Selasa, 13 Desember 2016

Jogjakarta Dalam Cengkeraman Kemacetan (Part 3)

REKAYASA LALU LINTAS SEBAGAI SOLUSI JANGKA PENDEK

Solusi jangka pendek ini hanya bertujuan untuk mengurangi kemacetan sementara saja, atau bahkan hanya memindahkan kemacetan saja. Biayanya relatif lebih murah daripada solusi jangka menengah dan solusi jangka pendek (dan ironisnya, biasanya hanya ini yang pemerintah daerah bisa lakukan untuk sekedar mengatasi kemacetan sesaat, soalnya murah! Miris!).

Ada dua solusi. Pertama, mengatur persimpangan jalan. Kita sebagai orang Jogja Cuma tau kalau lampu merah di persimpangan itu Cuma 1. Jadi kalau hijau, ya kita jalan grudugan gitu. Nah, tipikal pengendara inilah yang akan bingung dan sering kena tilang kalau mengemudi di Jakarta maupun di Surabaya. Di Surabaya, di beberapa persimpangan yang tiap simpangnya ada 3 lajur, ada 3 lampu merah disitu. Jadi tiap lajur ada 1 lampu merah. Jika lampu merah paling kiri yang nyala, maka yang boleh berjalan hanya lajur kiri yang akan berbelok ke kiri. Demikian jika lampu merah tengah dan kanan sendiri menyala hijau.

Untuk mempraktekkan saran pertama ini cukup sulit juga. Misalkan sebuah pertigaan. Arah yang mungkin diambil hanya belok kiri/kanan dan lurus. Setidaknya harus ada 2 lajur dalam setiap persimpangan. Jadi, perlakuan untuk yang akan jalan lurus dan berbelok akan berbeda menyesuaikan lampu merah di masing-masing lajur (biasanya yang lampu hijaunya lama diprioritaskan untuk arah yang sering macet panjang karena lampu merah). Demikian juga dengan perempatan. Kalau perempatan, ada 3 arah yang akan dituju: lurus, belok kiri, dan belok kanan.

Supaya tidak bingung, saya buat realnya saja. Saya ambil contoh perempatan Kentungan. Saat ini, dari timur (ringroad), barat (ringroad), dan selatan (cemara 7/dari UGM) sudah dibuat 3 lajur. Tinggal dari arah utara (kaliurang atas) saja yang belum dibuat 3 lajur. Nah, ketika semuanya sudah dibuat 3 lajur, maka pengaturan persimpangan jalan ini dapat dilakukan. Jadi, bisa dibuat demikian: saat dari arah utara ke selatan (dari Kaliurang ke UGM) lampu menjala hijau, pada saat yang sama juga dari arah selatan ke utara, selatan ke barat (UGM ke Monjali), dan utara ke timur (kaliurang ke Gejayan) juga menyala hijau. Saat keempat arah tersebut menyala merah, kemudian dari arah selatan ke timur, utara ke barat, timur ke selatan, dan barat ke utara lampu menyala hijau. Kemudian yang terakhir adalah dari timur ke barat, barat ke timur menyala hijau, dan seterusnya. Lebih kurang demikian ilustrasinya supaya lebih paham. Sehingga kemacetan karena lampu lalu lintas yang terlalu lama dapat dihindari.

Cara kedua adalah dengan memberlakukan jalan 1 arah. Memberlakukan jalan 1 arah ini endingnya sama dengan memperluas penampang jalan. Dengan adanya jalan 1 arah, maka akan mengurangi jumlah kendaraan yang lewat. Tapi, resikonya, ketika menerapkan jalan 1 arah ini pejabat berwenang harus mempersiapkan jalan pintas dan solusi ini hanya memindahkan kemacetan saja. Dengan adanya jalan pintas, warga kampung harus siap jika tiba-tiba jalan kompleksnya jadi ramai dilewati kendaraan.

Yang terjadi adalah seringnya jalur satu arah ini lebih sering hanya memindahkan kemacetan saja. Jalan yang dibuat satu arah memang jadi lebih lancar, tapi kemudian jalan lain di dekatnya jadi lebih padat/macet karena ada pengalihan arus. Contoh nyatanya bundaran UGM yang saat ini ditutup dari arah timur ke baratnya. Memang jadi tidak macet, tapi kemudian ruas Jl Cik Di Tiro (Panti Rapih) menjadi sangat padat cenderung macet.

Ketika, membuat devider pada jalan yang memiliki 2 atau lebih lajur. Kadang, jalan ini macet karena orang menyeberang, belok atau putar balik sembarangan. Ketika diberikan devider tentu tindakan warga yang demikian itu akan berkurang drastis. Sehingga jalanan tidak lagi macet. Tetapi, kelemahannya adalah lagi-lagi jalan-jalan alternatif atau jalan di pedesaan menjadi lebih ramai dilalui kendaraan. Sekaligus juga bakal banyak beton devider yang kemudian dirusak supaya bisa putar balik/ menyeberang dan muncul pekerjaan baru: Pak Ogah.

Penerapan solusi jangka pendek sebenarnya merupakan cerminan kekalahan pemerintah secara telak. Kenapa pemerintah salah? Kenapa harus pemerintah yang salah? Padahal solusinya seharusnya kita sendiri bisa menciptakan? Seperti misalnya naik angkutan umum, berjalan kaki, naik sepeda, dll dll. Ya, kita bisa menciptakan solusi kita sendiri. Tapi tanpa ada campur tangan pemerintah, berapa lama kita bisa bertahan dengan solusi kita sendiri? Ibarat kita berak tanpa ada kloset atau WC, sehingga kita yang sudah biasa berak di kloset yang bersih harus berak di kebun atau di pinggir sungai. Berapa lama kita mampu bertahan? Demikian juga solusi. Kita jalan kaki dan bersepeda, namun lingkungan jalan sudah tidak aman dan nyaman: jalur sepeda diserobot kendaraan bermotor, trotoar sudah mulai tidak ada atau beralih fungsi jadi ‘jalur alternatif’ pengendara motor. Seberapa kuat pun mental kita, sepertinya jika penyedia fasilitas ini tidak sadar dengan fungsinya maka lama kelamaan keinginan dan tekad kuat kita akan berubah.

Kekalahan pemerintah mana yang dimaksudkan? Ya, kita ambil contoh Jl C Simandjuntak. Tahun 2014, jalan tersebut masih 2 arah. Tapi, hanya karena alasan ‘jalan dijadikan tempat parkir bagi usaha di sekitar jalan’, kemudian jalan C Simandjuntak menjadi 1 arah ke selatan saja. Hal ini sudah menunjukkan kekalahan pemerintah terhadap pengusaha. Padahal, jelas tertuang dalam peraturan (pasal berapa saya tidak tahu, bagi yang tahu monggo) bahwa tiap ijin usaha yang diberikan harus mempertimbangkan segala jenis dampak lingkungan. Tidak hanya berhenti pada dampak karena limbahnya, tapi kalau tidak salah, saat ini juga harus jelas dampak terhadap lalu lintas yang ditimbulkan dari usaha tersebut. Seyogyanya juga, setiap tempat usaha menyediakan tempat parkir yang layak bagi konsumennya, tanpa harus memakan badan jalan. Tapi namanya manusia yak, yang penting untung banyak. Urusan sama pemerintah bisa diatasi bareng-bareng.

Kekalahan kedua sekaligus kesalahan terbesar pemerintah adalah: memilih untuk diam dalam menghadapi kemacetan Yogyakarta yang kian hari kian mengerikan. Memilih untuk diam terhadap suatu masalah, adalah kesalahan terbesar. ‘Diam kan berarti berpikir!’. Pertanyaannya, akan berapa lama lagi diam seperti ini? Sampai ruas jalan di Jogja macet total berkilo-kilo meter? Sampai tingkah laku pengendara kendaraan bermotor seperti koboi? Ngawur tidak beraturan?


Semua solusi pasti ada resiko, dan sepertinya solusi untuk membangun transportasi umum adalah yang terbaik. Pemerintah tidak lagi boleh hanya memikirkan perutnya sendiri-sendiri. Tidak lagi boleh hanya memikirkan untungnya apa untuk dirinya sendiri dalam mengambil keputusan. Sepertinya era yang demikian ini di Yogyakarta harus segera diakhiri. Demi Yogyakarta yang lebih baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar