Rabu, 22 Juni 2011

Mengutip Kata Romo Zen : Menuju Kehancuran Gereja

Sebuah kothbah yang benar-benar menggelitik, ketika Romo Sen-seorang romo di Surabaya- yang ketika itu mempimpin misa pemberkatan rumah. 

"Maunya kalau ke gereja hanya bila ada perayaan atau pesta tertentu. Ada hura-huranya sedikit, langsung mau ke gereja..."

Sebuah pernyataan yang begitu menggelitik, tentu bagi kalangan Katolik di berbagai belahan Indonesia. Tentunya keprihatinan yang dirasakan oleh masing-masing gereja dan masing-masing paroki di Indonesia adalah sama yakni bahwa umat hanya mau pergi ke gereja jika ada pesta-pesta tertentu. Katakanlah tidak harus pesta dalam artian yang sesungguhnya atau Paskah dan Natal. Pesta yang dikatakan Romo Zen lebih pada pesta yang kaitannya dengan urusan ragawi, seperti makan-makan, ada sedikit hura-hura, dan tanpa bermaksud mengkritik aliran tertentu, misa yang sebegitu meriahnya dan meninggalkan kesan sakral dengan musik yang keras, hingar bingar, dan penuh hura-hura.
Perkataan Romo Zen memang benar adanya. Umat di gereja saat ini lebih senang mengikuti misa bila setelah misa diadakan pesta kecil-kecilan, apalagi yang ada makanannya. Ambil contoh saja di sebuah paroki. Gereja paroki ini sedemikian sepi jika diadakan misa lingkungan. Paling pol mentok ketika misa jumlah umatnya hanya memenuhi bagian dalam gereja saja. Tapi, ketika ada pesta yang sangkut pautnya dengan makan-makan, umat yang datang akan sangat berjubel, meskipun tujuan utamanya bukan misa. Dan tentu yang terjadi kemudian adalah ketika makanan habis, semua umat akan pulang dengan bahagia, bahkan sebelum acara inti dilaksanakan.
Demikian juga dengan ekaristi yang dipenuhi musik yang hingar bingar, mengutip kata Romo Zen. Memang ada beberapa aliran dalam gereja yang menggunakan musik tersebut. Yang menjadi ironis adalah ketika seseorang hanya mau ke gereja bila adanya musik dalam gereja yang demikian. Saya pribadi sebenarnya setuju dengan variasi-variasi aliran ekaristi yang demikian. Namun, lebih pada arti bahwa umat Katolik selalu beribadah pada ketenangan, keheningan, dan persatuan hati dengan Yesus Kristus.
Kedua hal ini sangat berbahaya, dan yang paling berbahaya adalah adanya makanan setelah ekaristi. Orientasi umat ke gereja justru tidak berorientasi bahwa mereka ingin bertemu dengan Yesus dalam waktu yang sangat singkat. Tidak sampai 1 jam kadang-kadang. Orientasi mereka hanya terpaku pada makanan yang akan disajikan setelah misa dan musik yang hingar bingar yang akan mereka perdengarkan. Ini sangat berbahaya. Esensi sebuah gereja tidak lagi sebuah tempat untuk memuliakan Tuhan. Gereja menjadi tidak lebih dari sebuah restaurant yang menyajikan live music di dalamnya. Akibat yang sakral lagi adalah bahwa kesucian gereja akan hilang dengan hal ini, hingga pada akhirnya nama Yesus Kristus tak lebih diagungkan dari makanan yang lezat yang disajikan pada saat ekaristi telah selesai.
Tentu ini berbahaya dan mampu membawa kehancuran Gereja Katolik di Indonesia. Sebagai umat Katolik sejati, pergi ke gereja merupakan suatu hal yang wajib, meskipun hanya sebentar. Waktu yang sebentar itu, manfaatkanlah sebagai sarana untuk berkomunikasi dan berdialog dengan Yesus, disamping melalui doa. Dengan demikian, bangunlah sebuah gereja Katolik yang benar-benar beriman dan dekat dengan Tuhan Yesus Kristus, bukan gereja yang dekat dengan lezatnya duniawi melalui makanan dan segala yang tidak sesuai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar