Selasa, 07 Juni 2011

Budi Pekerti Perlu Dihapuskan

Mungkin Anda terkejut melihat judul postingan ini, bisa jadi Anda juga senang membaca judul postingan ini. Dan Anda yang merasa senang, artinya moral Anda telah meninggal dunia. Turut berduka cita atas meninggalnya moral, etika, dan budi pekerti Anda.
Sungguh ironis ketika saya sedang membeli makan malam di warung tempe penyet depan kos saya. Seseorang mahasiswa meminta tambah sambel ke penjual dan menyodorkan piringnya dengan tangan kiri, tanpa mohon permisi terlebih dahulu. Seseorang mahasiswa lewat di depan orang lain yang sedang menunggu tanpa bilang permisi dahulu. Dan yang parah, seorang mahasiswa tiba-tiba menyerobot antrian pembelian di warung tersebut. Ya, seperti ini cerminan-cerminan generasi muda saat ini. Jiwa yang penuh arogansi dan tanpa budi pekerti yang selama ini mewarnai kehidupan sehari-hari.
Apa relevansinya dengan budi pekerti? Budi pekerti bukanlah sebuah pelajaran yang omong kosong. Kekacauan mental dan retardasi moral kaum muda saat ini bisa dipastikan karena dihapuskannya pelajaran budi pekerti dan bahasa daerah dalam materi pelajaran pada pendidikan dasar 9 tahun. Mengapa belajar moral dan etika harus melalui budi pekerti dan bahasa daerah? Karena melalui budi pekerti, anak-anak mengenal dan mengetahui mana yang baik dan buruk. Melalui bahasa daerah, diajarkan berbagai tata krama, bahkan unggah-ungguh mengenai suatu hal, sopan-santun, bahkan bagaimana suatu hal harus dilakukan. Tentu ini penting terutama bagi perkembangan akhlak anak-anak. Maka, sebenarnya tidak pantaslah pemerintah menghapuskan pelajaran budi pekerti dan bahasa daerah sebagai daftar pelajaran wajib pendidikan 9 tahun. Justru seharusnyalah budi pekerti dan bahasa daerah mampu menyaingi pelajaran Bahasa Inggris. Lihatlah saat ini, budi pekerti dilupakan dan pengaruh-pengaruh buruk mulai menyerang generasi muda: pornografi, free sex, bahkan hingga narkoba. Ini terjadi karena mereka kehilangan orientasi dalam bertindak. Budi pekerti sudah kabur, dan apa yang mereka dapatkan semasa pendidikan 9 tahun hanya berupa nilai sebentuk angka.
Jika Budi Pekerti sudah dilaksanakan, tapi masih buruk juga hasilnya, apa yang salah? Tentu ada yang salah. Kita menganalisisnya dari sisi siswa. Siswa sekarang itu pinter dan keminter. Ketika mereka diberi tahu tatacara atau sopan santun mengenai sesuatu, maka jawaban mereka sangat bagus. Namun, bisa jadi tindakan mereka diluar berkebalikan dengan yang mereka lakukan. Maka, penilaian budi pekerti tidak hanya sekedar melalui sebentuk angka pada raport. Perlu juga melibatkan orang tua bahkan teman-temannya dalam penilaian budi pekerti. Sehingga, pribadi yang kuat, tidak mudah terpengaruh, beretika, serta bermoral baik bisa dibentuk dan generasi muda Indonesia bisa dihindarkan dari tindakan-tindakan tercela. 
Yang perlu diingat sekarang adalah telah terjadi sesuatu yang sangat salah di negeri kita ini. Sesuatu yang dahulu dianggap sebagai hal tabu dan tak boleh dilakukan, sekarang dapat dengan bebas dilakukan. Ini sungguh ironis dan secara tak sadar arah pergerakan budaya kita adalah kebarat-baratan. Lama kelamaan, nama Indonesia akan terhapus, dan secara moral kita telah terjajah oleh negara-negara barat. Merupakan tugas berat bagi pemerintah, orang tua, dan diri kita sendiri untuk kembali menanamkan etika dan moral dalam diri kita masing-masing agar kita semua dapat membangun negara yang berakhlak mulia, seperti yang telah digariskan dalam Pembukaan UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar