Selasa, 02 Juli 2013

Pluralisme Bukan Musuh, Bukan Juga Virus!

"....Generasi Muda....Melawan Virus SEPILIS (SEkularisme, PluralIsme, dan LIberaliSme)"

Setidaknya demikian isi spanduk yang intinya merupakan undangan salah satu acara keagamaan salah satu wilayah. Spanduk ini terpampang dengan jelas di sebuah perempatan di Jl Wonosari sekitar km 7 (perempatan sebelah barat Kids Fun), Jogjakarta. Intinya, spanduk tersebut menyebutkan tema generasi muda melawan virus SEPILIS (SEkularisme, Pluralisme, LIberaliSme). Ada yang aneh? Ada, dan keanehan ini sangat berbahaya. Dan saya terkaget-kaget ketika melihatnya. Walaupun saya melihat secara tidak sengaja dan saya amati selama lampu merah menyala (maaf tidak sempat memotret).
Wajar ketika banyak orang menganggap bahwa sekularisme dan liberalisme sebagai 'musuh bebuyutan'nya. Meskipun pada dasarnya dua hal tersebut jika ditelaah lebih dalam memang mengandung unsur positifnya. Contoh, sekularisme. Sekularisme sendiri secara singkat adalah sebuah paham yang menginginkan suatu institusi berdiri secara terpisah dengan agama. Atau secara singkatnya lagi adalah paham yang menginginkan agar negara dan agama terpisah satu sama lain. Sekularisme tidak sepenuhnya buruk. Negara yang dicampuradukkan dengan agama. contohnya adalah Indonesia. Kelemahannya adalah, satu agama dianakemaskan dan agama/kepercayaan lain dianaktirikan, bahkan beberapa ditindas. Contoh lainnya, liberalisme. Liberalisme berasal dari kata liberal, artinya lebih kurang bebas, terbuka. Liberalisme identik dengan persamaan hak.
Pluralisme? Ada yang salah dengan pluralisme? Menjadikan pluralisme sebagai musuh sebenarnya adalah suatu paham yang keliru. Tidak lagi keliru, melainkan berbahaya. Lebih berbahaya daripada massa yang merobohkan gereja atau vihara. Menjadi tanda tanya besar, kenapa acara keagaam dengan mengambil tema yang sangat berbahaya ini diijinkan mengadakan kegiatan yang sangat berbahaya bagi integritas berbangsa dan bernegara? Polisi buta dan masyarakat tidak tahu? Padahal ada beribu-ribu pasang mata yang lewat jalan tersebut, dan sama sekali tidak menyadari kata-kata yang begitu berbahaya dan provokatif itu? Bahwa sesungguhnya, pluralisme bukan virus, bukan penyakit yang selayaknya ditangkal dengan vaksin atau dimusnahkan. Pluralisme menjadi satu-satunya simbol yang bisa dibanggakan dari Indonesia ini: Bhinneka Tunggal Ika.
Mengerikan ketika pluralisme dianggap sebagai 'musuh' (virus dalam dunia kedokteran adalah musuh dari manusia karena dapat menimbulkan berbagai macam penyakit). Artinya, penyeragaman mulai mendekati kenyataan ketika acara-acara semacam ini diperlihatkan secara jelas dan gamblang kepada masyarakat. Tidak heran jika wacana-wacana 'penyatuan' yang begitu getol ini terlaksana dengan mulusnya: karena mereka menganggap bahwa pluralisme adalah musuh. Pandangan 'tidak boleh ada pluralisme di dunia ini' adalah SALAH BESAR dan pandangan anak SD yang harus dihapuskan.
Menganggap pluralisme sebagai musuh bisa jadi tidak mengherankan bagi kita yang tahu betul bagaimana dinamika di Indonesia tercinta ini. Pendidikan memainkan faktor penting mendirikan mindset 'tidak boleh ada pluralisme' kepada generasi muda. Dari TK sampai SMA kita mengalaminya. Semua siswa diwajibkan menggunakan seragam, alasannya supaya tidak ada perbedaan, supaya semuanya sama. Hal itu merupakan salah satu bentuk peniadaan pluralisme di lingkungan anak-anak. Semua harus terlihat sama, dengan alasan kompak. Padahal kompak tidak melulu dari seragam. Kedua, semua siswa diwajibkan pintar di sekolah. Memang pintar sebuah kewajiban, namun semua kemudian diseragamkan jika si A mendapat nilai bagus, si B,C,D, dan seterusnya pun juga harus, tanpa memperhatikan kemampuan si B,C,D tidak di bidang tersebut. Belum lagi ada beberapa sekolah yang tidak menganggap seorang siswa sebagai alumni dari sekolah tersebut karena siswa tersebut bodoh dan nilainya pas-pasan. Ini baru segi pendidikan, belum segi yang lainnya.
Permasalahan ketidaksetujuan terhadap pluralisme ini menjadi harga mutlak untuk disebut sebagai 'gerakan yang berbahaya'. Indonesia tidak lagi dipersatukan, tapi disatukan. Satu, semuanya sama. Dipersatukan artinya lebih pada berbagai golongan yang dibuat kondisinya sedemikian rupa memiliki pandangan dan tujuan yang sama. Sedangkan disatukan, lebih identik dengan membuat yang berbeda menjadi sama semuanya dengan mengubah yang telah ada.
Masyarakat yang sudah terlanjur congok karena kebanyakan pekerjaan dan beban kehidupan ini menjadi berotak kosong. Kemudian otak-otak kosong ini bisa dengan mudah diisi dengan kesesatan-kesesatan pikir seperti ini. Sadar atau tidak sadar, sebagai generasi muda, tindakan memusuhi pluralisme sangat berbahaya. Lebih berbahaya daripada Ahmadiyah dan Syiah. Lebih berbahaya daripada terorisme, karena terorisme yang sesungguhnya adalah tindakan memecah belah dan membuat disintegrasi bangsa. Perkumpulan agama apapun jika mengajarkan pluralisme adalah musuh, maka sekumpulan orang tersebut sudah benar-benar menyimpang terhadap tujuan dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tugas siapa? Tugas kita orang muda yang paham mengenai hal tersebut. Mari kita laporkan ke pihak terkait jika memang ada kegiatan-kegiatan yang menyimpang. Untuk negara, sudah saatnya kita memegang teguh Pancasila dan UUD 1945. Bukan kitab masing-masing agama/kepercayaan yang ada di Indonesia ini. Indonesia adalah negara kesatuan, bukan negara agamis. Lebih banyak hal yang bisa menjadi musuh bersama, daripada memusuhi pluralisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar