Senin, 07 Maret 2011

Komersialisasi Pendidikan

Komersialisasi pendidikan bukan merupakan kata-kata baru. Terutama di kalangan aktivis yang bergerak di bidang pendidikan. Komersialisasi pendidikan merupakan hal yang sudah kompleks dan mengakar. Sehingga, penyelesaiannya saat ini pun hanya terkesan sebagai sebuah awang-awang saja. Langkah konkret yang sebenarnya telah matang, dimentahkan kembali oleh para pelaku-pelaku pendidikan.
Komersialisasi sendiri memiliki arti singkat sebagai kegiatan menjadikan segala sesuatu sebagai barang dagangan. Bahkan suatu hal yang sebenarnya tidak pantas menjadi barang dagangan sekalipun, baik berkaitan dengan hajat hidup rakyat banyak, atau yang memang tidak layak untuk diperdagangkan sekalipun. Dagangan disini memiliki kata dasar dagang, yang dalam arti yang sempit biasa diartikan sebagai kegiatan menjual sesuatu (dalam hal ini barang) untuk mencari keuntungan.
Komersialisasi pendidikan, bisa diartikan dengan memperdagangkan pendidikan. Mencari keuntungan melalui pendidikan. Bahkan, diartikan juga menjadikan pendidikan sebagai komoditas perdagangan, lengkap dengan segala serba-serbi yang ada di dalamnya. Mencari keuntungan melalui pendidikan sebenarnya tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan. Tapi, kenyataan saat ini komoditas pendidikan mulai diminati banyak orang. Dan tak hanya itu, kini pendidikan tak lebih dari sekilo bawang merah yang menjadi komoditas perdagangan bangsa ini.
Komersialisasi pendidikan sangat berbahaya, bila diartikan sesuai dengan jabaran secara etimologis di atas. Bahkan, sampai hal-hal kecil dalam pendidikan pun akan dikomersialisasi (baca : diperdagangkan). Tak dapat dipungkiri, masing-masing dari kita saat ini tengah merasakan betapa kejamnya pendidikan yang telah menjadi komoditas perdagangan. Bahkan, ibaratnya tusuk gigi di warung makan pun kini harus membayar. Seperti itu pula lah yang terjadi dalam pendidikan kita. Ketika kelas 3 SMA lalu, atau mungkin siswa kelas 3 SMP yang hendak mencari sekolah, secara tidak langsung pendidikan telah menjadi komoditas pendidikan yang terkejam. Lihatlah berbagai lembaga bimbingan belajar yang menjamur di kota-kota besar. Sesungguhnya, mereka tidak menjanjikan kelulusan yang hakiki. Dalam hal ini, kelulusan yang hakiki juga tidak dapat dicapai apabila si pelaku tidak memiliki niat untuk mencapainya. Tapi, hal ini lain. Kita berbicara soal komoditas pendidikan dalam lembaga bimbingan belajar yang dengan enaknya diperjual belikan. Misalnya saja, jika ingin ini ingin itu, ingin lulus ujian di universitas A, B, C, harus membayar sekian. Begitu juga ketika kita sekolah di SD sampai SMA bahkan. Ada kewajiban membeli buku ini buku itu. Ini juga secara tidak sadar merupakan komersialisasi pendidikan. Bahkan, biaya pendidikan selalu naik sekian kali lipat setiap tahunnya. Dulu saya masuk SMA harus membayar Rp 6 juta untuk uang gedungnya. Tapi, apa bisa dibayangkan uang 6 juta itu saat ini hanya bisa dipergunakan untuk masuk SD saja? Benar-benar mengerikan.
Lebih mengerikan lagi ketika di Universitas. Untuk masuk jurusan favorit saja, harus membayar sekian juta rupiah. Bahkan, di salah satu universitas negri, untuk masuk jurusan Kedokterannya saja diharuskan membayar minimal Rp 80 juta. Beruntung masih ada SNMPTN, sehingga bagi yang benar-benar cerdas dan tidak mampu secara finansial masih bisa masuk ke Universitas Negri pilihannya. Tapi, selepas dari proses seleksi itu ternyata masih belum lepas juga dari komersialisasi pendidikan. Pungutan-pungutan semacam uang gedung lah, yang bisa dibilang penggunaannya sebenarnya kurang realistis. Belum lagi intimidasi dosen yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Misal menjual pernak-pernik keperluan kuliah, seperti handout, perlengkapan praktikum, dan lain sebagainya.
Terkadang, komersialisasi ini berjalan tanpa kita sadari. Alasan yang diberikan oleh pelaku komersialisasi pendidikan bermacam-macam. Dan yang sangat berbahaya adalah terdengar sangat masuk akal bagi yang menuntut kejelasan. Seperti misalnya uang gedung. Ada rinciannya sekian sekian. Tapi, ketika mau mencermati lebih jauh, apa mungkin membangun atau merenovasi gedung A dengan kualitas yang demikian itu habis biaya sekian milyar? Ini perlu pencermatan kritis. Atau misalnya pada transaksi jual beli pernak-pernik pengajaran. Peralatan ini tidak wajib dibeli. Tapi, ketika akan membuatnya sendiri, tentu akan memakan waktu dan hasilnya tidak akan sebaik ketika beli. Hasil yang buruk, maka nilai pun juga akan buruk. Benar-benar pemanfaatan sebuah kesempatan yang sangat mini sebagai sebuah peluang bisnis yang luar biasa. 
Apa dampaknya komersialisasi pendidikan? Bagi kaum ber-duit tidak masalah. Karena uang yang dikeluarkan bisa bak mengeluarkan secara langsung dari ATM. Tapi, yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua masyarakat Indonesia adalah orang yang kaya. Sebagian besar penduduk Indonesia adalah masyarakat menengah kebawah. Ini artinya, ketika komersialisasi pendidikan semakin merajalela, kesempatan belajar bagi masyarakat menengah kebawah akan semakin terenggut. Dan ini artinya telah merenggut hak asasi manusia untuk memperoleh pengajaran dan pendidikan. Biaya pendidikan semakin tak terjangkau. Dan yang muncul di kemudian hari adalah masyarakat miskin hanya dapat menikmati pendidikan yang ecek-ecek atau kurang bermutu. Atau bahkan bisa masuk ke fakultas yang bermutu di universitas yang amat baik pula, tapi kuliahnya harus mogol karena tidak kuat membeli buku, perlengkapan kuliah, dan kebutuhan-kebutuhan sekunder kuliahnya. Perlu diketahui juga, harga buku yang diperlukan di semester 2 di Fakultas Kedokteran Gigi saja sudah habis sekitar Rp 1,2 juta. Seandainya harga terus naik, dan kebutuhan semakin meningkat, maka niscaya bahwa di masa depan akan semakin jarang orang-orang dari kalangan menengah kebawah bisa menduduki fakultas-fakultas favorit di perguruan tinggi yang baik.
Negara membutuhkan kekritisan kita dan keberanian kita. Komersialisasi berlangsung dengan pilihan. Seandainya kita bisa memilih jalan tanpa komersialisasi, ini tentu akan baik. Bagaimana caranya? Mungkin kurang mendidik. Tapi sebaiknya menjadi kaum yang sedikit tidak mudah percaya dan menjadi kaum yang oportunistis. Tinggal keberanian kita untuk memilih.Yang jelas, komersialisasi ini secara perlahan akan membawa kehancuran bangsa. Komersialisasi hanya akan membuat orang yang sudah kaya akan semakin berjaya, dan yang miskin akan mati perlahan. Jangan jadikan pendidikan bagus hanya dapat dinikmati oleh orang kaya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar