Rabu, 29 Juni 2011

Menjadi Diri Sendiri itu Baik

Tulisan ini terinspirasi dari obrolan dengan seorang dosen Fakultas Farmasi Unika Widya Mandala beberapa saat lalu.

"Aku iki yo koyo ngene iki. Onoku yo koyo ngene iki. Nek gelem karo aku yo ayo, nek ora gelem yo wis, ra sah maido"

Kalimat ini yang saya ucapkan ketika ngobrol dengan kolega saya yang seorang dosen. Ketika itu sedang ngobrol mengenai masalah prinsip hidup dalam pertemanan. Lebih kurang artinya :

"Aku ini ya seperti ini. seperti ini adanya. Kalau mau dengan aku, ya mari. Kalau tidak mau ya sudah, dan jangan dicibir/dicela/dicerca"

Sebenarnya maknanya lebih banyak mengajak menjadi diri sendiri. Bahwa menjadi diri sendiri itu sangat lebih enak, terutama dalam berbagai hal. Banyak orang yang tiba-tiba merubah diri hanya karena suatu hal. Terutama terbesar dalam masalah berteman dan dalam mencari pacar atau pasangan hidup. Tapi, percayalah bahwa jika kalian benar-benar menjadi diri kalian sendiri dan tidak terpengaruh oleh apapun, kalian tetap memegang idealisme kalian sendiri, kalian tetap menjadi diri sendiri yang hakiki, maka teman yang mau menerima kalian adalah benar-benar teman sejati. Dan pasangan hidup yang mau menerima kalian adalah pasangan hidup yang juga benar-benar sejati, karena mau menerima kalian apa adanya seperti kalian saat itu saat berada di depan matanya. Terkecuali kalau pertemanan dan hubungan cinta itu berlandaskan dengan uang. Lain lagi ceritanya :D

Pemandulan itu Berasal dari Kita Sendiri

Terdengar berbagai kabar miring mengenai dimulainya pemandulan umat-umat Katolik di Indonesia. Entah itu melalui universitas maupun melalui lembaga lain yang mulai banyak menyingkirkan umat Katolik secara perlahan-lahan. Salah satu universitas negri di Jawa Timur sudah mulai nampak memecah belah persatuan mahasiswa Katolik sendiri, secara kasarnya bisa dibilang demikian. Juga beberapa undang-undang, salah satunya adalah Undang-Undang Sisdiknas yang semakin menggencet keberadaan sekolah-sekolah Katolik. Sebenarnya ancaman yang demikian ini tidak seberapa menakutkannya bila dibandingkan dengan kenyataan yang ada di dalam gereja sendiri. Bahwa perlu banyak diketahui bahwa pemandulan itu sendiri, yang sangat menakutkan, justru terjadi dari dalam gereja sendiri, melalui umat-umatnya dan bahkan melalui gerejanya sendiri.
Mungkin kalimat terakhir paragraf diatas sangat mengejutkan dan banyak yang tidak terima. Tapi itulah kenyataannya. Pemandulan saja sudah mulai terlihat di berbagai sekolah, mulai jenjang SMP sampai dengan SMA. Di sekolah-sekolah negri, terutama, sudah diadakan pelajaran Agama Katolik. Tapi yang terjadi, justru kebanyakan jam pelajaran adalah jam kosong yang tidak diisi dengan pelajaran agama. Jika ada yang mengisi pun, tidak pernah menyerempet menyenai ajaran-ajaran Agama Katolik sendiri, justru basisnya lebih berada pada religiositas yang mengutamakan interaksi antar umat beragama dan masalah yang dipandang dari berbagai sudut agama. Begitu juga dengan sekolah-sekolah swasta Katolik yang seharusnya banyak menanamkan ajaran Katolik, justru menggantinya dengan Religiositas. Apa relevansinya dengan pemandulan umat Katolik sendiri? Masa-masa SMP dan SMA merupakan masa yang sangat rentan. Bahasa umum mengatakan bahwa masa-masa tersebut adalah masa yang sangat labil. Pertengahan antara akan ditinggalkannya masa-masa anak-anak dan akan masuk pada masa dewasa. Kecenderungan yang terjadi, apa yang ditanamkan pada masa anak-anak akan mulai dilupakan dan ditinggalkan. Penanaman kembali pedagogis dalam masa-masa labil ini sangat penting. Apalagi mengingat penanaman akan ajaran gereja pada anak-anak sudah mulai merosot (yang mana ini merupakan akibat perubahan di berbagai sisi mental anak-anak yang dewasa lebih cepat). Maka, ajaran pedagogis agama Katolik pada masa-masa tersebut sangatlah diperlukan. Akibatnya, saat ini pemahaman remaja terhadap iman dan ajaran agama Katolik sendiri menjadi lemah. Cek saja secara random kepada anak SMP-SMA yang beragama Katolik. Ketika ditanya siapakah Yesus Kristus? tentu jawaban mereka tidak akan lebih dari satu doa Aku Percaya syahadat singkat, dan mereka tidak tahu menahu lebih dalam. Boro-boro ditanyai mengenai Tri Tunggal Mahakudus. Mengenai peristiwa dalam Rosario saja mereka belum tentu tahu. Sebenarnya ada banyak sekali yang perlu diajarkan. Dimulai dari yang terkecil saja, mengenal santo-santa pelindung mereka, siapa Yesus, Bunda Maria, Tri Tunggal Mahakudus, mengenai liturgi, bahkan mengenai Hukum Kanonik secara garis besar. Ini tidak diajarkan pada masa-masa tersebut. Ya wajar saja ketika pengetahuan dan pendalaman iman terhadap agamanya sendiri saja masih sangat rendah, mereka akan sangat mudah berpindah keyakinan. Bahkan fenomena yang banyak terjadi adalah berpindah keyakinan karena 'kecanthol' pasangannya yang berbeda keyakinan. Ini sebagai sebuah dampak dari tidak kuatnya pemahaman pedagogis Agama Katolik sendiri.
Yang kedua pelemahan itu timbul dari umat-umat Katolik sendiri. Umat Katolik mau pergi ke gereja kalau hanya ada acara makan-makannya atau bila hanya ada musik yang ngejreng dan meriah, tanpa mendiskreditkan suatu aliran tertentu dalam gereja, mengutip dari Kothbah Romo Zen dalam peresmian rumah Dokter C. Ini juga merupakan sebuah pemelencengan makna yang sangat berbahaya. Umat Katolik hadir ke gereja tidak lagi merindukan kehadiran Yesus Kristus yang sudah memberi mereka kehidupan. Mereka datang ke gereja karena lapar, karena ingin cuap-cuap dan bergosip ria dengan kawan-kawannya, mereka datang hanya ingin mendengarkan suara musik yang meriah dan berjoget. Jika demikian, esensi sebuah gereja akan berubah. Gereja tidak akan lebih dari sebuah pasar malam yang menghadirkan bintang tamu dangdut koplo OM Sera! 
Sebelum mengkritisi keluar, tentu mengerikan melihat ke dalam diri kita sendiri. Keresahan kita selama ini hanya melihat diluar saja sementara di dalam kita sudah mengerikan. Seperti ketika kita melihat borok yang berada di kulit, tapi ternyata nanah sudah tertimbun dengan banyaknya di balik borok tersebut. Luarnya memang mengerikan, tapi dalamnya lebih mengerikan lagi. Saya hanya meyakini satu hal saja terhadap kondisi seperti ini. Ketika pembangunan mental dan spiritual muda-mudi Katolik benar-benar berhasil, maka niscaya berbagai ancaman pemandulan agama kita ini dari luar akan sangat dengan mudah ditaklukkan. Maka, peran serta berbagai organisasi muda-mudi Katolik, PIA, Misdinar, Mudika, KMK, dan tentu tak lepas dari peran orang tua yang membimbing anak-anaknya. Bahwa idealisme organisasi tersebut dan idealisme orang tua untuk menegakkan kembali keimanan Katolik sangat diperlukan, untuk kelangsungan hidup menggereja di Indonesia sendiri. 

Senin, 27 Juni 2011

Kata Orang Tua, Itulah Kebenarannya

"Apa yang dikatakan orang tua, tak hanya ayah dan ibu tapi juga orang lain, tentang dirimu pastilah benar, meskipun tidak 100% benar"

Kebanyakan anak muda akan memalingkan wajahnya atau bahkan mengumpat-umpat ketika ada orang tua memberi tahu kita tentang suatu hal. Baik ketika kita melakukan kesalahan, maupun ketika kita berbicara biasa dengan orang tua tersebut. Terkadang pula kita justru membalas berbagai kalimat yang sudah dilontarkan orang tua tersebut sebagai sesuatu hal yang basi, 2011 masih bicara seperti itu, beda zaman, dan lain sebagainya. 
Percayalah, bahwa sesungguhnya apa yang dikatakan oleh orang tua kepada kita, sebenarnya banyak benarnya daripada salahnya meskipun tidak 100% benar. Bukan perkara kolot atau ketinggalan zaman. Tapi apa yang dikatakan oleh orang tua menjadi benar karena pengalaman yang telah diperolehnya. Pengalaman pasti akan lebih menang daripada sebuah ilmu pengetahuan, meskipun kedua-duanya sangat berarti dan saling berkaitan. Bahkan suatu pepatah mengatakan bahwa suatu yang paling berharga adalah pengalaman. Seorang tukang gali sumur dengan jam terbang tinggi saja dapat mengalahkan seorang geolog ketika sama-sama menggali sumur. Orang yang sudah tua pasti pernah muda, pernah seperti kita yang sedang mengalami masa muda. Pernah mengalami yang namanya menyontek, pernah mengalami yang namanya lagi 'ndugal-ndugal'nya. Tentu mereka lebih tahu daripada kita.
Yang perlu dilakukan ketika ada orang tua berkata sesuatu kepada kita, entah itu nasehat atau teguran, hanyalah kita perlu mendengarkannya dengan seksama. Cernalah terlebih dahulu, jangan langsung ditimpali. Ketika orang tua tersebut menyampaikannya dengan penuh emosi dan amarah, diamlah terlebih dahulu, jangan langsung ditimpali. Setelah orang tua tersebut puas menyampaikan isi hatinya, timpalilah. Dengan demikian, tidak perlu lagi mengatakan orang tua itu kolot, kuno. Dengan demikian pula, kita dapat belajar menghargai dan menghormati orang yang lebih tua.

Rabu, 22 Juni 2011

Mengutip Kata Romo Zen : Menuju Kehancuran Gereja

Sebuah kothbah yang benar-benar menggelitik, ketika Romo Sen-seorang romo di Surabaya- yang ketika itu mempimpin misa pemberkatan rumah. 

"Maunya kalau ke gereja hanya bila ada perayaan atau pesta tertentu. Ada hura-huranya sedikit, langsung mau ke gereja..."

Sebuah pernyataan yang begitu menggelitik, tentu bagi kalangan Katolik di berbagai belahan Indonesia. Tentunya keprihatinan yang dirasakan oleh masing-masing gereja dan masing-masing paroki di Indonesia adalah sama yakni bahwa umat hanya mau pergi ke gereja jika ada pesta-pesta tertentu. Katakanlah tidak harus pesta dalam artian yang sesungguhnya atau Paskah dan Natal. Pesta yang dikatakan Romo Zen lebih pada pesta yang kaitannya dengan urusan ragawi, seperti makan-makan, ada sedikit hura-hura, dan tanpa bermaksud mengkritik aliran tertentu, misa yang sebegitu meriahnya dan meninggalkan kesan sakral dengan musik yang keras, hingar bingar, dan penuh hura-hura.
Perkataan Romo Zen memang benar adanya. Umat di gereja saat ini lebih senang mengikuti misa bila setelah misa diadakan pesta kecil-kecilan, apalagi yang ada makanannya. Ambil contoh saja di sebuah paroki. Gereja paroki ini sedemikian sepi jika diadakan misa lingkungan. Paling pol mentok ketika misa jumlah umatnya hanya memenuhi bagian dalam gereja saja. Tapi, ketika ada pesta yang sangkut pautnya dengan makan-makan, umat yang datang akan sangat berjubel, meskipun tujuan utamanya bukan misa. Dan tentu yang terjadi kemudian adalah ketika makanan habis, semua umat akan pulang dengan bahagia, bahkan sebelum acara inti dilaksanakan.
Demikian juga dengan ekaristi yang dipenuhi musik yang hingar bingar, mengutip kata Romo Zen. Memang ada beberapa aliran dalam gereja yang menggunakan musik tersebut. Yang menjadi ironis adalah ketika seseorang hanya mau ke gereja bila adanya musik dalam gereja yang demikian. Saya pribadi sebenarnya setuju dengan variasi-variasi aliran ekaristi yang demikian. Namun, lebih pada arti bahwa umat Katolik selalu beribadah pada ketenangan, keheningan, dan persatuan hati dengan Yesus Kristus.
Kedua hal ini sangat berbahaya, dan yang paling berbahaya adalah adanya makanan setelah ekaristi. Orientasi umat ke gereja justru tidak berorientasi bahwa mereka ingin bertemu dengan Yesus dalam waktu yang sangat singkat. Tidak sampai 1 jam kadang-kadang. Orientasi mereka hanya terpaku pada makanan yang akan disajikan setelah misa dan musik yang hingar bingar yang akan mereka perdengarkan. Ini sangat berbahaya. Esensi sebuah gereja tidak lagi sebuah tempat untuk memuliakan Tuhan. Gereja menjadi tidak lebih dari sebuah restaurant yang menyajikan live music di dalamnya. Akibat yang sakral lagi adalah bahwa kesucian gereja akan hilang dengan hal ini, hingga pada akhirnya nama Yesus Kristus tak lebih diagungkan dari makanan yang lezat yang disajikan pada saat ekaristi telah selesai.
Tentu ini berbahaya dan mampu membawa kehancuran Gereja Katolik di Indonesia. Sebagai umat Katolik sejati, pergi ke gereja merupakan suatu hal yang wajib, meskipun hanya sebentar. Waktu yang sebentar itu, manfaatkanlah sebagai sarana untuk berkomunikasi dan berdialog dengan Yesus, disamping melalui doa. Dengan demikian, bangunlah sebuah gereja Katolik yang benar-benar beriman dan dekat dengan Tuhan Yesus Kristus, bukan gereja yang dekat dengan lezatnya duniawi melalui makanan dan segala yang tidak sesuai.

Jumat, 17 Juni 2011

Memandangmu

Bulan malam ini sungguh indah
Bulat, cahayanya memberikan kehidupan
Seolah-olah merupajan wajahmu
Yang mempesonaku malam ini

Memandang bulan sama saja memandang wajahmu
Yang memang hanya bisa kupandang
Tanpa pernah aku untuk mampu memiliki
Meskipun ada jalan dan ada waktu

Memandangmu saja aku tak sanggup
Cahayamu lebih terang dari cahaya bulan itu
Pesonamu melebihi pesona bulan itu
Hatiku tak sampai memandangmu

Bulan yang indah
Ijinkanlah aku memandangimu saja
Kau tak pernah marah bila ku pandangi
Kau tak pernah merasa malu tuk ku pandangi
Ijinkan aku menikmati keindahanmu
Yang tiap hari tak kudapatkan
Malam ini juga

Karmen 01 V 17 Juni 2011
Puisi tak nyambung, untuk kamu yang hanya bisa kupandangi saja

Yo Prokonco Dolanan Neng nJobo

Yo Prokonco dolanan nang njobo
Padhang bulan padhange koyo netra
Rembulane mas sing ngawe-awe
Ngelingake ojo turu sore-sore

Sepenggal lagu berjudul Padhang Bulan ini merupakan lagu anak-anak jaman dulu. Lagu ini menjadi hidup dan indah ketika berada di pedesaan. Tiap terjadi bulan purnama, anak-anak biasanya akan keluar rumah untuk bermain bersama teman-teman sebayanya di rumah temannya. Orang tua pun akan berada di luar rumah untuk turut mengawasi anak-anaknya yang sedang bermain. Suasana pun menjadi riuh rendah, suara cempreng anak-anak yang bernyanyi dan bermain mainan tradisional semacam benthik, kelereng, engklik, beteng-betengan, gobak sodor, dhelikan, dan lain sebagainya.
Malam bulan purnama memang malam yang sangat ideal sebagai saat untuk beraktivitas di malam hari. Hawa yang dingin yang memang terjadi setiap bulan mencapai bulat penuh menjadi salah satu alasan untuk beraktivitas di malam hari saat bulan purnama. Bahkan beberapa grup band pun menyisipkan kata-kata 'Bulan Purnama' pada beberapa bait lagunya. Bulan yang bulat yang indah dan mempesona, serta hawa dingin malam yang menggelayut ditemani sinar bulan yang remang-remang menjadikan malam bulan purnama sebagai saat yang indah, dan terkadang menjadi saat yang romantis bagi Anda dan pasangan Anda.
Sungguh menyedihkan ketika malam bulan purnama demikian hanya melalui malam di dalam kamar saja tanpa beraktivitas. Apalagi menikmati malam sembari bermain mainan tradisional, atau menyeruput segelas susu jahe atau teh susu di angkringan terdekat :DD

Rabu, 15 Juni 2011

Yang Terindah

Aku memberikan sebuah kado yang terindah bagiku
Untukmu yang terindah bagiku

Aku memberikan sebuah ucapan yang terindah bagiku
Untukmu yang terindah bagiku

Aku mendoakan sebuah doa yang terindah bagiku
Hanya untukmu yang terindah bagiku hari ini

Kamu yang terindah bagiku
Tak hanya hari ini
Tapi dulu, hingga hari ini dan entah kapan
Indahmu, tak pernah terhapuskan
Hingga rasa kagumku padamu
Hilang total ketika aku telah bersatu dengan tanah

Karmen, 15 Juni 2011
Yang spesial hari ini

Minggu, 12 Juni 2011

Melayani Mahasiswa, Melayani Sepenuh Hati

Jika ditanya siapa yang melayani mahasiswa dengan sepenuh hati dan siap merugi? Jawaban saya bukan ibu-ibu penjaga TU, bukan juga dosen, dan tentu bukan dekan atau bahkan rektor. Tapi adalah seorang penjual nasi rames bagi mahasiswa, dengan harga murah.
Masih cukup banyak warung-warung di sekitar area kampus yang menjajakan makanan yang murah, namun tetap bergizi. Sebut saja warung Bu Rejo, Wapro, dan Warung Mama Titik di daerah Karang Menjangan, Surabaya. Satu porsinya saja dari ketiga warung itu tidak pernah lebih dari Rp 8.000,00 dengan lauk satu potong ayam dan minuman es teh. Di Jogja juga ada Warung Texas di bilangan Mrican, Warung Mak Wik di daerah Perkutut, Demangan. Ada juga Gayeng Niki dan warung Ampel di daerah Papringan, Jogjakarta. Juga Warung Laris di daerah Nologaten, belakang Ambarrukmo Plaza. Di Jogja, sekali makan dengan lauk yang cukup layak tidak perlu merogoh kocek hingga Rp 7.000,00. Bahkan terkadang di warung tertentu, Rp 5.000,00 saja cukup.
Sedemikian banyaknya, jika dinalar mereka dapat untung dari mana? Bisa dihitung saja, misalkan satu porsi nasi yang paling banyak itu setidaknya biaya produksinya sekitar Rp 1.500,00. Telur per butir Rp. 1.000,00. Sayuran anggapkal Rp. 1.000,00. Sambel katakanlah Rp 300,00. Hitung-hitungan kasar untuk bersih-bersih tiap piring katakanlah Rp 200,00. Es teh katakanlah Rp 1.000,00. Pertanyaan besar, darimana mereka dapat untung? 
Berurusan dengan mahasiswa bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi urusan makanan yang tergolong krusial. Beberapa warung makan di sekitar kampus yang benar-benar profit oriented terpaksa tutup karena harus melayani mahasiswa. Memang bukan perkara yang mudah, mahasiswa biasanya memiliki porsi makan yang besar sementara mereka ingin harga yang murah, tapi enak. Disini kita membicarakan mahasiswa pada umumnya, bukan mahasiswa dari kalangan tertentu yang tentunya berduit. Ini yang susah antara menyelaraskan kebutuhan akan keuntungan dan juga menyejahterakan mahasiswa. Banyak di warung-warung makan kedua pilihan tersebut tidak dapat diambil semuanya. Tentu ada yang harus dikorbankan. Jika memang ingin profit oriented, tentu bisa jadi warungnya sepi, dalam tanda kutip tidak seramai yang non profit oriented, tapi bisa mendapatkan keuntungan. Tapi, bila non profit oriented, warung akan ramai, tapi keuntungan yang didapat ada, tapi cuma sedikit saja. Kebanyakan warung yang masih tetap bertahan di kalangan mahasiswa adalah yang non profit oriented. Mereka lebih mementingkan yang penting mahasiswa suka, dan bagaimana caranya agar mereka mau kembali ke warung-warung tersebut. Tentunya sebuah pengorbanan yang tidak terbalas dan benar-benar dahsyat.
Seperti yang saya alami tadi siang. Saya minta dibungkuskan nasi di warung Mama Titik Jojoran. Saya minta lauk ayam goreng, tahu 2 biji, dan sayur bening dengan nasi yang buanyak poll. Ketika membayar, saya kaget karena hanya habis Rp 5.000,00 saja. Sejujurnya, di Jogja pun nasi ayam sekarang sudah mencapai Rp 6.500,00 belum termasuk minum. Benar-benar non profit oriented, tapi pedagang benar-benar tahu bagaimana caranya membuat pelanggan itu mau dan selalu ingin kembali ke warungnya.
Memang benar jika berurusan dengan mahasiswa itu siap rugi. Apalagi, tanpa bersikap mendiskreditkan mahasiswa, beberapa memang main curang dan main curi. Ada juga mahasiswa yang licik, dengan cara mengambil lauknya dulu, baru lauknya disembunyikan dibawah nasi, lalu lauk yang kelihatan cuma satu biji saja sehingga hitungannya murah. Masih banyak juga kecurangan lainnya yang memungkinkan pedagang rugi. Sungguh benar-benar sebuah pengorbanan yang baik dan mulia. Maka, mulai sekarang, hargailah para penjaja makanan di sekitar kampus. Karena melalui merekalah kita bisa kuat, kita bisa makan, dan kita bisa sejahtera dengan menyisihkan sedikit uang saku kita dari sisa uang makan.

Kamis, 09 Juni 2011

Kasih

Andai kan aku
Fasih berbicara
Namun tak punya cinta kasih

Kubagai gong yang bergaung
Andai iman ku

Mampu pindahkan gunung
Namun tak punya cinta kasih

Ku tiada berguna
Kasih itu sabar murah hati
Percaya tak angkuh dan tak dengki

Kasih itu tak memegahkan diri
Kasih itu kekal serta abadi


Penggalan kecil ini merupakan sebuah lagu gereja. Tentu tidak asing bagi umat Kristen dan Katolik karena ini merupakan sebuah lagu yang cukup terkenal dan sering dinyanyikan ketika ada upacara pernikahan. Lagu karya Linus Putut ini benar-benar menggambarkan arti cinta dan kasih yang sesungguhnya.
Segalanya bisa kita lakukan, tapi tak ada cinta dan kasih, semuanya sama saja. Seperti tong kosong. kekejaman akan terjadi dimana-mana. Apa yang kita lakukan, hambar adanya. Sebesar apapun kekuatan kita, tapi tak punya cinta kasih, semuanya omong kosong. Tangan-tangan kita hanya akan bertindak keji, memukul, dan terus menyerang. Ya, kasih itu sabar, murah hati, percaya, tak angkuh dan tak dengki. Kasih tak memegahkan diri dan kekal abadi.
Sebuah makna yang mendalam dan indah. Ya, itulah esensi dari sebuah kata kasih, bahwa kata kasih tak mampu tergantikan oleh kata lain, bahkan kata sayang sekalipun. Kasih itu kekal abadi, kini dan selama-lamanya, Alfa dan Omega. Kasih itu indah, kasih itu murni, dan kata kasih takkan pernah terbumihanguskan bahkan ketika bumi telah hancur sekalipun.

Selasa, 07 Juni 2011

Budi Pekerti Perlu Dihapuskan

Mungkin Anda terkejut melihat judul postingan ini, bisa jadi Anda juga senang membaca judul postingan ini. Dan Anda yang merasa senang, artinya moral Anda telah meninggal dunia. Turut berduka cita atas meninggalnya moral, etika, dan budi pekerti Anda.
Sungguh ironis ketika saya sedang membeli makan malam di warung tempe penyet depan kos saya. Seseorang mahasiswa meminta tambah sambel ke penjual dan menyodorkan piringnya dengan tangan kiri, tanpa mohon permisi terlebih dahulu. Seseorang mahasiswa lewat di depan orang lain yang sedang menunggu tanpa bilang permisi dahulu. Dan yang parah, seorang mahasiswa tiba-tiba menyerobot antrian pembelian di warung tersebut. Ya, seperti ini cerminan-cerminan generasi muda saat ini. Jiwa yang penuh arogansi dan tanpa budi pekerti yang selama ini mewarnai kehidupan sehari-hari.
Apa relevansinya dengan budi pekerti? Budi pekerti bukanlah sebuah pelajaran yang omong kosong. Kekacauan mental dan retardasi moral kaum muda saat ini bisa dipastikan karena dihapuskannya pelajaran budi pekerti dan bahasa daerah dalam materi pelajaran pada pendidikan dasar 9 tahun. Mengapa belajar moral dan etika harus melalui budi pekerti dan bahasa daerah? Karena melalui budi pekerti, anak-anak mengenal dan mengetahui mana yang baik dan buruk. Melalui bahasa daerah, diajarkan berbagai tata krama, bahkan unggah-ungguh mengenai suatu hal, sopan-santun, bahkan bagaimana suatu hal harus dilakukan. Tentu ini penting terutama bagi perkembangan akhlak anak-anak. Maka, sebenarnya tidak pantaslah pemerintah menghapuskan pelajaran budi pekerti dan bahasa daerah sebagai daftar pelajaran wajib pendidikan 9 tahun. Justru seharusnyalah budi pekerti dan bahasa daerah mampu menyaingi pelajaran Bahasa Inggris. Lihatlah saat ini, budi pekerti dilupakan dan pengaruh-pengaruh buruk mulai menyerang generasi muda: pornografi, free sex, bahkan hingga narkoba. Ini terjadi karena mereka kehilangan orientasi dalam bertindak. Budi pekerti sudah kabur, dan apa yang mereka dapatkan semasa pendidikan 9 tahun hanya berupa nilai sebentuk angka.
Jika Budi Pekerti sudah dilaksanakan, tapi masih buruk juga hasilnya, apa yang salah? Tentu ada yang salah. Kita menganalisisnya dari sisi siswa. Siswa sekarang itu pinter dan keminter. Ketika mereka diberi tahu tatacara atau sopan santun mengenai sesuatu, maka jawaban mereka sangat bagus. Namun, bisa jadi tindakan mereka diluar berkebalikan dengan yang mereka lakukan. Maka, penilaian budi pekerti tidak hanya sekedar melalui sebentuk angka pada raport. Perlu juga melibatkan orang tua bahkan teman-temannya dalam penilaian budi pekerti. Sehingga, pribadi yang kuat, tidak mudah terpengaruh, beretika, serta bermoral baik bisa dibentuk dan generasi muda Indonesia bisa dihindarkan dari tindakan-tindakan tercela. 
Yang perlu diingat sekarang adalah telah terjadi sesuatu yang sangat salah di negeri kita ini. Sesuatu yang dahulu dianggap sebagai hal tabu dan tak boleh dilakukan, sekarang dapat dengan bebas dilakukan. Ini sungguh ironis dan secara tak sadar arah pergerakan budaya kita adalah kebarat-baratan. Lama kelamaan, nama Indonesia akan terhapus, dan secara moral kita telah terjajah oleh negara-negara barat. Merupakan tugas berat bagi pemerintah, orang tua, dan diri kita sendiri untuk kembali menanamkan etika dan moral dalam diri kita masing-masing agar kita semua dapat membangun negara yang berakhlak mulia, seperti yang telah digariskan dalam Pembukaan UUD 1945.

Senin, 06 Juni 2011

Pendatang, Uang dan Bencana

Kali ini, di tulisan pertama saya setelah vakum cukup lama, saya akan membahas mengenai pendatang, terutama pendatang-pendatang di kota besar, khususnya Yogyakarta yang sudah saya amati cukup lama.
Banyak pemerintah kota memandang bahwa pendatang membawa sejuta keuntungan bagi perkembangan kota itu sendiri. Memang disini pendatang bisa dipandang dari dua sisi. Seperti mata uang, ada yang baik dan ada sisi yang buruk. Sisi baik pendatang bisa dilihat dengan jelas. Mampu mendatangkan pendapatan daerah, entah dengan berbagai cara apapun, mempercepat pertumbuhan pembangunan daerah karena pendatang tentu memerlukan rumah untuk tempat tinggal. Sehingga pembangunan kota pun akan berlangsung dengan pesat. Seperti Jogja misalnya, tahun 2000 awal, daerah Jl Monjali bisa dikatakan masih menjadi daerah yang sepi-sepi saja. Ramai pun hanya bila Hotel Hyatt yang berdiri tahun 1998 itu kedatangan tamu penting. Ring-Road utara pun masih lengang dan rawan perampokan. Semenjak mobilisasi mudah dan banyak orang dari luar daerah datang ke Yogyakarta, daerah tersebut mulai 'hidup'. Bahkan Ring-Road yang berfungsi untuk membatasi pembangunan kota agar tidak lebih luas dari Ring-Road, kini justru melebar terus ke arah utara. Kebon-kebon tebu kini sudah jadi perumahan mewah. Bahkan beberapa mall dan hotel terkenal mulai didirikan. Beberapa aspek lain selain meningkatnya taraf pembangunan adalah lapangan pekerjaan, terutama bagi warga sekitar kampus yang bisa membuat kos-kosan bagi mahasiswa pendatang, atau warung makan sederhana harga mahasiswa.
Begitu banyak keuntungan yang masuk, namun tanpa memperhatikan bahwa kerugian yang muncul juga sangat banyak. Bahkan, memungkinkan sebuah degradasi nilai-nilai budaya dapat dihasilkan oleh pendatang tersebut. Pendatang di Jogja sendiri berasal dari berbagai kota. Ada yang berplat nomor AA (daerah Kedu : Magelang, Wonosobo, Purworejo), AD (Solo, Klaten, Wonogiri), B (Jakarta dan sekitarnya), H (Semarang dan sekitarnya), L (Surabaya), bahkan plat-plat lain. Tentu mereka berasal dari berbagai kota dengan berbagai latar belakang budaya. Bisa jadi, budaya yang mereka bawa justru merusak budaya asli daerah. Tanpa bermaksud menjelek-jelekkan kota yang telah bergelar metropolitan, bisa dibilang budaya metropolitan ini sedikit banyak telah merubah budaya-budaya asli. Terutama dampak ini sangat terasa di kalangan anak muda. Budaya berbicara dengan bahasa yang tidak baku, loe, gue, dan bahasa tak baku lainnya maupun bahasa kasar lainnya, menjadi hal yang biasa. Bahasa Jawa yang menjadi bahasa ibu menjadi hilang dan kemampuan berbicara bahasa Jawa Kromo Inggil juga menjadi hilang. Yang lebih parah adalah kehidupan bebas yang dibawa masuk ke kota-kota kecil, seperti yang banyak dibawa dari kota metropolitan. Seperti pakaian yang mini (boleh diakui bahwa mall-mall di Jogja berkiblat dari Bandung dan Jakarta. Gaya berpakaian pengunjung lebih mirip dengan pengunjung mall di kedua kota tersebut : baju yang serba mini) juga seks bebas yang masuk dengan leluasa. Ini tentu sangat merusak, terutama bagi kalangan muda. Banyak pendatang ini pula yang membuat pub-pub dan pusat hiburan malam tumbuh subur di Jogja. Lihat saja, plat nomor apa yang banyak datang disana. Tentu plat AB hanya beberapa. Pendatang yang merusak demikian inilah yang perlu dihindari dan dibatasi karena mereka datang membawa kerusakan, dan terus akan merusak. Akibatnya, sebuah kota namanya bisa tercemar oleh orang-orang demikian ini. Seperti Jogja misalnya, dahulu terkenal sebagai kota pendidikan. Sekarang sudah terkenal menjadi (maaf) kota seks. Ini karena survey beberapa waktu lalu yang mengatakan 99.9% wanita di Jogja sudah tidak perawan. Perlu diselidiki, apakah itu benar-benar asli warga Jogja, ataukah pendatang yang menyalahgunakan tujuan mereka untuk belajar, tapi malah bermain yang tidak-tidak.
Begitu juga kerugian lainnya yang tidak diinventarisir oleh pemerintah. Kemacetan yang tentu akan terjadi. Lihat saja Jalan kaliurang, tiap hari efektif perkuliahan, jalanan akan macet dan yang berada di jalan tersebut 60% adalah mobil luar kota. Bisa jadi perbandingannya 1 mobil plat AB 4 mobil plat non AB. Yang tentu tidak pernah terpikir oleh pemerintah adalah bahwa pendatang yang ada itu tidak memakai plat asli AB. Mereka masih menggunakan plat asli daerahnya masing-masing. Akibatnya apa? Pajak yang seharusnya masuk ke Yogyakarta dan dapat dipergunakan untuk membangun jalan justru masuk ke daerah asalnya yang sudah ditinggalkan. Akibatnya, pemerintah secara tidak langsung mengalami kerugian cukup besar juga. Beruntung kota Surabaya telah berhasil membuat sebuah gosip, yang sebenarnya tidak mutu, bahwa plat nomor non-L akan mudah ditilang polisi. Dengan demikian banyak pendatang akan mengubah plat nomornya menjadi Plat L dan uang pajak bisa masuk ke Kota Surabaya dan digunakan untuk pembangunan jalan.
Tentu ada banyak kota yang bisa dikatakan cukup rusak juga oleh pendatang. Katakanlah Denpasar, dulu sebuah kota yang menjunjung tinggi budaya asli, menginjak menyan itu saja sudah sangat berdosa. Tapi saat ini? Menyan dan sajen bisa dengan mudah diinjak-injak. Begitu juga dengan Malang yang senasib dengan Jogjakarta. Surabaya adalah kota yang beruntung karena tidak mengalami perubahan cukup berarti di bidang budaya oleh karena pendatang. Tinggal bagaimana menyikapinya. Yang diperlukan saat ini adalah jadilah pendatang yang baik jika berkunjung atau tinggal di kota orang. Ikutilah budaya asli daerah, dan jangan membuat budaya sendiri dengan menghancurkan budaya asli tempat yang ditinggali. Memang orang Indonesia suka menentang arus, tapi tidak demikian yang harus dilakukan kepada budaya. Jadilah pendatang yang baik, jangan meninggalkan image buruk di kota yang kalian tinggali, jadilah pendatang yang mampu menyumbangkan kebaikan dan perubahan menuju ke arah yang baik bagi kota yang ditinggali.

Bangjo-2

Ada seorang wanita naik bis dari Mojokerto. Ia ingin turun di Kertosono Lama. Ketika sampai di Bra'an Kertosono, wanita itu maju ke depan dan berbicara pada keneknya :
Wanita : "Mas, saya turun di lampu merah Kertosono Lama ya."
Kernet : "Iya Mbak."
Saat bis sampai di tempat yang dimaksud, bis berhenti. Tapi kernet tidak mau membuka pintu. Maka, terjadilah perdebatan antara kernet dan wanita :
Wanita : "Lho, sudah sampai. Kok pintu tidak dibuka sih?!!"
Kernet : "Lha sebentar Mbak. Tadi Mbaknya pesennya kan turun di lampu merah. Lha itu lampunya masih hijau. Nah, itu lampunya sudah merah. Silakan turun."
Wanita : "*!%#^&^!(&"

Bangjo-1

Suatu ketika, ada seseorang wanita naik bis cepat dari Surabaya. Ia ingin turun di Mojoagung. Ketika dekat Mojoagung, wanita ini maju ke depan ke dekat Pak Sopir. Maka terjadilah percakapan :
Wanita : "Pak, saya turun di lampu merah depan ya..."
Sopir   : "Sip Mbak."
Tiba-tiba ketika sudah tiba di tempat wanita tadi turun, bis malah melaju makin kencang hingga melewati tempat wanita tadi turun. Lalu proteslah wanita tadi
Wanita : "Lho Pak, kok malah di-gas sih. Saya kan turun di lampu merah tadi!!!"
Sopir   : "Lho, lha tadi lampunya hijau tuh..lha kan berarti Mbaknya gak turun disitu."
Wanita : "^$%@%@&#*"