Minggu, 12 Juni 2011

Melayani Mahasiswa, Melayani Sepenuh Hati

Jika ditanya siapa yang melayani mahasiswa dengan sepenuh hati dan siap merugi? Jawaban saya bukan ibu-ibu penjaga TU, bukan juga dosen, dan tentu bukan dekan atau bahkan rektor. Tapi adalah seorang penjual nasi rames bagi mahasiswa, dengan harga murah.
Masih cukup banyak warung-warung di sekitar area kampus yang menjajakan makanan yang murah, namun tetap bergizi. Sebut saja warung Bu Rejo, Wapro, dan Warung Mama Titik di daerah Karang Menjangan, Surabaya. Satu porsinya saja dari ketiga warung itu tidak pernah lebih dari Rp 8.000,00 dengan lauk satu potong ayam dan minuman es teh. Di Jogja juga ada Warung Texas di bilangan Mrican, Warung Mak Wik di daerah Perkutut, Demangan. Ada juga Gayeng Niki dan warung Ampel di daerah Papringan, Jogjakarta. Juga Warung Laris di daerah Nologaten, belakang Ambarrukmo Plaza. Di Jogja, sekali makan dengan lauk yang cukup layak tidak perlu merogoh kocek hingga Rp 7.000,00. Bahkan terkadang di warung tertentu, Rp 5.000,00 saja cukup.
Sedemikian banyaknya, jika dinalar mereka dapat untung dari mana? Bisa dihitung saja, misalkan satu porsi nasi yang paling banyak itu setidaknya biaya produksinya sekitar Rp 1.500,00. Telur per butir Rp. 1.000,00. Sayuran anggapkal Rp. 1.000,00. Sambel katakanlah Rp 300,00. Hitung-hitungan kasar untuk bersih-bersih tiap piring katakanlah Rp 200,00. Es teh katakanlah Rp 1.000,00. Pertanyaan besar, darimana mereka dapat untung? 
Berurusan dengan mahasiswa bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi urusan makanan yang tergolong krusial. Beberapa warung makan di sekitar kampus yang benar-benar profit oriented terpaksa tutup karena harus melayani mahasiswa. Memang bukan perkara yang mudah, mahasiswa biasanya memiliki porsi makan yang besar sementara mereka ingin harga yang murah, tapi enak. Disini kita membicarakan mahasiswa pada umumnya, bukan mahasiswa dari kalangan tertentu yang tentunya berduit. Ini yang susah antara menyelaraskan kebutuhan akan keuntungan dan juga menyejahterakan mahasiswa. Banyak di warung-warung makan kedua pilihan tersebut tidak dapat diambil semuanya. Tentu ada yang harus dikorbankan. Jika memang ingin profit oriented, tentu bisa jadi warungnya sepi, dalam tanda kutip tidak seramai yang non profit oriented, tapi bisa mendapatkan keuntungan. Tapi, bila non profit oriented, warung akan ramai, tapi keuntungan yang didapat ada, tapi cuma sedikit saja. Kebanyakan warung yang masih tetap bertahan di kalangan mahasiswa adalah yang non profit oriented. Mereka lebih mementingkan yang penting mahasiswa suka, dan bagaimana caranya agar mereka mau kembali ke warung-warung tersebut. Tentunya sebuah pengorbanan yang tidak terbalas dan benar-benar dahsyat.
Seperti yang saya alami tadi siang. Saya minta dibungkuskan nasi di warung Mama Titik Jojoran. Saya minta lauk ayam goreng, tahu 2 biji, dan sayur bening dengan nasi yang buanyak poll. Ketika membayar, saya kaget karena hanya habis Rp 5.000,00 saja. Sejujurnya, di Jogja pun nasi ayam sekarang sudah mencapai Rp 6.500,00 belum termasuk minum. Benar-benar non profit oriented, tapi pedagang benar-benar tahu bagaimana caranya membuat pelanggan itu mau dan selalu ingin kembali ke warungnya.
Memang benar jika berurusan dengan mahasiswa itu siap rugi. Apalagi, tanpa bersikap mendiskreditkan mahasiswa, beberapa memang main curang dan main curi. Ada juga mahasiswa yang licik, dengan cara mengambil lauknya dulu, baru lauknya disembunyikan dibawah nasi, lalu lauk yang kelihatan cuma satu biji saja sehingga hitungannya murah. Masih banyak juga kecurangan lainnya yang memungkinkan pedagang rugi. Sungguh benar-benar sebuah pengorbanan yang baik dan mulia. Maka, mulai sekarang, hargailah para penjaja makanan di sekitar kampus. Karena melalui merekalah kita bisa kuat, kita bisa makan, dan kita bisa sejahtera dengan menyisihkan sedikit uang saku kita dari sisa uang makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar