Selasa, 30 Juli 2013

Indonesia di Ambang Kehilangan (1): Terbiasa Dengan Luar Negri

Saya sajikan khusus kumpulan tulisan ini, yang entah akan sampai part berapa. Yang jelas, akan saya sampaikan sampai saya capek menulis. Bukan sampai bangsa ini sadar, karena kalau menunggu sadar, mungkin terburu saya dipanggil Yang Maha Kuasa. Itupun belum sadar juga. Part 1 akan membahas mengenai terbiasanya orang Indonesia dengan luar negri. Hubungannya? Selamat membaca...

Masyarakat Indonesia kini sangat dengan mudah pergi ke luar negri. Pada beberapa kesempatan, Rp 300.000,00 saja sudah cukup untuk pergi-pulang ke luar negri, meskipun sekedar ke Kualalumpur atau ke Singapura. Siapapun, yang rajin buka web milik maskapai penerbangan tentunya, bisa pergi ke luar negri. Pembuatan paspor pun mudah. Apalagi jika hanya ke negara tetangga, tanpa perlu membuat visa dan tetek bengeknya yang ribet, karena negara-negara di Asia Tenggara bebas visa (bahkan di Eropa yang tergabung dalam Schengen (atau apalah itu namanya), cukup 1 visa saja bisa pergi ke semua negara yang tergabung dalam schengen). Sangat mudah. Lantas, apa hubungannya dengan masa depan Indonesia?
Tidak jarang sindiran-sindiran disampaikan. Salah satunya adalah seorang dosen saya, yang saya rasa benar juga perkataannya:

"Buat apa sih buang-buang sampai juta-jutaan buat ke luar negri kalau cuma mau melihat pemandangan alam saja? Tuh, di Sulawesi, Kalimantan kalian nggak perlu habis sampai berjuta-juta. Pemandangannya jauh lebih indah daripada di luar negri sana. Di Indonesia aja ada, ngapain jauh-jauh keluar?"

Kalimat terakhir "Di Indonesia aja ada, ngapain jauh-jauh keluar?" merupakan sebuah kalimat yang menunjukkan keprihatinan yang sangat tinggi, terhadap generasi yang ada saat ini. Ke luar negri seolah-olah sudah menjadi trend, dan kalau belum pernah ke luar negri dianggap kuper. 
Pergi ke luar negri sudah bukan lagi merupakan suatu hal yang mewah. Alih-alih menjadi hal yang mewah, ke luar negri hari ini telah menjadi kebiasaan: shopping ke luar negri, dengan alasan murah di luar negri padahal endingnya hampir sama juga; berobat ke luar negri, padahal pun di Indonesia sudah ada teknologi yang hampir sama dengan di luar negri; berkuliah di luar negri, dengan alasan biayanya sama saja padahal berbondong-bondong orang luar negri kuliah di Indonesia; tinggal di luar negri dengan alasan Indonesia sudah tidak nyaman lagi; hingga akhirnya menjadi warga negara asing di negri sendiri dengan alasan enak jadi warga negara di negara barunya dapat fasilitas macam-macam mulai dari tunjangan hidup sampai tunjangan punya anak. Memang saat ini hanya orang-orang yang tergolong berduit atau punya prestasi di bidangnya yang berpikiran demikian. Namun, percaya tidak percaya, obrolan seperti ini telah merembet ke kalangan ibu-ibu muda di kampung-kampung pinggir perkotaan: membiarkan anak, sanak-keluarganya terbiasa dengan luar negri. Berbahaya kah? Sangat berbahaya!
Di sisi lain, katanya, kita harus go internasional. Di sisi lainnya lagi, go internasional, tanpa dilandasi jiwa nasionalisme yang kuat dan bela negara yang baik, akan menjadi bumerang bagi kita sendiri. Terlena dengan kondisi di luar yang teramat sangat jauh lebih baik (bayangkan, tetangga saya kerja part time cuci piring di rumah makan cepat saji saja bisa membiayai kuliah S2nya), lalu melihat kondisi negeri yang carut marut ini kemudian enggan untuk kembali. Kemudian memilih mengabdi ke negara lain, ujung-ujungnya jadi warga negara, kemudian jadi terasing di negeri sendiri.
Ketika semua orang berpikiran go internasional itu baik. Namun menjadi buruk dan mengerikan ketika semua berpikiran sama: setelah pintar dan dapat ilmu dari negara lain, lalu pergi dari Indonesia dan jadi pecundang di negri sendiri. Alasan apapun sebenarnya tidak bisa dipergunakan sebagai pembenaran pergi dari Indonesia, apalagi memang warga asli Indonesia. Dibesarkan, menikmati fasilitas yang disediakan oleh pemerintah (sekolah, terminal, stasiun, bandara, bahkan buku pelajaran sekalipun), makan dan minum dari sumber daya yang ada di perut bumi di Indonesia, tinggal dibawah naungan rumah yang pasirnya dikeruk dari perut bumi Indonesia, namun sekonyong-konyong setelah 'dewasa', namun belum matang dalam hal nasionalisme, lalu pergi begitu saja karena diiming-imingi sesuatu yang lebih enak. 
Saya rasa, kita semua yang sudah bisa berpikir secara rasional sudah bukan balita lagi yang ketika diiming-imingi sesuatu yang lebih enak lalu pergi menghampirinya dan menetap disana. Kita sudah dewasa! Kita dilahirkan di Indonesia bukan sekedar untuk memenuhi permukaan daratan Indonesia, ada misi khusus yang diberikan kepada kita: memperbaiki kondisi bangsa ini. Tidak tua tidak muda, semuanya memiliki tugas yang sama. Bukan saatnya yang tua berkata, "memperbaiki bangsa ini adalah tugas yang muda."; bahwa yang tua yang masih bisa bekerja dan produktif, memiliki tugas yang sama dengan yang muda untuk memperbaiki bangsa ini. Bukan saatnya pula yang muda berkata, "ini karena generasi terdahulu seperti ini, jadi kita ngikut saja."; generasi muda adalah generasi pembaharu: maka tugasnya adalah memperbaharui segala yang buruk dan menciptakan kebenaran-kebenaran di tengah masyarakat. Bukan menciptakan 'pembenaran-pembenaran' baru yang akan semakin merusak tatanan masyarakat.
Tidak ada alasan bagi yang sudah sekolah tinggi lalu ingin meninggalkan Indonesia dengan alasan 'ditolak di negri sendiri'. Justru ketika benar-benar meninggalkan Indonesia dengan alasan seperti itu, sesungguhnya Anda telah menjadi 'pecundang di negri sendiri' yang kemudian akan menjadi 'asing di negri sendiri'. Cara untuk maju tidak harus melalui negara, dan kadang memang negara tidak perlu ikut campur. Ketika memang kreatif, jalan sendiri harus ditegakkan. Kenapa harus menunggu negara ketika negara diam?
Bukan saatnya lagi masing-masing dari kita harus go internasional sendiri-sendiri; muncul lalu hilang karena kalah dengan yang lain. Saatnya semuanya kembali bergandengan tangan, menyatukan lagi keinginan untuk go internasional, namun untuk Indonesia. Jangan lagi kita buat Indonesia kehilangan anak-anak terbaiknya. Biarlah kita menjadi anak-anak terbaik untuk membangun Indonesia menjadi negara yang terbaik.

Jumat, 19 Juli 2013

Kegagalan Diri Menciptakan Keamanan Merajalela

Rumah mewah dengan pagar tinggi dilengkapi dengan anjing penjaga sejenis herder, terrier, pit bull, dan buldog, masih disertai dengan satpam yang sangar dan siap mati sepertinya menjadi trend akhir-akhir ini. Orang-orang kaya beramai-ramai membuat rumah dan melengkapi rumah dengan piranti keamanan super ketat. Fenomena yang patut diamani, dan perlu menjadi refleksi mendalam bagi kita yang melihatnya: bahwa orang-orang yang tidak mampu mewujudkan rasa aman dalam dirinya dan keluarganya sudah mulai bermunculan.
Rumah mewah berpagar tinggi disertai satpam dan anjing penjaga merupakan sebuah cerminan manusia yang sudah tidak mampu lagi mewujudkan rasa aman di dalam dirinya. Rasa aman di dalam dirinya saja sudah tidak ada, bagaimana ia akan mampu mewujudkan rasa aman bagi keluarganya. Sayangnya, pagar dan tembok tinggi, anjing penjaga yang garang, dan penjaga yang siap mati pun tidak akan pernah mampu memberikan rasa aman bagi yang tinggal di dalam rumah tersebut. Yang ada hanyalah rasa semakin terkungkung tidak bisa menikmati dan memandang dunia luar dengan bebas, menjadi asosial karena oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai orang yang 'tertutup', dan semakin jauh dari rasa aman karena semakin menarik rasa penasaran dari maling-maling (bahkan ada teori permalingan, semakin tinggi pagar/tembok rumah, maka semakin mewah/banyak barang yang bisa dimaling).
Sedikit menilik ke desa-desa, sangat jarang rumah di pedesaan yang memiliki pagar yang tinggi, apalagi penjaga yang garang. Mungkin beberapa punya anjing yang dibiarkan bebas berkeliaran di pekarangan. Rumah-rumah yang ada pun kebanyakan jendelanya tidak dilengkapi dengan teralis besi yang kokoh; hanya ada sehelai gordyn yang digunakan menutup jendela ketika malam tiba. Rata-rata penduduk desa mampu saling menciptakan rasa aman, terutama bagi keluarganya masing-masing, dan lebih luasnya lagi bagi seluruh penduduk desa dalam kehidupannya sehari-hari. Maka, tidak heran ketika melihat kehidupan masyarakat desa yang biasanya lebih segar, lebih sumringah, dan lebih akrab satu sama lainnya bila dibandingkan dengan kehidupan di perumahan-perumahan mewah. Di desa, antar tetangga saling mengenal, bahkan yang rumahnya jauh sekalipun. Di komplek mewah, jangankan tetangga selisih 2 rumah, tetangga sebelah rumah saja belum tentu saling mengenal.
Rasa aman itu diciptakan dari diri sendiri. Lengkap dengan segala macam hal yang pernah kita lakukan di masa lalu. Berbuat kebaikan di masa lalu, masa kini, dan masa depan adalah sebuah investasi jangka panjang. Kebaikan yang kita lakukan kepada semua orang membuat rasa aman di dalam diri kita sendiri. Ketika rasa aman dalam diri kita sendiri sudah terbentuk dan terjaga dengan baik, maka memberikan rasa aman kepada keluarga adalah suatu hal keharusan. Dengan membuat seseorang menjadi musuh atau memperlakukan orang lain tidak dengan semestinya pun sudah merupakan tabungan untuk membuat masa depan Anda menjadi tidak aman. Maka, hampir bisa dipastikan, jika Anda menemui rumah dengan pagar tinggi, penjaga yang garang, kadang disertai anjing yang seram biasanya pemilik rumah tersebut memiliki permasalahan, musuh, atau melakukan sesamanya dengan buruk di masa lalunya. Meskipun tidak 100% benar, namun mungkin demikian.
Memilih yang manakah Anda? Tinggal berdekatan dengan masyarakat dengan rumah dan pagar yang biasa-biasa saja namun bisa tercipta rasa aman dan saling melindungi, atau membangun rumah dengan tembok tinggi-tinggi dan penjaga yang sangar biar tetangga sekitar tidak ada yang mau mendekat tapi hidup selalu dipenuhi dengan ancaman dan ketakutan? Saya harap Anda semua memiliki yang pertama, demi kelangsungan sosia Anda yang lebih baik.

Jumat, 12 Juli 2013

Sopan Kepada Siapapun : Sebuah Pelajaran dari Pak Hansip Komplek

Cuaca di Terminal Bungurasih masih hujan rintik-rintik setelah sejak 3 jam sebelumnya hujan deras disertai angin. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.05. Sepeda motor segera saya hidupkan, dan bergegas pulang ke kos di daerah Dharmahusada, 12 km dari terminal Bungurasih. Perjalanan lancar, meskipun sampai Taman Bungkul ternyata kering kerontang; Surabaya Kota tidak hujan sama sekali. Dari Dharmahusada lekas berbelok ke kanan masuk komplek Mojoklanggru. Dugaanku, pasti gerbang blok F sudah ditutup karena sudah lebih dari jam 12 malam. Apalagi cuaca tidak hujan. Ternyata benar, gerbang sudah dikunci. Langsung saya mencari satpam di blok sebelah, karena memang beliau biasa tidur di pos sebelah. Ternyata, beliau tengah standby di atas sepeda motornya di pinggir jalan dan langsung menanyai saya

"Mau kemana mas?"
"Oh, Blok F Pak. Saya mau ke Blok F"
"Sampeyan warga Galaxy bukan? (Perumahan Galaxy Bumi Permai, sebuah perumahan eksklusif di ujung Blok F ini)"
"Oh, bukan Pak, saya ngekos di nomer 6."

Ketika itu ada sebuah mobil berwarna hitam lewat dan nampaknya akan berbelok ke blok F juga.

"Sik ya mas, sebentar. Itu ada orang Galaxy. Biarin dulu aja Mas. Kami (tim keamanan kampung) agak nggak suka mas dengan warga Galaxy."

Kami bergerak perlahan ke depan Blok F. Dan Pak Hansip langsung menghampiri mobil tersebut. Si pengemudi, perempuan, mencak-mencak ke Pak Hansip karena gerbang ditutup. Dan Pak Hansip menjelaskan, kalau warga Galaxy kuncinya dibawa oleh satpam perum Galaxy sendiri. Meskipun sebenarnya Pak Hansip juga membawa kunci gerbang Blok F tersebut (untuk masuk perum Galaxy tersebut harus lewat gerbang Blok F dan gerbang perumahan Galaxy). Jadilah si pengemudi mengklakson keras-keras dan menyalakan dim agar satpam perumahan, yang berjarak 500 meter dari gerbang Blok F, mau datang dan membukakan gerbang tersebut.

Usut punya usut, setelah mengobrol beberapa saat dengan Pak Hansip, ternyata warga sekitar (termasuk perangkat RT), dan satpam perumahan tidak suka dengan tingkah laku para penghuni perumahan. Meskipun saya yakin bahwa itu pun sikap sebagian warga, bukan seluruh. Warga perumahan sangat sombong, angkuh, jarang menyapa, tidak menghargai, dan bahkan jarang berterima kasih, bahkan kepada hansip yang sekedar membukakan gerbang malam-malam. Salah satu penyulut kebencian itu berawal sekitar 2 bulan lalu, ketika warga di blok F non perumahan kehilangan mobil dan sistem keamanan lebih diperketat dengan pemberian gerbang baru yang ditutup mulai jam 00.00 sampai pukul 04.30. Namun, adanya sistem baru itu tidak ditanggapi baik oleh warga perumahan. Justru ada yang dengan arogansinya bahwa ia adalah anggota TNI, kemudian akan menyerang pihak keamanan kampung jika memang gerbangnya ditutup pada jam tertentu tersebut. Belum lagi arogansi dari penghuni perumahan lainnya yang selalu marah-marah ketika pulang lebih dari pukul 00.00 ketika gerbang sudah ditutup. Mereka merasa membayar jasa kemanan, tapi sayangnya pihak perumahan tidak mengurus jasa keamanan ke kampung.

Memang menjadi penghuni perumahan eksklusif adalah dambaan semua orang. Dianggap kaya, mapan, dan bisa melakukan semuanya sendiri. Bahkan, mungkin kalau mati pun tinggal menghubungi jasa pemakaman jenazah saja sudah tinggal 'ngglundhung'. Tapi, tentu sebaiknya hubungan dengan warga sekitar harus tetap dijalin. Mentang-mentang merasa kaya, kemudian merasa 'jijik' jika kumpul dengan warga sekitar (dan ini sudah menjadi sindrom orang-orang yang tinggal di perumahan). Jangankan berterima kasih, melempar senyum atau menyapa pun tidak pernah. Manusia sebagai manusia sosial, selalu akan butuh manusia lain. Siapapun itu, apapun itu. Memang dalam satu waktu, kita tidak membutuhkan orang tersebut. Tapi di kemudian hari, justru kita sangat membutuhkan orang tersebut. Waktu terus berjalan, dan segalanya bisa berbalik.

Melempar senyum, tegur sapa, bertingkah laku sopan dan menghargai orang lain, serta srawung (bergaul) menjadi pelajaran penting hari ini. Siapapun Anda, setinggi apapun derajad Anda, jika Anda bisa menjadi orang yang benar-benar 'manusia' dan 'memanusiakan manusia', nilai Anda lebih tinggi di mata masyarakat dibanding pejabat kelas manapun. Selamat dini hari, selamat sahur dan menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya, selamat beristirahat bagi yang akan mulai tidur.


Rabu, 03 Juli 2013

Mimpi (yang Sia-Sia)

Baru saja aku bermimpi
Dalam tidurku yang cukup panjang

Indonesia memiliki pemerintahan yang bersih
Tertata dan bebas korupsi kolusi nepotisme
Pemimpin dengan integritas yang baik
Kaya, miskin bisa duduk di kursi pemerintahan

Semua pertambangan milik asing di Indonesia
Telah diakuisisi oleh Indonesia
Menjadi sumber daya yang hakiki
Dipergunakan demi kemakmuran masyarakat Indonesia
Seutuhnya

Pengangguran di Indonesia dengan mudah memperoleh pekerjaan
Berjuta-juta ladang pekerjaan dibuka oleh pemerintah
Sektor agraria mulai tumbuh kembali
sebagai ciri khas Indonesia
Tidak ada lagi petani, pegawai kebun, dan nelayan mengeluh
Tidak punya pekerjaan

Sumber bahari di Indonesia dikelola dengan arif dan bijaksana
Lepas dari tangan-tangan asing dan tangan-tangan jahil
Yang berusaha merubah lautan menjadi ladang minyak tumpah

Orang miskin di Indonesia memiliki jaminan kehidupan
Jaminan kesehatan, jaminan sosial dan kemasyarakatan,
Jaminan pendidikan hingga menjadi sarjana
Beasiswa bagi orang miskin yang melimpah
Meskipun biaya kuliah cukup tinggi
Juga jaminan tempat tinggal yang layak
Rusunawa lebih banyak didirikan daripada apartemen
Penghuni rusunawa tak lagi kaum bermobil
Namun orang miskin yang benar-benar membutuhkan

Pembangunan di Indonesia berazaskan budaya asli Indonesia
Tidak terpengaruh terhadap budaya barat
Mall tidak ada dimana-mana
Namun ada pasar yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
Gedung tinggi menjulang tidak ada
Namun berganti dengan bangunan-bangunan corak khas Indonesia
Yang jauh lebih ramah lingkungan

Indonesia memiliki sistem transportasi massal
Yang murah, bisa menjangkau semua kalangan
Tanpa adanya liberalisasi perusahaan
Melainkan negara juga turut menanggung
Transportasi massal bukan milik kalangan tertentu
Sistem transport yang terarah
Sehingga kendaraan pribadi kian minim di jalanan
Masyarakat Indonesia mulai malu menggunakan kendaraan pribadi

Tidak ada konflik yang terjadi
Baik karena ras, suku, dan agama
Konflik agama tidak ada
Sehingga bisa beribadah dengan tenang
Tidak ada pembatasan agama/kepercayaan dalam kependudukan
Tidak ada perusakan tempat ibadah, tidak ada saling mengganggu antar umat

Sistem pendidikan yang lebih rapi
Menjamin lulusan yang berkualitas
Tidak hanya di mata negri
Namun di mata luar negri jua

Ekonomi mikro dan ekonomi makro berkembang secara beriringan
Dipandang oleh negara luar
Namun kondisi dalam negri tetap stabil, tidak carut marut

Aku terbangun dari mimpi
Aku tersadar bahwa semuanya hanya utopis
Mimpi
Masih banyak PR bagi Indonesia
Yang mungkin akan dibebankan kepada kita
Yang katanya 'generasi penerus'
Padahal sesungguhnya yang diperlukan
Adalah 'generasi pembaharu'
Untuk melakukan semuanya itu

Sebaiknya aku melanjutkan tidur saja
Agar mimpi indah ini tetap terjaga
Dan hidup dalam pikiranku sendiri
Meskipun sebenarnya aku telah mati

Mojoklanggru Kidul, 03 Juli 2013
Untuk Indonesia yang krisis tiada berakhir
Kaum muda, kapan kita bergerak? Masih sibuk sama urusan pribadi?

Selasa, 02 Juli 2013

Pluralisme Bukan Musuh, Bukan Juga Virus!

"....Generasi Muda....Melawan Virus SEPILIS (SEkularisme, PluralIsme, dan LIberaliSme)"

Setidaknya demikian isi spanduk yang intinya merupakan undangan salah satu acara keagamaan salah satu wilayah. Spanduk ini terpampang dengan jelas di sebuah perempatan di Jl Wonosari sekitar km 7 (perempatan sebelah barat Kids Fun), Jogjakarta. Intinya, spanduk tersebut menyebutkan tema generasi muda melawan virus SEPILIS (SEkularisme, Pluralisme, LIberaliSme). Ada yang aneh? Ada, dan keanehan ini sangat berbahaya. Dan saya terkaget-kaget ketika melihatnya. Walaupun saya melihat secara tidak sengaja dan saya amati selama lampu merah menyala (maaf tidak sempat memotret).
Wajar ketika banyak orang menganggap bahwa sekularisme dan liberalisme sebagai 'musuh bebuyutan'nya. Meskipun pada dasarnya dua hal tersebut jika ditelaah lebih dalam memang mengandung unsur positifnya. Contoh, sekularisme. Sekularisme sendiri secara singkat adalah sebuah paham yang menginginkan suatu institusi berdiri secara terpisah dengan agama. Atau secara singkatnya lagi adalah paham yang menginginkan agar negara dan agama terpisah satu sama lain. Sekularisme tidak sepenuhnya buruk. Negara yang dicampuradukkan dengan agama. contohnya adalah Indonesia. Kelemahannya adalah, satu agama dianakemaskan dan agama/kepercayaan lain dianaktirikan, bahkan beberapa ditindas. Contoh lainnya, liberalisme. Liberalisme berasal dari kata liberal, artinya lebih kurang bebas, terbuka. Liberalisme identik dengan persamaan hak.
Pluralisme? Ada yang salah dengan pluralisme? Menjadikan pluralisme sebagai musuh sebenarnya adalah suatu paham yang keliru. Tidak lagi keliru, melainkan berbahaya. Lebih berbahaya daripada massa yang merobohkan gereja atau vihara. Menjadi tanda tanya besar, kenapa acara keagaam dengan mengambil tema yang sangat berbahaya ini diijinkan mengadakan kegiatan yang sangat berbahaya bagi integritas berbangsa dan bernegara? Polisi buta dan masyarakat tidak tahu? Padahal ada beribu-ribu pasang mata yang lewat jalan tersebut, dan sama sekali tidak menyadari kata-kata yang begitu berbahaya dan provokatif itu? Bahwa sesungguhnya, pluralisme bukan virus, bukan penyakit yang selayaknya ditangkal dengan vaksin atau dimusnahkan. Pluralisme menjadi satu-satunya simbol yang bisa dibanggakan dari Indonesia ini: Bhinneka Tunggal Ika.
Mengerikan ketika pluralisme dianggap sebagai 'musuh' (virus dalam dunia kedokteran adalah musuh dari manusia karena dapat menimbulkan berbagai macam penyakit). Artinya, penyeragaman mulai mendekati kenyataan ketika acara-acara semacam ini diperlihatkan secara jelas dan gamblang kepada masyarakat. Tidak heran jika wacana-wacana 'penyatuan' yang begitu getol ini terlaksana dengan mulusnya: karena mereka menganggap bahwa pluralisme adalah musuh. Pandangan 'tidak boleh ada pluralisme di dunia ini' adalah SALAH BESAR dan pandangan anak SD yang harus dihapuskan.
Menganggap pluralisme sebagai musuh bisa jadi tidak mengherankan bagi kita yang tahu betul bagaimana dinamika di Indonesia tercinta ini. Pendidikan memainkan faktor penting mendirikan mindset 'tidak boleh ada pluralisme' kepada generasi muda. Dari TK sampai SMA kita mengalaminya. Semua siswa diwajibkan menggunakan seragam, alasannya supaya tidak ada perbedaan, supaya semuanya sama. Hal itu merupakan salah satu bentuk peniadaan pluralisme di lingkungan anak-anak. Semua harus terlihat sama, dengan alasan kompak. Padahal kompak tidak melulu dari seragam. Kedua, semua siswa diwajibkan pintar di sekolah. Memang pintar sebuah kewajiban, namun semua kemudian diseragamkan jika si A mendapat nilai bagus, si B,C,D, dan seterusnya pun juga harus, tanpa memperhatikan kemampuan si B,C,D tidak di bidang tersebut. Belum lagi ada beberapa sekolah yang tidak menganggap seorang siswa sebagai alumni dari sekolah tersebut karena siswa tersebut bodoh dan nilainya pas-pasan. Ini baru segi pendidikan, belum segi yang lainnya.
Permasalahan ketidaksetujuan terhadap pluralisme ini menjadi harga mutlak untuk disebut sebagai 'gerakan yang berbahaya'. Indonesia tidak lagi dipersatukan, tapi disatukan. Satu, semuanya sama. Dipersatukan artinya lebih pada berbagai golongan yang dibuat kondisinya sedemikian rupa memiliki pandangan dan tujuan yang sama. Sedangkan disatukan, lebih identik dengan membuat yang berbeda menjadi sama semuanya dengan mengubah yang telah ada.
Masyarakat yang sudah terlanjur congok karena kebanyakan pekerjaan dan beban kehidupan ini menjadi berotak kosong. Kemudian otak-otak kosong ini bisa dengan mudah diisi dengan kesesatan-kesesatan pikir seperti ini. Sadar atau tidak sadar, sebagai generasi muda, tindakan memusuhi pluralisme sangat berbahaya. Lebih berbahaya daripada Ahmadiyah dan Syiah. Lebih berbahaya daripada terorisme, karena terorisme yang sesungguhnya adalah tindakan memecah belah dan membuat disintegrasi bangsa. Perkumpulan agama apapun jika mengajarkan pluralisme adalah musuh, maka sekumpulan orang tersebut sudah benar-benar menyimpang terhadap tujuan dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tugas siapa? Tugas kita orang muda yang paham mengenai hal tersebut. Mari kita laporkan ke pihak terkait jika memang ada kegiatan-kegiatan yang menyimpang. Untuk negara, sudah saatnya kita memegang teguh Pancasila dan UUD 1945. Bukan kitab masing-masing agama/kepercayaan yang ada di Indonesia ini. Indonesia adalah negara kesatuan, bukan negara agamis. Lebih banyak hal yang bisa menjadi musuh bersama, daripada memusuhi pluralisme.