Jumat, 19 April 2013

Perspektif Pemberdayaan dalam Problem Solving

Setiap insan manusia pasti menginginkan menjadi pemimpin yang sangat radikal dan revolusioner, terutama kaitannya dalam memimpin sebuah organisasi menuju ke arah yang lebih baik. Beberapa orang berpendapat bahwa saat ini pemimpin yang revolusioner sangat diperlukan, sehingga banyak insan muda dan pemimpin 'anyaran' yang berusaha diri untuk menjadi revolusioner. Revolusioner dalam artian begitu datang sebagai seorang pemimpin dalam suatu wilayah atau organisasi, langsung membuat berbagai sistem baru yang dianggapnya baik dan ideal dengan menabrakkan sistem baru tersebut dengan sistem yang sudah ada. Tidak salah. Namun, tindakan gegabah ini justru akan benar-benar menimbulkan kesan revolusioner kepada pemimpin tersebut, bahwa dengan tindakannya tidak jarang terjadi crash yang cukup mengerikan terutama kaitannya dengan problem solving dalam suatu masalah. Dan sindroma ini sangat sering terjadi, terutama di orang yang tengah panas-panasnya dalam berorganisasi. Dan saya sendiri sudah pernah mengalami fase ini.
Sebenarnya tidak salah mengartikan revolusioner dengan makna mengubah segala-galanya menjadi lebih baik dalam jangka waktu yang cepat, mudah, dan instan. Cara-cara tersebut, secara teoritis, dapat berjalan dengan baik. Namun, jangan lupa, dalam perspektif penyelesaian masalah (problem solving) yang kita selesaikan adalah banyak manusia dengan banyak sifat dan pemikiran. Cara-cara represif, dengan membangun sebuah sistem baru yang lebih baik diatas sebuah sistem yang telah lama mapan di masyarakat, terkadang menimbulkan banyak penolakan karena masyarakat yang telah terlanjur nyaman dengan sistem yang lama. Alih-alih permasalahan dapat selesai, namun justru muncul permasalahan baru: konflik antar sistem yang bisa merugikan komponen pengguna sistem tersebut.

Berbagai Cara Penyelesaian Masalah

Penyelesaian masalah sebenarnya ada banyak cara. Pertama adalah dengan cara seperti yang saya sebutkan di atas, membuat sistem baru yang pemimpin saat itu anggap lebih baik, lebih mapan, dan lebih sempurna dari sistem sebelumnya, namun dengan mendesak atau menyaingi sistem yang lama. Kemudian akan terjadi dua pendekatan. Secara represif dan secara perlahan-lahan. Secara represif yakni dengan memaksakan sistem yang baru tersebut untuk berjalan dan secara tidak langsung melalui berbagai cara dan media menonaktifkan sistem yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan secara perlahan-lahan adalah dengan memaksakan sistem baru itu tetap jalan sembari secara perlahan-lahan melakukan pendekatan persuasif kepada pengguna sistem lama untuk mau mengikuti sistem baru. Pembuatan sistem baru diatas sistem yang lama tentu akan berakibat pada 'persaingan antar sistem'. Ini berbahaya, karena pandangan masyarakat Indonesia pada umumnya, baik di organisasi tingkat masyarakat maupun kumpulan masyarakatnya, berpandangan skeptis terhadap sistem baru karena dianggap merusak kemapanan. Konflik kecil kadang muncul, dan munculnya konflik-konflik kecil ini akan menjadi sarana untuk melakukan tindakan represif bagi seorang pemimpin.
Cara kedua adalah dengan memanfaatkan empowerment. Empowerment atau sering diartikan sebagai pemberdayaan merupakan sebuah proses yang menghargai kearifan lokal. Kearifan lokal dalam hal ini tidak memiliki arti sempit hanya dalam aspek seni, budaya, dan kebudayaan masyarakat sekitar/masyarakat organisasi. Kearifan lokal disini lebih memandang sebagai suatu hal yang luas: segala sesuatu yang ada di lingkungan masyarakat sebelum ada pemikiran akan dibuatnya sebuah sistem baru. Misalnya, Pak Jokowi, Gubernur Jakarta, akan membuat sebuah Mass Rapid Transit yang terintegrasi. Maka, Pak Jokowi memandang angkot, metromini, trans jakarta, commuter line yang sudah ada sebagai apa yang disebut sebagai 'kearifan lokal' tersebut.
Prinsip pemberdayaan ini, sejauh saya mencoba selama beberapa tahun terakhir ini, merupakan sistem yang jauh sangat efektif dalam melaksanakan perubahan yang revolusioner. Meskipun membutuhkan waktu yang lama, namun segala proses yang terjadi akan diimbangi dengan hasil yang sangat memuaskan juga: perasaan sikap saling menerima di antara pihak yang konflik terhadap keputusan yang sudah diberikan.
Prinsip pemberdayaan, dalam hal ini adalah memberdayakan kearifan lokal tersebut. Memanfaatkan apa yang sudah ada terlebih dahulu, untuk dilaksanakan beberapa pengaturan kecil. Misalkan, dalam sebuah organisasi terdapat seminimalnya BPH dan koordinator seksi berikut anggotanya. Organisasi ini memiliki permasalahan di dalam ketertiban anggotanya. Jika kita akan memanfaatkan prinsip pemberdayaan, maka kita tidak perlu membentuk sistem baru, dengan membentuk seksi tata tertib atau membuat struktur tandingan misalnya. Kita cukup memberdayakan apa yang sudah ada, memberikan polesan dan arahan secara pelan-pelan. Polesan tersebut berupa pengintegrasian antar hubungan seksi sehingga terjalin komunikasi yang baik. Adanya integrasi yang baik, perasaan saling mengenal dan saling memiliki ini lama kelamaan akan menuju ke suatu tujuan yang sama. Meskipun proses ini sangat lama, membutuhkan kesabaran, dan tentunya harus bekerja dengan hati. Ketika semuanya sudah 'terangkul' dalam suatu lingkaran besar, memiliki suatu solidaritas (kalau Kopassus bilangnya jiwa korsa) dan rasa saling memiliki yang tinggi, hingga akhirnya memiliki tujuan dan keinginan yang searah, maka 'segerombolan orang' ini akan lebih mudah dibawa ke tujuan yang dimaksud, tanpa meninggalkan tujuan awal kita. Maka, dimulailah proses-proses selanjutnya dengan penyusunan komitmen bersama menuju ke tujuan awal yang merupakan tujuan awal yang telah kita buat dan tujuan awal yang telah menjadi kesepakatan 'mereka'. Karena adanya satu kesamaan titik pandang, ini akan membuat laju gerak organisasi dalam menghadapi permasalahan menjadi sangat ringan. Dan dengan cara ini, penolakan terhadap sistem yang kita ciptakan bisa diminimalisir. Minimnya penolakan ini dapat disebabkan karena tiap individu atau tiap kelompok yang berkepentingan difasilitasi secara aktif. Maksudnya, diberikan ruang gerak yang cukup bebas dalam mengeskpresikan tujuannya. Tinggal pandai-pandainya seorang pemimpin mengelola konflik yang ada di dalamnya sehingga organisasi tidak disusupi oleh kepentingan-kepentingan yang menyesatkan.

Contoh Kasus

Contoh sederhana adalah pedagang kakilima di Solo. Proses penyatuan dan problem solving difasilitasi oleh Bapak Joko Widodo (Walikota Solo saat itu) dan Bapak FX Hadi Rudyatmo (Wawali Solo saat itu). Para pedagang kaki lima Solo tergabung dalam wadah-wadah tertentu, dan biasanya berbasiskan jenis, kepentingan, dan daerah. Cara fasilitator saat itu sangat indah, dengan memanfaatkan potensi yang ada: pedagang yang meskipun berdagang, tetap senang juga kumpul-kumpul, kongkow-kongkow, dan ngopi bareng untuk membicarakan suatu masalah. Maka fasilitator menggunakan cara ini: mengumpulkan semua pedagang kaki lima di Solo untuk kongkow-kongkow malam bersama walikota dan wawali Solo. Sederhana, mereka dikumpulkan pertama kali tujuannya hanya agar para pedagang saling kenal, bisa saling berbagi cerita, bisa tahu suka duka pedagang di zona yang lain. Pertemuan kedua, dibuat dengan format yang sama lagi, sudah mulai masuk ke tahapan yang lebih meningkat lagi: memikirkan konsep penataan pedagang kaki lima. Pertemuan kedua tentu sudah mulai cair karena pedagang sudah mulai saling kenal. Hingga ke tahapan-tahapan selanjutnya sampai muncul suatu keprihatinan yang sama: bahwa pertumbuhan pedagang kaki lima di Solo perlu ditata dan perlu dikontrol, dan ini perlu perhatian khusus dari pemerintah. Pihak pemerintah kala itu memiliki tujuan yang sama, namun tidak diutarakan secara gamblang, teratur, dan berbentuk sistem sejak awal ketika pertemuan pertama karena justru akan bubar semuanya. Pertemuan terus berlanjut hingga pedagang kaki lima tersebut menemukan solusi tersendiri untuk membuat dagangan mereka terlihat rapi, tertata, dan nyaman dikunjungi, meskipun ini sebenarnya juga difasilitasi pemkot (dalam hal ini adalah benar, karena seorang pemimpin dalam konsep empowerment ini hanyalah sebagai fasilitator). Hingga akhirnya penataan tahap 1 berhasil dilaksanakan di depan Solo Grand Mall. 

Kelemahan Sistem Empowerment

Setiap sistem pasti ada kelemahannya. Kelemahan terbesar dari sistem ini sebenarnya banyak berkaitan dengan sikap kepemimpinan seseorang. Diperlukan kepemimpinan yang sangat matang dari seorang pemimpin yang menjadi fasilitator dalam sistem empowerment dalam problem solving ini. Menjadi fasilitator artinya harus benar-benar netral dan tidak terbawa terhadap ambisi pribadi untuk sistem yang didambakan. Pemimpin dalam menjalankan sistem ini harus benar-benar berpegang pada konsep win-win solution, bukan berujung pada pemaksaan konsep awal. Konsep awal boleh dibuat, namun pandai-pandai juga fasilitator dalam membawa sekumpulan massa yang akan diolah tersebut mulai dari nol, digiring pelan-pelan pada konsep yang diharapkan, hingga terbentuk konsep yang pure dari mereka sendiri tanpa paksaan namun sesuai dengan konsep dasar dari pemimpin. Sehingga pelaksana lapangan tidak merasa 'dipaksa' untuk menjalankan sistem yang baru. Pemimpin harus benar-benar sosok yang kuat, mampu menggiring dengan halus, dan sabar tidak memaksakan kehendaknya. Ini susahnya yang pertama.
Kedua, pemimpin harus memiliki kesabaran dan menggunakan perasaan dalam menghandle komponen konflik. Sindrom pemimpin anyaran adalah menggebu-gebu, ingin serba cepat dengan hasil yang baik, kasar, dan penuh ambisi. Sifat seperti itu sangat rentan terhadap gagalnya sistem empowerment. Perlu perlahan-lahan dan perlunya seorang pemimpin merangkul komponen konflik tersebut untuk dapat duduk bersama, memiliki kesamaan jiwa dan perasaan, hingga timbul suatu penyelesaian yang baik.
Kelemahan ketiga, dan biasanya tidak disukai oleh pemimpin yang radikal, adalah waktu proses yang sangat lama. Empowerment ini sangat lama, karena berfokus pada perkembangan masing-masing individu, bukan kelompok. Masing-masing individu adalah independen, memiliki pemikiran sendiri, memiliki daya rasa, karya, dan karsa masing-masing. Maka perkembangan individu akan sangat penting dalam proses empowerment ini. Namun, dengan hasil kerja yang cukup lama dan ketekunan yang tinggi, saya berani jamin bahwa hasilnya tidak akan pernah mengecewakan.

Hari ini tentu masih banyak orang yang berpemikiran untuk menggunakan cara represif. Segeralah tinggalkan cara itu karena cara itu memang efektif untuk jangka pendek. Ketika Anda sudah turun dari kursi kepemimpinan, maka segala sistem yang telah Anda buat akan kembali diacuhkan dan segala-galanya akan menjadi seperti sediakalanya lagi. Dengan prinsip empowerment, tidak akan ada program kerja jangka pendek yang tiap tahun berubah-ubah. Karena prinsip empowerment adalah memberdayakan apa yang sudah ada, dikelola kembali, dimasukkan beberapa sistem baru, untuk dibawa menuju ke yang lebih baik sesuai tatanan yang dihadapkan. Indonesia sudah kebanyakan sistem. Maka jangan penuhi Indonesia dengan sistem-sistem yang baru lagi!

Selasa, 16 April 2013

Serba-Serbi BBM: Kasus Lama yang Selalu Baru

Tentang BBM bersubsidi akhir-akhir ini kembali menjadi topik hangat sekaligus meresahkan: negara kehabisan dana untuk menyubsidi BBM. Akibatnya kembali berbagai opsi, yang cuma itu-itu saja, ditawarkan: menaikkan harga BBM lah, pembatasan BBM lah, BBM bersubsidi cuma untuk ini lah itu lah. Dan pada akhirnya, di Jawa (atau mungkin di Indonesia) kebijakan yang diterapkan adalah pembatasan pembelian BBM bersubsidi (Premium dan Solar) hanya Rp 100.000,00 setiap kendaraan setiap pom bensin. Itupun selalu disertai antrian panjang di beberapa SPBU (salah satunya adalah di Magetan). Dampaknya? Angkutan barang dengan truk jelas akan tersendat, dan jelas angkutan antar kota antar propinsi akan terhambat juga.
Sudah menjadi permasalahan klasik dan penyelesaiannya hanya itu-itu saja. Masyarakat sepertinya juga sudah mulai jengah dengan masalah subsidi BBM, dengan masalah kenaikan minyak dunia, dan serba-serbinya terkait bahan bakar. Seharusnya permasalahan ini dapat dipoles lebih baik dan mendapatkan penyelesaian yang jangka panjang. Menaikkan harga BBM, pembatasan BBM untuk kalangan tertentu hanya merupakan solusi jangka pendek saja. Menaikkan harga BBM berimplikasi dengan kenaikan harga bahan pokok yang tentunya akan berimplikasi juga dengan permintaan kenaikan upah pegawai. Endingnya, masyarakat pada akhirnya kembali dimampukan membeli bahan bakar yang awalnya naik tersebut secara normal lagi. Konsumsi pun normal lagi, pasokan kurang, subsidi kurang, dan lain sebagainya. Akhirnya akan berputar lagi. Kita bisa bercermin dari tahun 1998-hari ini. Tahun '98 harga BBM bersubsidi lebih kurang masih Rp 1500, hingga akhirnya pada masa reformasi sempat naik jadi Rp 6000. Kenaikan yang sedemikian besarnya ternyata masyarakat segala kalangan masih mampu membeli, setelah diimbangi dengan kenaikan pendapatan (pasti kalau harga bahan pokok naik, buruh-buruh tanpa dikoordinir langsung demo untuk kenaikan UMR/UMK). Hingga harga BBM bersubsidi turun menjadi Rp 4500.
Pembatasan BBM untuk kalangan tertentu juga dirasa hanya akan menambah lingkaran setan. Misal BBM bersubsidi hanya untuk mobil tahun sekian dengan cc sekian. Orang Indonesia, saya yakin, adalah orang yang cerdas dan pandai kalau masalah 'ngakali' dan 'ngadali'. Sehingga bagaimanapun juga kalau tidak diterapkan peraturan yang ketat, maka tetap lolos.
Bocornya BBM bersubsidi ini jelas sangat mengkhawatirkan: sedemikian dahsyatnya kah pertumbuhan kendaraan di Indonesia? Tentu kali ini yang menjadi kambing hitam adalah Jawa, dan beberapa kota besar di pulau lain. Sebagian besar BBM bersubsidi di Indonesia dihabiskan di Jawa. Percaya atau tidak percaya, jumlah kendaraan di Jawa yang sangat pesat ini sebagai salah satu penyebabnya. Hari ini, satu orang sudah membawa satu motor. Bahkan di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Semarang, Jogja, Bandung satu orang sudah membawa satu mobil. Jadi, kalau satu rumah ada empat anggota keluarga, maka minimal rumah tersebut terdapat 3 sepeda motor, dan maksimalnya terdapat 4 mobil dan 1 sepeda motor (biasanya untuk pembantu). Mengerikan. Meskipun mau dibilang mobil yang digunakan adalah mobil dengan tingkat efisiensi yang terbaik, tentu ini sangat mengerikan. Rata-rata 1 mobil digunakan dalam kota membutuhkan bensin Rp 50000-100000 untuk ukuran mobil jaman sekarang (tidak peduli tahun berapa, rata2 mobil untuk dalam kota habis sekian). Sepeda motor 1 minggu untuk dalam kota habis paling banyak bensin Rp 20000. Tinggal dikalikan saja berapa konsumsi BBM satu keluarga tersebut selama 1 minggu-bulan-tahun, dan berapa defisit subsidi yang harus dikeluarkan.
Pembelian kendaraan yang terlalu mudah juga dituding sebagai salah satu penyebabnya. Beli mobil tinggal berangkat ke lembaga leasing dan membayar sejumlah uang yang tidak seberapa besar jika dibandingkan dengan KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Beli sepeda motor, ada yang tinggal DP Rp 500.000 sudah bawa pulang sepeda motor. Masyarakat semakin menjadi generasi yang mudah membeli, tapi melupakan bahwa kendaraan tersebut perlu BBM dan perlu perawatan. Akhirnya, mobil tidak lagi menjadi milik orang yang benar-benar mampu saja untuk 'mbensini-ngopeni' kendaraan tersebut. Semua kalangan punya kendaraan. Dan akhirnya ya ini, subsidi habis belum sampai akhir tahun!

****

Mengerikan ketika pada akhirnya dengan pembatasan pembelian BBM ini kendaraan pribadi lebih diuntungkan. Dengan Rp 100.000 sebuah angkutan umum dengan bahan bakar solar hanya dapat membeli solar sebanyak 22,2 liter. Ketika sebuah angkutan umum bus dengan kapasitas 59 orang dapat berjalan 3 kilometer dengan 1 liter solar, artinya kendaraan tersebut dapat melaju hingga 66,6 kilometer. Jarak tersebut lebih kurang hanya cukup untuk 1 kali PP bus kota Bungurasih-Kota-Tanjung Perak Surabaya. Dan untuk bus antar kota antar propinsi hanya cukup berjalan paling jauh Surabaya-Jombang. Bandingkan dengan mobil, Rp 100.000 bisa untuk bepergian dalam kota selama 1 minggu dengan 4 penumpang. Dan tentunya pengguna kendaraan pribadi tidak akan terimbas dengan pembatasan pembelian BBM tersebut.
Akan lebih arif ketika BBM bersubsidi diarahkan kepada pihak-pihak yang benar-benar membutuhkan. Dalam hal ini, sekali lagi, pemerintah perlu benar-benar tegas dalam mengatur hal ini. Siapa saja kira-kira pihak yang benar-benar 'membutuhkan'? 
Jelas dalam hal ini yang pertama adalah transportasi umum. Transportasi umum sangat membutuhkan karena dengan transportasi umum ini dapat ditopang pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Ketika transportasi umum mendapatkan subsidi yang selayaknya, maka akan terjadi sebuah sistem transportasi massal dengan tarif yang murah dan masyarakat banyak dapat dimobilisasi melalui transportasi massal ini. 
Pemerintah, dewasa ini, mulai mengembangkan secara serius transportasi massal yang ada di kota-kota besar di Indonesia dengan harapan jumlah penggunaan kendaraan bermotor menjadi lebih rendah, dampak selanjutnya tidak ada lagi kebingungan tentang subsidi BBM. Hal ini tidak akan terjadi ketika BBM subsidi masih dapat diminati oleh semua kalangan: orang bermobil bisa beli BBM bersubsidi. Akibatnya, selalu ada ketimpangan biaya operasional dengan kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Biasanya jatuhnya jauh lebih murah kendaraan pribadi sehingga orang lebih suka membeli kendaraan pribadi. Dengan memberikan BBM bersubsidi kepada transportasi massal ini, jelas akan terjadi ketimpangan biaya operasional lagi, dan transportasi massal akan diuntungkan karena biaya operasional kendaraan pribadi jadi lebih tinggi (Pertamax 92 saat ini Rp 10300, dan Pertamina DEX saat ini Rp 10300 juga). Dampaknya memang nanti banyak kendaraan yang tidak akan digunakan, namun dapat dipastikan pemasukan pajak melalui pajak kendaraan akan tetap. Transportasi massal akan mendapatkan keuntungannya. Tarif kereta api pun juga dapat diturunkan karena selama ini kereta api menggunakan BBM non-subsidi. Angkutan dalam kota pun bisa jadi lebih murah dan efisien. Pemberian BBM bersubsidi ini tidak terbatas hanya pada angkutan manusia, namun memungkinkan juga angkutan barang dengan syarat tertentu (namun diutamakan angkutan manusia terlebih dahulu). Namun, langkah ini akan berhasil ketika pemerintah daerah mengikutinya dengan pembangunan sistem transportasi massal terintegrasi di kotanya. Tidak susah sebenarnya, asalkan semua pihak sepakat pada 1 tujuan.
Kedua industri dalam negeri. Industri dalam negeri, terutama industri menengah dan kecil, berhak mendapatkan BBM bersubsidi. Dan ini bisa diterapkan ke semua daerah di Indonesia. Industri kecil dan menengah juga turut menopang perekonomian Indonesia dan masih perlu stimulus untuk terus berkembang. Pemberian stimulus dengan dana fresh tidak akan terlalu membantu ketika harga BBM yang harus mereka beli sangat tinggi.
Ketiga, ini adalah opsi yang boleh jadi dipertimbangkan, boleh jadi tidak. Salah satu dari 3 pihak yang layak mendapatkan BBM bersubsidi adalah pengguna sepeda motor. Namun, tidak semua pengguna sepeda motor adalah orang yang tidak mampu. Harley Davidson juga sepeda motor (meskipun mungkin tidak mengkonsumsi BBM bersubsidi karena CC yang besar). Pihak sepeda motor ini fifty:fifty mengenai kelayakannya menggunakan BBM bersubsidi. Mungkin mekanismenya bisa diatur menjadi dua cara. Pertama, hanya pengendara sepeda motor yang mempunyai Jamkesmas saja yang dapat membeli BBM bersubsidi, atau dalam tanda kutip orang yang secara ekonomi kurang mampu namun membutuhkan mobilitas yang tinggi dimana pemerintah tidak dapat memfasilitasi dengan kendaraan umum. Misalkan di kota kecil seperti Pacitan. Untuk menuju ke kota sangat jauh, medan berat, dan akses menuju jalan utama yang dilewati kendaraan umum juga jauh. Ini bisa jadi opsi tersebut. Kedua, hanya sepeda motor khusus yang dapat mengisikan BBM bersubsidi di SPBU-SPBU. Misalnya kendaraan bebek dengan besar silinder 115 CC kebawah (karena kebanyakan sepeda motor kelas menengah kebawah didesain dengan kapasitas silinder 115 CC). Sedangkan 116 CC keatas (termasuk 125 CC, 135 CC, 150 CC) tidak diperbolehkan membeli BBM bersubsidi. Salut untuk beberapa industri sepeda motor yang sudah memproduksi sepeda motor yang harus benar-benar menggunakan BBM non subsidi dan mekaniknya juga dilatih untuk memberikan settingan khusus BBM non subsidi (salah satu kolega pernah ada yang coba-coba mengisi dengan premium, motor jadi ngadat). 

***

Pemberian BBM subsidi kepada ketiga pihak tersebut saya rasa lebih menguntungkan daripada membuat kebijakan pembatasan BBM untuk mobil ini, mobil itu, dan pembatasan pembelian cuma sekian saja. Penerapannya tidak perlu susah-susah. Seandainya pemberian BBM bersubsidi kepada ketiga pihak tersebut diatas hanya berjalan di Jawa saja, yang notabene memiliki jumlah kendaraan yang bejibun, tentu pihak pemerintah pusat sudah cukup terbantu dan kondisi subsidi BBM bisa diselamatkan/dialihkan ke subsidi pendidikan/subsidi yang lainnya.
Tinggal bagaimana pemerintah berpikirnya saja sekarang. Mana mungkin pemerintah menyubsidi orang yang mampu? Bukankah orang yang dianggap mampu adalah orang yang salah satunya bisa membeli kendaraan bermotor? Maka, ariflah dalam memberikan subsidi. Berikan kepada yang benar-benar mampu: transportasi massal, industri kecil menengah, dan sepeda motor di daerah yang akses angkutan umumnya belum terjangkau. Dengan cara ini, harapannya selain subsidi BBM bisa ditekan, penggunaan dan kepercayaan terhadap transportasi massal dapat lebih ditingkatkan, penggunaan kendaraan pribadi dapat ditekan, pada akhirnya dapat menjadikan kota-kota besar bebas macet dan bebas polusi, serta mampu meningkatkan taraf ekonomi bagi kalangan menengah kebawah sebagai penggerak industri kecil-menengah.