Rabu, 11 Juni 2014

Yogyakarta (Bergerak) Menuju Perubahan

Secara kronologis, 2 bulan saya tidak kembali ke Jogjakarta tepat pada tanggal 9 Juni kemarin. Tapi, fakta menunjukkan, hampir 6 bulan saya tidak jalan-jalan menyusuri sudut-sudut kota Jogja yang katanya Katon Bagaskara "Bersahabat, penuh selaksa makna". Biasanya, ketika pulang kampung menjadi PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad) saya hanya pilih 'ndekem' di rumah, nganter Ibu ke kantor, cangkrukan di warung burjo waktu malam, beli siomay mbak solam di depan SD Tarakanita, atau mungkin cuma ziarah ke Sendang Sono. Kemarin, 9 Juni saya kembali berjalan-jalan menyusuri sudut-sudut kota Jogja, terutama di daerah dekat SMA saya, SMA Kolese De Britto, daerah Jalan Kaliurang, Jalan Magelang, Jalan Godean, Jalan Bantul, Ring-Road Utara, Jalan Gejayan, Sagan, Jalan Lempuyangan, sampai Jalan Solo. Terlepas dari isu-isu penyerangan terhadap agama tertentu dan penyerangan etnis tertentu yang terjadi di Jogja belakangan ini, Jogja sudah mulai berubah, mulai bergerak secara perlahan meninggalkan Jogja yang dulu: bersahabat penuh selaksa makna.
Secara jelas tapi pasti, Jogja bergerak menuju ke arah kota dengan gaya seperti kota metropolitan, meskipun sebenarnya Jogja sendiri belum siap menjadi sebuah metropolitan. Sudah mulai terlihat arah pergerakannya ketika tahun 2006, saat Ambarrukmo Plaza berdiri. Dan lebih jelas lagi saat memasuki masa-masa akhir 2013: banyak izin membangun bangunan besar (apartemen, mall, dlsb) yang mulai diterbitkan. Sampai saat ini, sudah ada beberapa apartemen lebih dari 15 lantai yang siap huni, terutama di Jogja utara. Ada beberapa mall diantaranya Hartono Mall, Jogja City Mall, dan total ada sekitar 5 mall baru yang berdiri di Jogja-Sleman. Hartono Mall sendiri diklaim akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara (saya tidak yakin itu karena Tunjungan Plaza saja sekarang sudah hampir sampai Tunjungan Plaza 6). Pola ini secara tidak langsung menjadikan Kodya Jogjakarta sebagai pusatnya, sementara pertumbuhan kota akan bergerak ke arah Sleman (tidak bisa dipungkiri, selain lokasi yang strategis, juga hawanya yang sejuk masih menjadikan Sleman sebagai primadona).
Berkembangnya Jogja ke arah metropolitan, tentu akan mengalami penyesuaian dalam berbagai hal. Salah satunya yang paling ketara adalah gaya hidup. 4 tahun yang lalu, saya hanya mengenal warung Spesial Sambal, Waroeng Steak, Popeye Chicken, KFC, MCD, Texas Chicken, dan es teler Kridosono sebagai makanan dengan kelas harga yang mahal. Untuk cafe/tempat nongkrong berkelas, saya hanya sempat mengenal Dixie meskipun saya sendiri belum pernah 'nyangkruk' disana, paling mentok di selasarnya Galeria Mall sekalian WiFi gratis. Sekarang semuanya berubah, makanan mahal disana-sini, tempat nongkrong mahal disana-sini. Dulu nongkrong bisa Rp 5.000,00 sudah ngobrol sepuasnya, saat ini rata-rata mahasiswa dan orang muda harus mengeluarkan setidaknya Rp 20.000,00 untuk nongkrong (biaya ini hampir sama dengan di Surabaya, untuk sekali nongkrong habis setidaknya RP 25.000-50.000). Makan Rp 25.000,00 saja sekarang dianggap wajar bagi sebagian besar 'orang Jogja' (entah ini yang benar-benar berasal dari Jogja atau pendatang yang sok-sokan Jogja). Tapi, menurut saya sebagai orang asli Jogja, makan Rp 25.000, bahkan untuk saat ini, untuk hari ini tulisan saya diterbitkan, adalah mahal! Rp 25.000 saya bisa makan 3 kali, itupun layak dan lauknya enak+banyak (coba bisa dibalik, saya berasal dari Surabaya lalu ngekos di Jogja, sisa banyak uang saku saya :D).
Belum lagi dengan trend berkendara. Terakhir, ketika saya SMA, setiap pagi saya masih menjumpai serombongan orang yang bersepeda untuk berangkat bekerja. Kalau pagi biasanya didominasi anak sekolah, sedikit siang biasanya didominasi pekerja-pekerja yang sudah berumur. Kali ini trend berubah, sepeda (mungkin) sekarang cuma buat sekedar gaya-gayaan. Dipakai kalau cuma ada Car Free Day. Jumlah kendaraan, baik mobil atau motor, bertambah dengan tajam. Jalanan mulai macet, transportasi massal (bis kota semacam Kobutri, Kopata, Puskopkar, Aspada, DAMRI) mulai ditinggalkan dan jumlahnya pun semakin sedikit. Meskipun ada peminatnya, tapi hanya ramai pada jam tertentu: saat berangkat sekolah dan pulang sekolah. 2006, ketika saya SMP, saya masih mengalami betapa bis kota ramai setiap saat. Tidak ramai hanya jam tertentu. Jumlahnya pun banyak. Dulu, bis kota jalur 12 hanya berjarak maksimal 5 menit antar bisnya. Sekarang mungkin sudah lebih karena jumlah angkutan kota yang menipis.
Kondisi ini, terutama berkaitan dengan gaya hidup, perlu dikontrol dengan baik. Saya mengkritisi satu hal dalam tulisan ini: mengenai gaya hidup 'mahal' yang mulai menjamur di Jogja. Gaya hidup di Jogja mulai mahal, meskipun masih ada yang murah juga meskipun nyempil-nyempil di gang. Perubahan gaya hidup ini, lebih didorong dari adanya pendatang dari kota metropolitan (Jakarta, Bandung, Surabaya. Dan kebetulan corak yang dibawa ke Jogja adalah corak Jakarta dan Bandung) yang kemudian menyebar ke sekitar dengan cepat (biasanya di kalangan mahasiswa, yang dulunya nggak suka nongkrong jadi suka nongkrong, yang nggak suka dugem jadi suka dugem). Akhirnya, ketika gaya hidup 'metropolis' ini dikenalkan kepada masyarakat, akan ada suatu keinginan dari masyarakat untuk mengikuti gaya hidup ini: naik kasta dari gaya hidup biasa-biasa saja (cangkruk di angkringan, ngobrol di burjo, biasa makan di warteg, biasa naik angkutan umum) menjadi gaya hidup yang biasa disebut orang-orang metropolitan sebagai gaya hidup yang 'pantas', 'wah', dan 'mewah' (jadi biasa cangkruk di cafe mahal, tiba-tiba hobby dugem, maunya naik mobil ber-AC dengan alasan panas (padahal Jogja relatif lebih adem daripada Surabaya (?)) dan lain sebagainya). Bagi orang yang benar-benar mampu, dalam hal ini mampu secara finansial dan mampu dalam hal kontrol diri, tentu menaikkan kasta gaya hidup menjadi tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika orang-orang yang sebenarnya tidak mampu, kemudian berusahan menaikkan kasta dengan menghalalkan segala cara agar bisa dianggap 'sejajar' dengan orang-orang di sekitarnya. Perhatikan, kesetaraan tingkat dengan orang di sekitar tentu menjadi dambaan bagi setiap manusia. Kecenderungan yang terjadi adalah yang berada di bawah ingin sejajar dan sama yang berada di atas (demikian lebih kurang yang terjadi di Metropolitan) dan yang di atas tidak mau sejajar dengan menurunkan 'kasta'. Salah satu akibat dari pemaksaan kenaikan kasta ini adalah gaya hidup yang kemudian berubah yang kemudian lebih menghabiskan uang, dan karena uang habis (yang seharusnya cukup untuk hidup wajar) akhirnya minta kenaikan pendapatan (ke pemerintah). Mohon maaf, seperti yang terjadi pada kawan-kawan buruh kita: menuntut gaji yang bagi saya sangat tinggi (ingat, PTT Dokter Gigi di pelosok Sulawesi saja hanya diharga Rp 5.000.000 per bulan, itu pun tidak tentu dibayarkannya) dengan standar gaya hidup, yang menurut saya, gaya hidup menengah ke atas. Ini wajar sebagai salah satu bentuk perubahan gaya hidup pada masyarakat menengah ke bawah yang mencoba mendesak ke atas. Karena, salah satu ciri kota Metropolitan di Indonesia, ekonomi bergerak di atas, hanya bagi orang-orang kaya. Akibatnya, masyarakat kecil menengah yang disingkirkan, sebaik-baiknya nasib hanya didesak/dikelilingi oleh bangunan-bangunan besar/rumah-rumah mewah. Sekatnya akan sedemikian besar. Demikian pula yang saya alami di Surabaya, dan yang mungkin akan terjadi di Jogjakarta. Tinggal menunggu waktu.
Sedih rasanya ketika melihat anak-anak muda Jogja sekarang (yang saya prediksi segerombolan 6 orang, 3 diantaranya adalah pendatang) lebih memilih mengerjakan tugas di Pizza Hut, KFC, MCD dengan alasan kondisinya nggak mendukung banget. Alasan kondisi nggak mendukung, saya masih percaya jika diutarakan di Surabaya karena memang kalau belajar diluar (kecuali di Kampoeng Ilmu atau perpus kampus yang memang enak banget hawanya) suasana tidak memungkinkan: Asap kendaraan yang super padat, bising, dan hawa yang panas menyengat. Kalau alasan itu disampaikan di Jogja, sepertinya bullshit sekali. Banyak tempat sangat nyaman dan sangat murah hanya untuk sekedar ngerjain tugas kelompok: kos-kosan masing-masing (kos di Jogja lumayan besar-besar dan tersentralkan), perpustakaan universitas masing-masing, perpusda (sangat nyaman buat kerja tugas, lebih nyaman daripada KFC, MCD, dan tetek bengeknya itu), Ghra Sabha Pramana (saya dulu pernah kerja tugas di selasarnya GSP, dan nyaman sekali), area sekitar rektorat UGM (Bulaksumur), daerah Lembah UGM (makanya woy, Lembah jangan cuma dipakai mesum, dipake belajar kek), Selasar Galeria Mall, Angkringan Lek Man, dll dll sangking banyaknya tempat enak dan adem di Jogja cuma buat sekedar kerja tugas.
Pilihannya hanya ada 2: pilih bergabung dengan gaya hidup yang metropolitan banget (nongkrong di tempat mahal biar prestis, dugem, open bottle, makan-makanan mahal, pakai pakaian bermerk yang mahal-mahal biar keren) tapi perlu diingan UMR Jogja saat ini belum mampu bergerak ke arah sana, atau tetap menjadi 'Jogja yang sederhana' (cukup nongkrong di angkringan/burjo sambil berinteraksi dengan masyarakat yang unik, naik sepeda motor/angkutan umum/sepeda onthel sudah cukup, pakai pakaian nggak peduli merk yang penting rapi sudah cukup) dengan segala resikonya (resikonya mungkin akan kalah penampilan sama pendatang dari Surabaya, Jakarta, Bandung yang rata-rata penampilannya metroseksual sekali dengan gaya yang mencolok dan 'sangat masa kini sekali').
Kalau saya, tetap pilih menjadi Jogja yang sederhana, karena tidak perlu merubah dan pusing dengan diri saya terlalu banyak. Jogja adalah kota yang kental dengan keramahannya, kesederhanannya, dan kesahajaannya. Orang asli Jogja, yuk kembalikan kebiasaan yang sederhana, ramah, dan bersahajanya. Untuk para pendatang, boleh membawa kegemaran dari kota asal kalian, tapi tolong jangan cemari Jogja dengan segala hura-hura yang kalian miliki. Menikmati Jogja lebih baik dalam kondisi kesederhanaan dan kesahajaannya.

*Sebuah refleksi setelah 4 tahun hidup di kota Metropolitan Surabaya dan merasa Jogja akan bergerak menuju ke arah yang mengerikan. Semoga tidak benar-benar terjadi, meskipun saat ini sedang beranjak bergerak menuju ke arah sana. Semoga orang asli Jogja kembali tersadar dari hura-hura kota Metropolitan yang memabukkan tapi mematikan, dan kembali membawa Jogja yang sederhana dan bersahaja. Jogja bukan nama sebuah kota. Jogja adalah gaya hidup antimainstream, Jogja adalah jiwa, Jogja adalah hati, Jogja adalah spirit.

5 komentar:

  1. untunglah masih ada angkringan dan warung-warung murah di jogja. Paling ngga, 10rb uda bisa makan+minum.

    Anyway di Bendosari jg mau dibangun apartemen lho. Dan ketoke sawah-sawah lor omahku kae yo wis diincer nggo apartemen.

    Jogja butuh ruang hijau.
    #syedih

    BalasHapus
  2. Bendosari sebelah ndi cha sek dadi apartemen? hehehe kegelisahan itu gak hanya kowe sek merasakan cuk, orang2 yg lahir dan lama tinggal di jogja juga merasakan kegelisahan yg sama. deloken komen di salah satu status fbku. cuma kegelisahan ini belum menjadi sebuah gerakan yg besar, yg bisa mengembalikan wajah Jogja kembali istimewa.

    BalasHapus
  3. Yo nek aku tetep 3 kata: hentikan semua ini! Mahasiswa asli Jogja yang kuliah ng universitas ng Jogja harus mampu memperkenalkan 'jogja yang asli' itu seperti apa: yang lekat dengan kesederhanaan dan kesahajaan. Nek mung nggolek Kopitiam, Killiney, Solaria, Quali ki neng ndi-ndi akeh. Tapi menemukan sebuah angkringan dengan dinamika yang hidup antar pembelinya (meskipun tidak kenal satu sama lainnya sebelumnya) yo mung nang Jogja. Konsep iki angel dilakokke, soale sek kuliah neng Jogja saiki wae mayoritas pendatang, pendatang sek nduwe duwit dan kuat nuku pendidikan nang Jogja

    BalasHapus
  4. pilihan yang terbaik tetap berada pada jalur mewarisi tradisi khas jogja :)

    BalasHapus
  5. Bro meski saya bukan org Jogja, tp pernah kuliah di jogja dulunya,, merasakan hal yang sama dengan agan. Skrg jogja (at least area kota) terlalu metropolitan dan mahal dan manusianya mulai individual dengan gaya gaul barat (jkt / bandungnya).. Saya prihatin.. Saya pengin jogja yg lama kembali.. Jogja yang sederhana, welcome, dan santai.. :'(

    BalasHapus