Selasa, 30 Juli 2013

Indonesia di Ambang Kehilangan (1): Terbiasa Dengan Luar Negri

Saya sajikan khusus kumpulan tulisan ini, yang entah akan sampai part berapa. Yang jelas, akan saya sampaikan sampai saya capek menulis. Bukan sampai bangsa ini sadar, karena kalau menunggu sadar, mungkin terburu saya dipanggil Yang Maha Kuasa. Itupun belum sadar juga. Part 1 akan membahas mengenai terbiasanya orang Indonesia dengan luar negri. Hubungannya? Selamat membaca...

Masyarakat Indonesia kini sangat dengan mudah pergi ke luar negri. Pada beberapa kesempatan, Rp 300.000,00 saja sudah cukup untuk pergi-pulang ke luar negri, meskipun sekedar ke Kualalumpur atau ke Singapura. Siapapun, yang rajin buka web milik maskapai penerbangan tentunya, bisa pergi ke luar negri. Pembuatan paspor pun mudah. Apalagi jika hanya ke negara tetangga, tanpa perlu membuat visa dan tetek bengeknya yang ribet, karena negara-negara di Asia Tenggara bebas visa (bahkan di Eropa yang tergabung dalam Schengen (atau apalah itu namanya), cukup 1 visa saja bisa pergi ke semua negara yang tergabung dalam schengen). Sangat mudah. Lantas, apa hubungannya dengan masa depan Indonesia?
Tidak jarang sindiran-sindiran disampaikan. Salah satunya adalah seorang dosen saya, yang saya rasa benar juga perkataannya:

"Buat apa sih buang-buang sampai juta-jutaan buat ke luar negri kalau cuma mau melihat pemandangan alam saja? Tuh, di Sulawesi, Kalimantan kalian nggak perlu habis sampai berjuta-juta. Pemandangannya jauh lebih indah daripada di luar negri sana. Di Indonesia aja ada, ngapain jauh-jauh keluar?"

Kalimat terakhir "Di Indonesia aja ada, ngapain jauh-jauh keluar?" merupakan sebuah kalimat yang menunjukkan keprihatinan yang sangat tinggi, terhadap generasi yang ada saat ini. Ke luar negri seolah-olah sudah menjadi trend, dan kalau belum pernah ke luar negri dianggap kuper. 
Pergi ke luar negri sudah bukan lagi merupakan suatu hal yang mewah. Alih-alih menjadi hal yang mewah, ke luar negri hari ini telah menjadi kebiasaan: shopping ke luar negri, dengan alasan murah di luar negri padahal endingnya hampir sama juga; berobat ke luar negri, padahal pun di Indonesia sudah ada teknologi yang hampir sama dengan di luar negri; berkuliah di luar negri, dengan alasan biayanya sama saja padahal berbondong-bondong orang luar negri kuliah di Indonesia; tinggal di luar negri dengan alasan Indonesia sudah tidak nyaman lagi; hingga akhirnya menjadi warga negara asing di negri sendiri dengan alasan enak jadi warga negara di negara barunya dapat fasilitas macam-macam mulai dari tunjangan hidup sampai tunjangan punya anak. Memang saat ini hanya orang-orang yang tergolong berduit atau punya prestasi di bidangnya yang berpikiran demikian. Namun, percaya tidak percaya, obrolan seperti ini telah merembet ke kalangan ibu-ibu muda di kampung-kampung pinggir perkotaan: membiarkan anak, sanak-keluarganya terbiasa dengan luar negri. Berbahaya kah? Sangat berbahaya!
Di sisi lain, katanya, kita harus go internasional. Di sisi lainnya lagi, go internasional, tanpa dilandasi jiwa nasionalisme yang kuat dan bela negara yang baik, akan menjadi bumerang bagi kita sendiri. Terlena dengan kondisi di luar yang teramat sangat jauh lebih baik (bayangkan, tetangga saya kerja part time cuci piring di rumah makan cepat saji saja bisa membiayai kuliah S2nya), lalu melihat kondisi negeri yang carut marut ini kemudian enggan untuk kembali. Kemudian memilih mengabdi ke negara lain, ujung-ujungnya jadi warga negara, kemudian jadi terasing di negeri sendiri.
Ketika semua orang berpikiran go internasional itu baik. Namun menjadi buruk dan mengerikan ketika semua berpikiran sama: setelah pintar dan dapat ilmu dari negara lain, lalu pergi dari Indonesia dan jadi pecundang di negri sendiri. Alasan apapun sebenarnya tidak bisa dipergunakan sebagai pembenaran pergi dari Indonesia, apalagi memang warga asli Indonesia. Dibesarkan, menikmati fasilitas yang disediakan oleh pemerintah (sekolah, terminal, stasiun, bandara, bahkan buku pelajaran sekalipun), makan dan minum dari sumber daya yang ada di perut bumi di Indonesia, tinggal dibawah naungan rumah yang pasirnya dikeruk dari perut bumi Indonesia, namun sekonyong-konyong setelah 'dewasa', namun belum matang dalam hal nasionalisme, lalu pergi begitu saja karena diiming-imingi sesuatu yang lebih enak. 
Saya rasa, kita semua yang sudah bisa berpikir secara rasional sudah bukan balita lagi yang ketika diiming-imingi sesuatu yang lebih enak lalu pergi menghampirinya dan menetap disana. Kita sudah dewasa! Kita dilahirkan di Indonesia bukan sekedar untuk memenuhi permukaan daratan Indonesia, ada misi khusus yang diberikan kepada kita: memperbaiki kondisi bangsa ini. Tidak tua tidak muda, semuanya memiliki tugas yang sama. Bukan saatnya yang tua berkata, "memperbaiki bangsa ini adalah tugas yang muda."; bahwa yang tua yang masih bisa bekerja dan produktif, memiliki tugas yang sama dengan yang muda untuk memperbaiki bangsa ini. Bukan saatnya pula yang muda berkata, "ini karena generasi terdahulu seperti ini, jadi kita ngikut saja."; generasi muda adalah generasi pembaharu: maka tugasnya adalah memperbaharui segala yang buruk dan menciptakan kebenaran-kebenaran di tengah masyarakat. Bukan menciptakan 'pembenaran-pembenaran' baru yang akan semakin merusak tatanan masyarakat.
Tidak ada alasan bagi yang sudah sekolah tinggi lalu ingin meninggalkan Indonesia dengan alasan 'ditolak di negri sendiri'. Justru ketika benar-benar meninggalkan Indonesia dengan alasan seperti itu, sesungguhnya Anda telah menjadi 'pecundang di negri sendiri' yang kemudian akan menjadi 'asing di negri sendiri'. Cara untuk maju tidak harus melalui negara, dan kadang memang negara tidak perlu ikut campur. Ketika memang kreatif, jalan sendiri harus ditegakkan. Kenapa harus menunggu negara ketika negara diam?
Bukan saatnya lagi masing-masing dari kita harus go internasional sendiri-sendiri; muncul lalu hilang karena kalah dengan yang lain. Saatnya semuanya kembali bergandengan tangan, menyatukan lagi keinginan untuk go internasional, namun untuk Indonesia. Jangan lagi kita buat Indonesia kehilangan anak-anak terbaiknya. Biarlah kita menjadi anak-anak terbaik untuk membangun Indonesia menjadi negara yang terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar