Senin, 28 Maret 2011

Kriting dengan Konstitusi???

Jumat-Minggu kemarin saya berkesempatan merasakan penyusunan konstitusi untuk sebuah organisasi kemahasiswaan. Dan ini sebenarnya bukan kali pertama karena sebelumnya pernah mengikuti kegiatan penyetujuan konstitusi fakultas, meskipun pada akhirnya harus amandemen lagi. Penyusunan konstitusi yang memang baru di organisasi kemahasiswaan yang saya ikuti ini harus memakan waktu 7 jam hanya untuk 9 pasal dan lebih kurang 60 ayat. Banyak komentar yang dilontarkan ke saya, entah tidak efektif, terlalu kelamaan, dan berbagai komentar miring lainnya. 
Sebenarnya, ini bukan merupakan sesuatu yang tak wajar. Penggodogan sebuah konstitusi atau dapat disama-artikan dengan undang-undang, merupakan sebuah hal yang sulit. Maka tak heran ketika banyak rakyat kecil atau katakanlah rakyat biasa yang melihat anggota DPR merapatkan tentang draf suatu undang-undang yang bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, memprotesnya dengan komentar miring. "Ah, buat apa waktu selama itu? Menghabiskan dana saja." Demikian komentar yang biasa didengar.
Tentu, bagi yang pernah merasakan jalannya penyusunan konstitusi ini akan merasakan suatu hal yang biasa. Rapat penyusunan konstitusi untuk kampus berjalan 5-6 jam itu biasa. Dan bisa jadi untuk negara itu 3-4 bulan itu biasa, atau malah tergolong cepat. Bisa dibayangkan, dalam sebuah tim, katakanlah organisasi kemahasiswaan milik kampus, terdiri dari setidaknya 30 orang (dalam hal ini bisa dikatakan sebagai pengurus organisasi). Dari 30 orang tersebut, saya yakin bahwa tiap pribadi memiliki pandangan tersendiri. Pandangan ini kemudian mempengaruhi cara berpikir seseorang. Dan hal inilah yang sebenarnya membuat rapat konstitusi itu berjalan sangat lama.
Mengapa demikian? Misalkan saja kita sedang membicarakan tentang buku. Si A bisa berpendapat bahwa buku itu kotak. Si B menyanggah bahwa buku itu balok. Bahkan, si C menyanggah juga bahwa buku itu untuk menulis. Setidaknya demikianlah perbedaan pandangan yang terjadi. Dan ini saya rasa wajar di negara Indonesia ini. Sebagai contoh saja dalam penyusunan konstitusi yang saya ikuti kemarin, satu pasal saja bisa terjadi perbedaan pendapat. Baik perihal bahasa, maupun esensi dari undang-undang tersebut. Bahasa? Tentu Anda tertawa kalau ternyata kalau ternyata yang diperdebatkan adalah bahasa. Perlu diketahui bahwa seluruh konstitusi yang ada di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Ini juga merupakan salah satu poin yang menyulitkan. Kalau ini tidak diberlakukan, maka bahasa dalam konstitusi itu akan multitafsir dan terdapat kemungkinan multibahasa yang pada akhirnya tidak bersifat universal. 
Tantangan kedua adalah mengenai keberlanjutan dari pasal-pasal dalam konstitusi. Maksudnya adalah esensinya bagi perkembangan organisasi masa depan. Tentu ini tidak mudah karena harus memiliki pandangan jauh kedepan mengenai kondisi organisasi. Artinya, pemikiran perlu visioner. Percuma bila membuat sebuah konstitusi hanya untuk satu kepengurusan saja. Maka, perlu dipertimbangkan aspek-aspek lainnya yang dapat menunjang perkembangan organisasi di masa depan.
Membuat konstitusi tak semudah yang dibayangkan. Tinggal membuat saja dan langsung disetujui. Jika Anda orang yang beradab dan berpendidikan, sebaiknya tinggalkan saja pandangan seperti itu. Bila masih juga belum percaya dengan proses penyusunan konstitusi itu, bisa menghubungi organisasi kampus terdekat untuk mencoba ikut dalam kongres mahasiswa atau semacamnya untuk mendapat pencerahan mengenai proses pembuatan konstitusi. Konstitusi yang dibuat tanpa pertimbangan hanya akan menjadi sampah saja. Dan konstitusi yang digodog secara sembarangan dalam tempo yang sangat singkat, justru patut dipertanyakan keberlangsungannya di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar