.

“Pada intinya kami sebagai juragan tidak sepakat bahwa para asu ini meminta kenaikan upah. Kami pun sebagai juragan telah memberikan semaksimal mungkin. Tiap sore dan pagi kami harus berkorban waktu untuk mengantar kalian ini jalan-jalan. Memang bahwa hakikatnya asu untuk demikian, berbahagia kalau juragannya pulang, menghibur juragannya. Kalian tidak bisa menuntut demikian. Toh, kerja kalian juga hanya bermalas-malasan. Sekali-duakali menggonggong. Itu saja. Kalian mau menuntut upah yang layak yang seperti apa?” Pak Joko, perwakilan dari juragan asu-asu tersebut menyampaikan dengan nada tenang.

Para asu perwakilan mulai panas. Mereka tidak terima jika memang disebut hakikatnya asu adalah demikian dan pekerjaan mereka Cuma bermalas-malasan. Mereka merasa telah bekerja dengan keras.
Perdebatan panjang dan melelahkan menghabiskan waktu para juragan yang seharusnya bekerja banting tulang untuk keluarganya dan para asu yang seharusnya menjaga rumah juragan-juragannya.

Debat selama 6 jam akhirnya menemui titik tengah yang telah diambil oleh Hewan Perwakilan Asu dan disepakati oleh perwakilan juragan dan perwakilan asu-asu terkait: juragan harus memberikan upah layak berupa makan 3 kali sehari dengan lauk daging atau kaldu, minum susu minimal sehari sekali, dan ke salon minimal sebulan sekali. Juragan juga harus memberikan vitamin yang baik bagi asu-asunya. Jelas sebenarnya ini berat sebelah bagi juragan-juragan yang kurang mampu. Tapi, desakan yang sangat dari golongan asu-asu yang begitu mengerikan mendesak perwakilan juragan yang jumlahnya hanya sedikit.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Kondisi perlahan berubah setelah kebijakan baru untuk para asu diberlakukan. Sebulan pertama, asu-asu hidup bermewah-mewahan dan cenderung pekerjaannya bertambah ringan: tidak lagi disuruh mengambil koran pagi hari, tidak lagi diminta menggonggong kalau ada tamu, dan tugasnya hanya senyum saja kalau juragannya pulang. Tidak perlu melonjak kegirangan.

Bulan berikutnya, kondisi berbalik drastis. Juragan-juragan mulai kehabisan anggarannya hanya untuk membiaya asu-asu. Imbas dari kebijakan berat sebelah 2 bulan lalu. Sebagian juragan memilih meninggalkan rumahnya dan membiarkan asunya disitu. Sebagian memilih membuang asu tersebut ke tengah hutan.

Lantas, bagaimana nasib asu-asu itu? Asu yang gemuk-gemuk akibat kebijakan baru tersebut, sebagian kembali jadi kurus karena ditinggal oleh juragannya beserta rumahnya. Sebagian jadi kurus energinya habis karena berusaha pulang ke rumahnya setelah dibuang di tengah belantara hutan, lalu mati. Sebagian berkeliaran di jalan-jalan setelah diusir dari rumah. Dan tentu, sebagian besar nasibnya berakhir di wajan menjadi tongseng asu, entah karena memang sengaja disembelin juragannya yang kehabisan dana untuk makan keluarganya, atau karena sedang berkeliaran di jalan lalu diambil pemulung yang butuh dana tambahan dari jualan daging asu.

Kemanakah Robin atas peristiwa tersebut? Robin tertawa-tawa karena saat ini ia duduk di kursi tertinggi perwakilan asu, menikmati keberlimpahan dana, makanan, dan fasilitas setelah dianggap pahlawan oleh asu-asu lainnya paska lahirnya kebijakan berat sebelah tersebut.

Jatirejo 77B
24 November 2013

Untuk banyak asu yang masih bebas berkeliaran

Sabtu, 09 November 2013

Dan Jadilah Pahlawan Masa Kini

Peristiwa itu dimulai ketika tentara Inggris dengan sengaja membonceng Belanda yang masuk kembali ke Indonesia pasca Indonesia merdeka. Peristiwa adu senjata dan perjuangan melawan penjajahan kembali oleh Belanda yang ditumpangi tentara Inggris merajalela di daerah-daerah. Tak terkecuali Surabaya. 27 Oktober 1945, peristiwa perobekan Bendera Belanda terjadi di Hotel Yamato, Surabaya. Hal ini karena pemerintah Belanda dianggap tidak menghargai sama sekali Indonesia yang telah berdaulat -ditandai dengan pemasangan bendera Merah-Putih hampir di seluruh bagian Nusantara. Peristiwa berlanjut dengan kesepakatan untuk gencatan senjata antara pihak Indonesia dan Sekutu. Namun, belakangan, lagi-lagi di Surabaya, gencatan senjata ini tidak dihiraukan oleh pasukan India yang dipimpin oleh Jenderal A.W.S Mallaby yang menembaki pasukan Indonesia di sekitaran Alun-Alun Surabaya. Hingga pada akhirnya, pecahlah perang dahsyat di Surabaya pada tanggal 10 November 1945 karena perintah pelucutan senjata dari Sekutu dianggap sebagai penghinaan terbesar atas kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagai salah satu perang mempertahankan kemerdekaan dengan korban banyak: diperkirakan 6000-16000 warga sipil tewas dan lebih dari 2000 tentara sekutu tewas, semenjak saat itu, 10 November ditetapkan sebagai hari pahlawan.

Sekilas cerita mengenai terjadinya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan mengapa 10 November di kemudian hari dijadikan sebagai Hari Pahlawan.

Mendengar kata pahlawan, kita biasanya akan terpikirkan dengan aksi-aksi heroik yang dilakukan pendahulu kita di masa lalu: membawa bambu runcing, merebut senjata modern milik musuh, bergerilya malam-malam melewati hutan, dan berbagai kegiatan yang begitu menegangkan dalam melawan penjajah-penjajah. Negosiasi-negosiasi yang dilakukan juga negosiasi yang keras, bahkan tak jarang berakhir dengan adu otot. Perjuangan-perjuangan yang keras untuk mencapai Indonesia yang merdeka.

Hari ini 'pahlawan' sudah bukan lagi orang yang membawa pentungan kemudian berteriak atas nama sesuatu yang tak jelas untuk diperjuangkan. Bukan lagi orang-orang berseragam bertuliskan salah satu nama sekolah berlarian membawa gear dan shock breaker sepeda motor dan mengejar-ngejar musuhnya. Bukan lagi orang yang main keroyok musuhnya karena tim kesayangannya kalah. Bukan aksi bar-bar perusakan fasilitas umum. Perjuangan hari ini sudah bukan tentang perjuangan fisik, sudah bukan perjuangan adu otot. Namun perjuangan adu keterampilan, adu otak. Siapa cerdas, siapa cerdik, ia yang akan menang. Senjata sudah tak berarti lagi, sekalipun mahal harganya.

Tindakan kita terlena terhadap kemerdekaan yang sudah ada tidak akan pernah membuat pahlawan-pahlawan yang telah mendahului kita ini menjadi bangga terhadap diri kita. Perpecahan yang meluas atas dasar basis agama dan kesukuan kembali merebak di Indonesia. Lantas, apakah tujuan Indonesia dimerdekakan jika pada akhirnya kembali terpecah?

Mayoritas dari kita saat ini adalah menjadi pahlawan bagi diri kita sendiri. Membentengi diri kita sendiri, agar kita tetap 'menang' sekalipun sebenarnya kita salah. Padahal menjadi pahlawan adalah berarti menjadi pahlawan bagi orang lain, bukan bagi diri kita sendiri. Mendompleng kekuasaan agar tetap selamat dari jeratan hukuman, juga sama sekali tidak mencerminkan sikap kepahlawanan masa kini, kepahlawanan orang muda. 

Sudah tidak saatnya lagi membuat semua pahlawan yang telah mendahului kita ini menjadi bersedih hati dan merasa sia-sia atas segala yang telah mereka lakukan demi kemerdekaan Indonesia. Menjadikan Indonesia tegak kembali kemerdekaannya dan menjauhkan Indonesia dari disintegritas nasional tidak dimulai dari perbuatan-perbuatan besar. Kemerdekaan Indonesia juga dimulai dari pergerakan-pergerakan yang kecil. Generasi muda, yang katanya adalah calon penerus pahlawan negri ini, mulailah bergerak. Seminimalnya mulailah untuk jujur, semakin giat berprestasi dalam bidang apapun. Terlalu banyak nongkrong, gosip, rasan-rasan tanpa ada realisasi tindakan positif tidak akan membawa Indonesia ini kemana-mana. Mengcopy hasil karya orang lain hanya akan membuat bangsa kita menjadi bangsa yang terus menerus meniru tanpa sikap inovatif yang sebenarnya berguna bagi bangsa kita sendiri.

Selamat hari pahlawan. Momentum hari pahlawan bukan hanya untuk diperingati, dengan hening cipta sejenak. Namun untuk menjadi momentum untuk kembali melanjutkan semangat para pahlawan yang telah siap-sedia mengorbankan nyawanya bagi nama Indonesia Raya.