Rabu, 18 Juni 2014

Seputar Penutupan Dolly: Bisakah, Pentingkah?

Beberapa hari, bahkan beberapa minggu terakhir ini di Surabaya sedang hangat tentang berita penutupan Lokalisasi Dolly dan beberapa lokalisasi lainnya yang terletak di pinggiran Surabaya (Klakahrejo, moroseneng, dll) yang telah dilaksanakan sebelumnya. Penutupan Dolly menjadi topik terhangat minggu ini, karena kabarnya lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara ini (tapi saya tidak yakin dengan hal ini) akan segera ditutup. Bahkan, seorang dosen senior saya dengan santai menanggapi isu 'guyonan' ini dengan guyonan juga: "Piye mau mbengi, sido njajal diskonan ora? Jarene onok diskonan (nang Dolly)." (Gimana tadi malam, jadi coba diskonan atau tidak? Katanya ada diskonan (di dolly karena mau ditutup)."
Isu penutupan Dolly ini memang saya menganggapnya sebagai sebuah 'guyonan', sebuah tanggapan wayang kulit besar yang didalangi oleh Bu Risma, Walikota Surabaya. Bukan saya tidak setuju dengan penutupan lokalisasi sejenis Dolly ini, tapi ada sedikit hal yang menggelitik yang sebenarnya lebih urgent untuk segera diperbaiki daripada sekedar mengurusi lokalisasi. Saya, secara pribadi, bahkan setuju jika semua lokalisasi ditutup karena dapat merusak otak generasi mendatang (sebenarnya yang membuat rusak bukan lokalisasinya, tapi mentalitasnya dan budi pekertinya yang jorok dan tidak diajari hal-hal yang baik saja, akhirnya pikirannya jorok dan tidak bisa menahan hawa nafsu).
Ibarat pewayangan, penutupan Dolly adalah sebuah mega-drama yang melibatkan banyak tokoh dengan karakter masing-masing: ada yang benar-benar setuju, ada yang setuju karena dibayar, ada yang tidak setuju karena beberapa hal, ada yang setuju tapi padahal tidak setuju, ada yang netral, ada yang mencak-mencak, ada yang malah menjadikannya bahan guyonan -seperti yang saya lakukan. Selalu ada pro dan kontra dalam penutupan lokalisasi, dimanapun itu. Demikian juga yang pernah terjadi di dekat SMP tempat saya bersekolah dulu: Pasar Kembang, Yogyakarta. Ada banyak pendapat yang berkembang, dan saya mengkritisi dan berusaha melihat dari segi yang lainnya.
Penutupan Dolly ini sudah cukup terencana dengan baik: penutupan lokalisasi-lokalisasi kecil diluar dolly terlebih dahulu, diimbangi dengan pembinaan para PSK-Mucikari mengenai skill-skill yang bisa dilakukan setelah 'pensiun' sebagai PSK, dan pemberian kompensasi berupa dana bagi PSK-Mucikari-warga sekitar. Bahkan, semuanya dijamin memperoleh pekerjaan selama beberapa tahun kedepan. Semua prosesnya sangat baik, sangat sempurna bagi saya yang selama ini mengamati penutupan lokalisasi dimana-mana (yang polanya selalu main gropyok sana-sini, berusaha menghancurkan, lalu sudah padahal belum). Sayangnya satu, semua proses tersebut dilakukan dengan terlalu cepat. Sangat cepat bahkan. Pandangan saya pribadi, proses tersebut, jika berjalan dengan baik, akan memakan waktu 1-2 tahun, bahkan hingga 5 tahun, dan bukan proses yang mudah: perlu melibatkan koordinasi yang baik antara warga sekitar, tokoh lintas agama, dinas sosial, perlu negosiasi yang penuh secara perlahan-lahan antara pihak pro dan kontra, serta memberikan pemahaman yang mendalam mengenai bahayanya lokalisasi (lokalisasi adalah salah satu tempat yang tidak higienis, dimana mungkin semua jenis penyakit, tanpa terkecuali, dapat saling menular dari satu orang ke orang lain, dan jenis penyakitnya pun berbahaya semua). Saking cepatnya proses yang dilakukan (hanya dalam hitungan bulan, melalui proses deklarasi-pembinaan-pemberian uang-lalu ditutup), saya kemudian menangkap bahwa penutupan Dolly ini murni hanya ambisi yang tak bisa ditahan dari Bu Risma. Padahal, kalau Bu Risma bisa sedikit bersabar dan legowo, hasilnya sudah pasti akan lebih baik dari sekarang ini. Lebih soft.
Pembinaan, baik dalam bidang skill dan kerohanian, serta pemberian modal usaha/uang, juga sudah cukup baik. Tapi sebenarnya ada yang lebih tepat. Bayangkan seorang PSK, tidak usah PSK muda, yang cukup tua saja, berumur sekitar 35-40 tahun. Dalam sekali bekerja, katakanlah ia mendapatkan gaji Rp 300.000,00 (bahkan katanya ada yang harganya mulai dari Rp 80.000-4 juta) yang merupakan gaji standart setelah bekerja. Dalam sehari, ia bisa bekerja 2-3 kali, yang artinya dalam sebulan (dengan asumsi hanya bekerja 25 hari, dan sehari bisa bekerja sampai 2 kali), maka dalam sebulan, ia bisa memperoleh gaji Rp 15.000.000,00. Jika dipotong untuk pemasukan mucikari, mungkin bersih ia akan menerima Rp 10.000.000,00 per bulan. Wow, PNS saja kalah lho! Kemudian sekonyong-konyong pemerintah memberikan biaya cuma-cuma dengan besaran yang bisa saya katakan tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan gaji mereka. Pernah mendengar kisah PSK yang bertobat tapi kembali lagi menjadi PSK karena gaji yang terlalu kecil? Saya berkali-kali mendengar cerita tersebut. Saat saya ada tugas di daerah lokalisasi Jarak, saya mendengarkan cerita ada beberapa ibu-ibu yang dulunya bekerja demikian dengan gaji yang sangat besar. Tiba-tiba lokalisasi akan ditutup dan mereka diajari untuk bekerja lainnya: menjahit, fashion, rumah makan. Memang mereka beralih profesi, tapi tidak bertahan lama setelah mereka sadar bahwa pendapatannya jauh menurun, sementara gaya hidup terlanjur tinggi. Akhirnya, kembalilah mereka ke jalan yang salah dan mengulang masa lalunya. Alasannya: penghasilan yang tinggi dan kerja yang enak, nggak perlu susah payah. Titik permasalahan utamanya bukan pada uang, tapi bagaimana para 'pekerja' ini bisa memanfaatkan uangnya yang mereka miliki ke arah jalan yang benar, dan bisa membebaskan mereka dari jerat 'perdagangan manusia' ini. Jalannya memang panjang, butuh waktu lama. Dimulai dari pendataan terlebih dahulu untuk mencegah PSK pendatang baru. Kemudian dimulai pembinaan, bagaimana memanfaatkan uang yang ada: tidak cuma untuk mabuk-mabukan, membeli baju-baju dan barang-barang mahal, tapi bisa untuk membuat usaha yang lebih bermartabat dengan penghasilan berlipat (saya rasa banyak orang yang bisa dan tahu tentang hal ini). Pembinaan tersebut dibarengi dengan penyegaran rohani dan pembelajaran kembali mengenai budi pekerti dan perbaikan mentalitas. Seiring pembinaan berjalan, usaha pribadi masing-masing PSK-Mucikari binaan juga berjalan, disini dilakukan evaluasi agar tidak terjadi PSK-Mucikari kambuhan. Karena kalau sampai terjadi PSK-Mucikari kambuhan, benar lokalisasi tersebut akan tutup, tapi akan muncul lokalisasi lainnya yang tersebar, dan ini lebih mengerikan. Baru setelah dirasa siap, maka lokalisasi dikosongkan dan siap ditutup. Tentu pembenahan di daerah lain selain daerah lokalisasi menjadi wajib dilakukan.
Kedua, mengenai penutupan lokalisasi dianggap bisa langsung menghentikan kegiatan pelacuran di kota tersebut. Ini menurut saya pandangan yang terlalu kekanak-kanakan. Penutupan lokalisasi hanya akan menghentikan secara simbolis kegiatan pelacuran di kota, tapi secara kenyataannya, praktek pelacuran justru menyebar ke berbagai titik kecil dan sukar dilacak. Namanya juga lokalisasi, fungsinya adalah untuk melokalisir kegiatan pelacuran (meskipun ini tidak sepenuhnya 100% bisa dibenarkan karena di dalamnya terjadi berbagai dinamika yang mengerikan: jual-beli manusia, penyiksaan, mempekerjakan anak di bawah umur, dll) dengan harapan kegiatan pelacuran diluar lokalisasi tidak terjadi. Ibarat didirikannya food court dalam sebuah pasar pakaian, harapannya pengunjung kalau makan ya di food court, jangan makan di lorong-lorong toko pakaian. 
Sudah cukup baik ketika sebuah kota memiliki lokalisasi, baik besar atau kecil, ya namanya tetap lokalisasi. Tugas pemerintah dan masyarakat sebenarnya tidak banyak: hanya melakukan kontrol sosial. Bagi saya yang tinggal di Surabaya baru 4 tahun ini, saya lebih sedih ketika mendengar kabar bahwa Kenjeran Park, sebagai sebuah tempat wisata unggulan Surabaya, menjadi tempat mesum setiap sore bagi puluhan bahkan ratusan remaja/dewasa jika dibandingkan mendengar berita seorang wanita tuna susila yang rela dibayar Rp 2000 untuk 'menservis' anak-anak SD di prostitusi Jarak. Meskipun sebenarnya kedua-duanya berita yang sangat menyedihkan bagi saya, dan kedua-duanya perlu ditindak lanjuti. Setidaknya, karena sudah ada lokalisasi, pemerintah dan masyarakat melakukan kontrol sosial terhadap yang 'mesum di lokasi umum'. Tidak layak bukan ketika berkunjung ke Kenjeran Park, ada sepeda motor tapi ternyata yang punya lagi 'enak-enakan' di parit dengan pasangannya (dan ini tidak cuma satu, apalagi kalau malam Minggu)? Kemudian dilanjutkan lagi dengan salon-salon plus-plus yang masih menjamur di sana-sini, prostitusi berkedok spa dan pijat, hotel-hotel mesum yang masih menjamur terutama di malam Minggu (bahkan di Surabaya, ada lho beberapa hotel yang mendapat ratting sebagai 'hotel mesum'). Yang demikian ini seharusnya mulai ditekan, dikontrol karena lebih mengerikan karena lebih menggiurkan: biasanya yang di spa ini wanitanya dibayar sangat mahal dengan bonus berlimpah-limpah dan kadang usianya masih cukup muda. Bahkan kadang di bar dan cafe pun banyak terjadi transaksi, yang mirisnya, tidak jauh beda dengan transaksi di prostitusi: jual-beli nafsu kepada wanita.
Daripada melakukan hal yang sangat besar dengan tergesa-gesa, sebaiknya memang pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkot Surabaya dan Ibu Risma, lakukanlah hal-hal yang kecil dan terarah jika memang tujuannya adalah Surabaya yang bebas dari prostitusi dan praktek jual-beli syahwat (lain halnya kalau memang benar tujuan penutupan Dolly ini cuma demi pencitraan). Lakukanlah hal kecil dengan mengontrol praktek-praktek mesum di Kenjeran Park, di taman-taman, di daerah sepi (bahkan sempat beredar kabar Makam Peneleh juga jadi tempat mesum), hotel-hotel mesum (jangan hanya karena setoran besar lalu tidak ada kontrol dari pemerintah), menanamkan kembali pelajaran budi pekerti berkaitan hal ini di sekolah-sekolah (mentalitas remaja saat ini rusak, pikirannya selangkangan melulu. Omongannya selangkangan tidak masalah, yang penting pikirannya tidak selangkangan. Memang remaja adalah masa paling labil dan ingin tahu, disinilah perlu dipoles agar rasa ingin tahu mereka tidak menjadi rasa penasaran dan akhirnya ingin mencoba-coba akhirnya ketagihan). Setelah yang dipinggiran beres, atau bersamaan dengan itu, bisa dimulai program penutupan lokalisasinya secara bertahap, tenang, nggak usah koar-koar di media massa. Sehingga bisa dipisahkan mana massa yang pro dan kontra.
Pun sebenarnya Surabaya tidak terkenal dengan Dollynya. Cuma orang bodoh yang mengganggap Surabaya adalah Dolly. Surabaya lebih dari sekedar itu.

*Refleksi dari pola penutupan prostitusi yang begitu-begitu saja. Rata-rata sama: semua pimpinan daerah mau dianggap 'suci', bersih, dan heroik dengan menutup lokalisasi. Padahal, pimpinan daerah harus bisa berpikir lebih daripada itu. Kalau yang kecil-kecil (mesum di taman, di parkiran, di tempat wisata) saja tidak diberantas, bagaimana yang besar-besar mau diberantas?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar