Rabu, 13 Maret 2013

Sekilas Uji Kompetensi Keprofesian

Segala institusi keprofesian di Indonesia saat ini sedang berlomba-lomba membuat uji kompetensi yang sama dan rata seluruh Indonesia. Kedokteran dan Kedokteran Gigi telah memulainya dengan UKDI dan UKDGI yang baru-baru ini telah di-update dengan CBT (Computer Based Test). Mungkin profesi advokat, kenotariatan, akuntansi, juga telah memulainya. Apoteker akan menyusulnya pada kisaran tahun 2015. Segala yang dilaksanakan tentu ada positif dan negatifnya. Negatif pagi peserta belum tentu negatif bagi pelaksana.
Hal positif yang dilontarkan adalah bahwa dengan adanya uji kompetensi ini akan menjamin setaranya ilmu dan tingkatan yang dimiliki oleh seluruh mahasiswa lulusan profesi. Artinya, semua lulusan profesi (dokter, dokter gigi, dokter hewan, apoteker, akuntan, advokat, dll) akan memiliki kemampuan yang lebih kurang sama di seluruh Indonesia. Positif lainnya adalah adanya suatu standar yang membuat suatu profesi diakui di seluruh Indonesia. Kendala sebelum adanya ujian kompetensi adalah bahwa kadang ada suatu lulusan profesi dari universitas tertentu yang tidak diakui di daerah tertentu. Dengan adanya uji kompetensi ini akan menjadikan semua lulusan profesi yang dapat lulus uji kompetensi ini menjadi 'diakui' di Indonesia. Dan sebenarnya memang Indonesia membutuhkan standarisasi ini, sejak lama.
Namun, dibalik hal positif tersebut, muncul suatu pertanyaan yang dapat menjadi hal negatif untuk uji kompetensi ini. Tentu selain biaya yang boleh dikatakan sangat mahal, hanya menguntungkan kalangan pelaksana uji kompetensi, dan soal-soal yang cukup khayal bagi kalangan tertentu. Uji kompetensi, bertujuan untuk menyamaratakan kemampuan profesi di seluruh Indonesia. Sebenarnya ada suatu hal yang lebih mendasar lagi yang harus diperbaiki ketimbang harus membuat hal baru yang belum tentu kejelasannya ini.
Persamarataan ini tidak dapat diperoleh secara sangat instan, terutama dalam uji kompetensi ini. Pola pikir petinggi negri ini, sekali lagi, sangat instan. Anggapannya, begitu uji kompetensi, maka semuanya sama rata kemampuannya. Padalah, dalam beberapa hal uji kompetensi, bisa jadi belum menunjukkan kompetensi yang utuh. Sebenarnya, daripada menghasilkan uang dengan membuang uang dengan sekedar berandai-andai, ada hal yang bisa diperbaiki. Karena penyamarataan itu harus dimulai dari proses, bukan di akhir. Melalui proses lah, segalanya dapat dijadikan sama rata, termasuk kompetensi keprofesian.
Sudah menjadi rahasia umum ketika setiap universitas memiliki sistem pendidikan yang berbeda-beda pada fakultasnya. Misalnya, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga saja sudah memiliki sistem pembelajaran dan kurikulum yang berbeda dengan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gajah Mada. Sistem yang berbeda, kurikulum yang berbeda, dan aturan main yang berbeda ini yang pada akhirnya menimbulkan ketidaksamarataan antar profesi, meskipun masih sama-sama dalam satu profesi. Muncul kesenjangan antar lulusan universitas pada akhirnya. Sebenarnya, kenapa institusi profesi tidak memilih merevitalisasi kurikulum dan sistem di bidang keprofesiannya saja? Bukankah akan menghabiskan lebih sedikit dana, namun menjadikan hasil yang baik dan sama rata? Apakah karena memang sudah tradisinya gengsi antar institusi harus dibesar-besarkan?
Seharusnya ketika semua sistem dan kurikulum berjalan dengan sama, rata, adil, tidak ada perbedaan tiap universitas, maka lulusan keprofesian pun sudah dipastikan memiliki skil yang sama. Baru kemudian diadakan tes pemantapan kompetensi yang rata seluruh Indonesia. Itu baru adil. Jika Uji kompetensi jaman sekarang, ibarat anak yang diajari makan dan mengunyah secara berbeda-beda oleh ibunya, tiba-tiba pada umur 3 tahun disuruh makan nasi keras. Akibatnya, ya tidak sama rata lagi dan timbul kesenjangan di sana-sini.
Mungkin ini hanya pandangan pribadi saja dan sedikit melihat lebih jauh mengenai uji kompetensi. Karena ibaratnya uji kompetensi hanya sekedar menjadi 'mainan asyik' bagi beberapa pihak saja. Namun tujuan tidak dapat diperoleh. Semoga, keprofesian di Indonesia semakin maju dan semakin fokus pada pelayanan dan performa kinerja yang maksimal. Tak peduli ada atau tidaknya uji kompetensi. Yang penting, semua universitas di indonesia menerapkan sistem dan kurikulum yang sama. Itu cukup untuk menjamin kemampuan profesi.

Dan Segalanya Akan Komersial (di Indonesia)

Mengejutkan adalah ketika melihat kereta-kereta ekonomi yang berjalan di Jawa telah diubah menjadi kereta ekonomi AC. Awalnya biasa saja, bahkan ketika salah satu daerah operasi kereta api menyatakan memang ada kenaikan biaya operasional kereta ekonomi ber-ac, namun tidak serta merta menaikkan tarif kereta api. Ungkapan itu membuat cukup lega. Namun, beberapa hari terakhir hati ini terusik, bahwa layanan kerepa api bertarif Rp 33500,00 untuk tujuan Surabaya Pasar Turi-Jakarta Pasar Senen dan Surabaya Gubeng-Bandung Kiara Condong telah ditiadakan. Ini sebagai salah satu dampak dari penempelan AC ke kereta kelas ekonomi.
Tentu ini sangat mengkhawatirkan. Dan bisa jadi merupakan suatu pembodohan, karena rakyat kecil yang menggunakan kereta ekonomi tidak tahu menahu. Tahu-tahu tarifnya sudah melambung sangat tinggi, bahkan hingga 3-4 kali lipat tarif biasanya. Bisa dipahami, bahwa tarif Rp 33500,00 tersebut karena semua kereta kelas ekonomi (K3 non AC) merupakan kereta yang dibiayai oleh Public Service Obligation (PSO) yang memiliki arti suatu dana bantuan dari pemerintah yang penggunaannya ditujukan untuk berbagai bidang pelayanan kepada masyarakat. Dapat dipahami jika tarifnya akan melonjak karena penggunaan AC Split 2 PK sebanyak 6 buah tiap gerbongnya. 
Dapat dipahami, namun tidak dapat dimaklumi apalagi ditoleransi. Apalagi ada kabar bahwa seluruh kereta ekonomi (K3 dengan PSO) seluruhnya akan dijadikan K3 AC yang tidak lagi mendapatkan PSO. Perlu digaris bawahi, tidak mendapatkan PSO untuk semua jenis K3 AC. Ini akan berarti bahwa tidak ada lagi subsidi bagi kereta ekonomi (yang telah ber AC ini). Artinya lagi, bahwa semua tarif kereta ekonomi jarak menengah-jauh akan naik hingga 3-4 kali lipar tarif normal. Tentu ini memberatkan bagi para penglaju jarang menengah yang biasa menggunakan kereta. Apalagi, tentu penglaju ini bukan kalangan menengah keatas, melainkan menengah kebawah. Mereka harus menanggung beban hingga 4 kali lebih tinggi dari sebelumnya. Ditambah lagi tarif flat jauh dekat yang kian memberatkan. Ironis, PT Kereta Api telah menggeser pangsa pasarnya, dengan hanya melayani orang menengah keatas.
Kemudian, salahkah kalau PT Kereta Api hanya melayani masyarakat menengah keatas? Tentu ini sebuah kesalahan yang terorganisir dengan baik. Mungkin setelah ini akan muncul buku "Orang Miskin Dilarang Bepergian!". Jelas, PT Kereta Api sebagai BUMN (Badan Usaha Milik Negara) melaksanakan sebuah hajat yang menyangkut kepentingan orang banyak, yakni masyarakat Indonesia sendiri. Komersialisasi adalah baik untuk mendapatkan laba bagi perusahaan. Bahwa perlu diingat PT Kereta Api sebagai penyedia jasa layanan transportasi bukan hanya sebuah perusahaan murni yang mencari laba. Ada unsur pelayanan kepada masyarakat disana. Mengurangi PSO itu sangat baik, namun tidak berarti mengurangi pelayanan kepada masyarakat, terutama masyarakat yang menengah kebawah karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah masyarakat menengah kebawah yang masih dalam perjalanan menuju mapan.

Disini pentingnya peran seorang presiden kita yang mulai lemah ini. Ada indikasi hilangnya unsur pelayanan kepada masyarakat kecil. Jelas perlu dilakukan reformasi dari segi transportasi, pangan, kesehatan dan pendidikan disini, negara ini. Dimana pada keempat sektor itu sudah mulai hilanglah segi pelayanan sebuah negara kepada masyarakatnya. Maka, satu pernyataan yg basi saat ini adalah "Jangan bertanya apa yang negara berikan kepadamu, namun berikan apa yang bisa kamu berikan kepada negara". Basi. Ubahlah pertanyaan menjadi "Apa yang negara berikan kepada kami (masyarakatnya)?!" Bahwa Masyarakat sudah berusaha sebaik-baiknya, meski tidak semua, dengan membayar pajak secara tertib dan rajin. Sederhana saja, tidak perlu pajak penghasilan. Bukankah setiap orang telah membayar pajak kendaraan secara rutin? Artinya sudah saatnya masyarakat menuntut haknya.
Tarif transportasi yang mahal panjang efeknya. Jalanan antarkota yang dulu hanya diisi oleh beberapa kendaraan pribadi, banyak bis, dan banyak truk, mungkin kedepannya (bahkan hari ini) semakin padat. Jalanan semakin cepat rusak. Berharap ada orang-orang yang cerdas, tidak sekedar mengaku pandai lulusan universitas terkenal, yang mampu memikirkan hal ini.


Teruntuk PT Kereta Api yang telah mulai menyingkirkan 'pelayanannya' kepada orang miskin. Memang lebih asyik melayani raja daripada melayani kacung. Namun ingat selalu, rakyat kecil juga telah mengabdikan dirinya untuk Indonesia, sekecil apapun itu, patut diapresiasi.