Rabu, 19 April 2017

Jakarta: Selamat, Semoga Ini Tidak Menjadi Contoh

19 April 2017. Langit Sleman sore ini mendung, sebagian besar hujan deras tak terkira. Apa hubungannya dengan pilkada DKI? Tidak ada. Sungguh tidak ada. Ini cuma laporan cuaca Sleman dan sekitarnya saja. Biasa, sedang musim pancaroba sehingga kadang hujan datang tiba-tiba.
Pilkada DKI memang baru saja usai, segera setelah masing-masing quick count mengumumkan hasil akhirnya. Bak Tuhan yang sudah bisa meramalkan siapa pemenangnya, seolah-olah masyarakat sudah mengiyakan hasil tersebut. Kesimpulan saya: sungguh, Indonesia adalah negara yang teramat sangat religius, sangat mencintai Tuhannya.

Entah mengapa dimana-mana perbedaan agama selalu menjadi hal yang sangat empuk untuk dipergunjingkan. Tidak hanya saat pemilihan kepala daerah, namun pada pemilihan legisatif sekalipun. Semuanya pasti akan kompak: pilih yang seiman.

Agama mana saja kah yang selalu menggunakan jargon ‘pilih yang seiman’? Saya rasa semua agama dimanapun di Indonesia selalu mengutamakan yang demikian. Dimana-mana mayoritas secara jumlah harus memimpin. Bukan lagi perkara kualitas, tapi perkara jumlah. Inilah kelemahan sistem demokrasi, tetapi sekaligus menguntungkan bagi pihak mayoritas, dimanapun mereka berada.

Ketika memang ‘pilih yang seiman’ merajalela dimana-mana, maka tidak bisa luput dari serangan-serangan bernada SARA. Inilah yang perlu diperbaiki. Menangnya Anies-Sandi melalu quick count bisa jadi salah satu perseden buruk bagi demokrasi di Indonesia: kenapa kita tidak melakukan serangan berbau SARA supaya menang? Adanya perang SARA ini, secara tidak langsung, menguntungkan kubu Anies Sandi juga.

Sungguh, jika memang kemenangan calon nomer 3 ini karena adanya isu SARA yang dibawa sebagai micin untuk Pilkada DKI, maka ini benar-benar perseden yang sangat buruk. Kemudian generasi yang serba instan ini memilih jalan yang juga instan dan sangat tidak ksatria untuk memenangkan calonnya: memainkan isu-isu mayoritas-minoritas dan membenturkan mayoritas-minoritas dengan isu SARA.

Dan sepertinya juga, ketaatan total masyarakat Indonesia pada agamanya membuat isu-isu SARA ini digoreng dengan mudah, dan ibarat minyak pelumas melancarkan laju mesin-mesin menuju kekuasaan. Sungguh, kita religius, tetapi salah kaprah. Kita religius, tapi kita lupa dianugerahi juga akal dan budi untuk berpikir secara nalar.

Pilkada DKI Jakarta juga memberikan contoh buruk bagi kepemimpinan di Indonesia: buat apa adu program yang rasional? Buat apa adu pemikiran yang rasional? Buat apa memulai survey yang menghabiskan biaya banyak untuk sekedar memetakan kebutuhan rakyat? Buat apa jika ternyata dengan menggoreng isu SARA dan membenturkan mayoritas-minoritas saja sudah cukup? Akhirnya yang dikejar adalah ambisi untuk berkuasa, bukan lagi ambisi untuk membangun dan merangkul masyarakat. Jika hal ini kemudian diserap oleh para politikus busuk, sungguh, sungguh, benar-benar hal ini akan amat sangat berbahaya.

Ya, saya menangis hari ini. Bukan karena Ahok kalah. Saya nggak peduli, karena saya hidup dibiayai oleh bapak dan ibu saya, dan sebagian dari saya bekerja. Saya tidak hidup dibiayai Ahok, jadi buat apa saya bersedih Ahok kalah? Saya hanya sedih, seandainya perseden buruk Pilkada DKI Jakarta kemudian diterapkan di daerah-daerah lainnya hanya sekedar untuk merebut kekuasaan. Saya hanya sedih, seandainya ternyata kita semua belum cukup dewasa untuk belajar demokrasi yang benar. Dan saya hanya takut, kemudian hal-hal semacam itu dimanfaatkan di seluruh Indonesia untuk meraih kekuasaan, tapi kemudian merusak satu-satunya pegangan bangsa Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika.

Ya, jujur saya takut. Akankah generasi berikutnya bisa berpikir jernih dan memanfaatkan cara-cara yang lebih beradab untuk bisa mencapai tujuannya? Sungguh saya takut jika kemudian cara-cara ini digunakan tidak hanya ketika pilkada berlangsung, tapi bahkan pada saat pemilihan Ketua BEM di kampus, bahkan pada pemilihan ketua kelas di SD. Ketakutan saya berlebihan, semoga tidak terjadi. Semoga kita semakin didewasakan dalam demokrasi. Memahami agama adalah sebaik-baiknya manusia, namun mencampuradukkan agama dalam politik adu domba adalah sepicik-piciknya manusia yang diberikan anugerah kehidupan.

Akhir kata, selamat kepada Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Selamat bekerja, bekerjalah dengan total. Singkirkanlah ego kalian masing-masing, kalian diangkat oleh rakyat, maka apa yang kalian lakukan sudah sebaiknyalah untuk rakyat juga, bukan demi mulyanya kantong kalian pribadi. Wujudkan mimpi-mimpi kalian, tuangkan dalam program kerja yang mensejahterakan rakyat bersama. Talilah kembali tenun-tenun kebangsaan dan persatuan yang telah rusak karena Pilkada ini. Sungguh, energi untuk merusak jauh lebih sedikit dibandingkan dengan energi yang harus keluar untuk memperbaiki apa yang rusak. Sekali lagi proficiat!

Dan bagi Pak Basuki Tjahaja Purnama dan Pak Djarot, selamat masa kerja Anda sudah selesai. Mungkin ini saatnya bagi Anda sekalian untuk beristirahat, menikmati masa pasca kepemimpinan yang penuh ketenangan. Jangan jadi orang dengan post power syndrome yak, biarkanlah gubernur baru nanti melaksanakan tugasnya pasca mereka dilantik. Terima kasih Pak Ahok dan Pak Djarot yang telah memberikan contoh bagi kita semua: kepemimpinan yang apa adanya diri kita, tanpa perlu bersandiwara untuk melaksanakan tugas sebagai pemimpin. Sungguh, ini sangat jarang di era dimana pimpinan daerah berusaha tebar pesona menjadi orang yang seolah santun (padahal hobinya mabuk, main wanita, hidung belang, di rumah hobinya misuh-misuh) demi menarik simpati massa.


Sekali lagi, mari kita berdoa semoga konflik ini segera mereda dan tidak dimanfaatkan oleh generasi-generasi tidak bertanggung jawab. Indonesia tetap Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila tetap menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa yang satu, Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar