Senin, 06 Juni 2011

Pendatang, Uang dan Bencana

Kali ini, di tulisan pertama saya setelah vakum cukup lama, saya akan membahas mengenai pendatang, terutama pendatang-pendatang di kota besar, khususnya Yogyakarta yang sudah saya amati cukup lama.
Banyak pemerintah kota memandang bahwa pendatang membawa sejuta keuntungan bagi perkembangan kota itu sendiri. Memang disini pendatang bisa dipandang dari dua sisi. Seperti mata uang, ada yang baik dan ada sisi yang buruk. Sisi baik pendatang bisa dilihat dengan jelas. Mampu mendatangkan pendapatan daerah, entah dengan berbagai cara apapun, mempercepat pertumbuhan pembangunan daerah karena pendatang tentu memerlukan rumah untuk tempat tinggal. Sehingga pembangunan kota pun akan berlangsung dengan pesat. Seperti Jogja misalnya, tahun 2000 awal, daerah Jl Monjali bisa dikatakan masih menjadi daerah yang sepi-sepi saja. Ramai pun hanya bila Hotel Hyatt yang berdiri tahun 1998 itu kedatangan tamu penting. Ring-Road utara pun masih lengang dan rawan perampokan. Semenjak mobilisasi mudah dan banyak orang dari luar daerah datang ke Yogyakarta, daerah tersebut mulai 'hidup'. Bahkan Ring-Road yang berfungsi untuk membatasi pembangunan kota agar tidak lebih luas dari Ring-Road, kini justru melebar terus ke arah utara. Kebon-kebon tebu kini sudah jadi perumahan mewah. Bahkan beberapa mall dan hotel terkenal mulai didirikan. Beberapa aspek lain selain meningkatnya taraf pembangunan adalah lapangan pekerjaan, terutama bagi warga sekitar kampus yang bisa membuat kos-kosan bagi mahasiswa pendatang, atau warung makan sederhana harga mahasiswa.
Begitu banyak keuntungan yang masuk, namun tanpa memperhatikan bahwa kerugian yang muncul juga sangat banyak. Bahkan, memungkinkan sebuah degradasi nilai-nilai budaya dapat dihasilkan oleh pendatang tersebut. Pendatang di Jogja sendiri berasal dari berbagai kota. Ada yang berplat nomor AA (daerah Kedu : Magelang, Wonosobo, Purworejo), AD (Solo, Klaten, Wonogiri), B (Jakarta dan sekitarnya), H (Semarang dan sekitarnya), L (Surabaya), bahkan plat-plat lain. Tentu mereka berasal dari berbagai kota dengan berbagai latar belakang budaya. Bisa jadi, budaya yang mereka bawa justru merusak budaya asli daerah. Tanpa bermaksud menjelek-jelekkan kota yang telah bergelar metropolitan, bisa dibilang budaya metropolitan ini sedikit banyak telah merubah budaya-budaya asli. Terutama dampak ini sangat terasa di kalangan anak muda. Budaya berbicara dengan bahasa yang tidak baku, loe, gue, dan bahasa tak baku lainnya maupun bahasa kasar lainnya, menjadi hal yang biasa. Bahasa Jawa yang menjadi bahasa ibu menjadi hilang dan kemampuan berbicara bahasa Jawa Kromo Inggil juga menjadi hilang. Yang lebih parah adalah kehidupan bebas yang dibawa masuk ke kota-kota kecil, seperti yang banyak dibawa dari kota metropolitan. Seperti pakaian yang mini (boleh diakui bahwa mall-mall di Jogja berkiblat dari Bandung dan Jakarta. Gaya berpakaian pengunjung lebih mirip dengan pengunjung mall di kedua kota tersebut : baju yang serba mini) juga seks bebas yang masuk dengan leluasa. Ini tentu sangat merusak, terutama bagi kalangan muda. Banyak pendatang ini pula yang membuat pub-pub dan pusat hiburan malam tumbuh subur di Jogja. Lihat saja, plat nomor apa yang banyak datang disana. Tentu plat AB hanya beberapa. Pendatang yang merusak demikian inilah yang perlu dihindari dan dibatasi karena mereka datang membawa kerusakan, dan terus akan merusak. Akibatnya, sebuah kota namanya bisa tercemar oleh orang-orang demikian ini. Seperti Jogja misalnya, dahulu terkenal sebagai kota pendidikan. Sekarang sudah terkenal menjadi (maaf) kota seks. Ini karena survey beberapa waktu lalu yang mengatakan 99.9% wanita di Jogja sudah tidak perawan. Perlu diselidiki, apakah itu benar-benar asli warga Jogja, ataukah pendatang yang menyalahgunakan tujuan mereka untuk belajar, tapi malah bermain yang tidak-tidak.
Begitu juga kerugian lainnya yang tidak diinventarisir oleh pemerintah. Kemacetan yang tentu akan terjadi. Lihat saja Jalan kaliurang, tiap hari efektif perkuliahan, jalanan akan macet dan yang berada di jalan tersebut 60% adalah mobil luar kota. Bisa jadi perbandingannya 1 mobil plat AB 4 mobil plat non AB. Yang tentu tidak pernah terpikir oleh pemerintah adalah bahwa pendatang yang ada itu tidak memakai plat asli AB. Mereka masih menggunakan plat asli daerahnya masing-masing. Akibatnya apa? Pajak yang seharusnya masuk ke Yogyakarta dan dapat dipergunakan untuk membangun jalan justru masuk ke daerah asalnya yang sudah ditinggalkan. Akibatnya, pemerintah secara tidak langsung mengalami kerugian cukup besar juga. Beruntung kota Surabaya telah berhasil membuat sebuah gosip, yang sebenarnya tidak mutu, bahwa plat nomor non-L akan mudah ditilang polisi. Dengan demikian banyak pendatang akan mengubah plat nomornya menjadi Plat L dan uang pajak bisa masuk ke Kota Surabaya dan digunakan untuk pembangunan jalan.
Tentu ada banyak kota yang bisa dikatakan cukup rusak juga oleh pendatang. Katakanlah Denpasar, dulu sebuah kota yang menjunjung tinggi budaya asli, menginjak menyan itu saja sudah sangat berdosa. Tapi saat ini? Menyan dan sajen bisa dengan mudah diinjak-injak. Begitu juga dengan Malang yang senasib dengan Jogjakarta. Surabaya adalah kota yang beruntung karena tidak mengalami perubahan cukup berarti di bidang budaya oleh karena pendatang. Tinggal bagaimana menyikapinya. Yang diperlukan saat ini adalah jadilah pendatang yang baik jika berkunjung atau tinggal di kota orang. Ikutilah budaya asli daerah, dan jangan membuat budaya sendiri dengan menghancurkan budaya asli tempat yang ditinggali. Memang orang Indonesia suka menentang arus, tapi tidak demikian yang harus dilakukan kepada budaya. Jadilah pendatang yang baik, jangan meninggalkan image buruk di kota yang kalian tinggali, jadilah pendatang yang mampu menyumbangkan kebaikan dan perubahan menuju ke arah yang baik bagi kota yang ditinggali.

1 komentar:

  1. setujuu... (pelanggan setia iki) akan menjadi pendatang yang baik..

    BalasHapus