Selasa, 24 Juli 2012

Pentingnya Pendidikan Religiositas Dalam Pendidikan Menengah

Tulisan malam kali ini sedikit menyerempet mengenai aspek rasa saling menghargai antar umat beragama di Indonesia. Mungkin sedikit keras karena menyinggung tentang perbedaan agama, yang merupakan sebuah krupuk renyah untuk menyulut sebuah konflik.
Agama, merupakan bahan bakar yang paling mudah disulut untuk memulai sebuah konflik. Di Indonesia, khususnya, semua hal, baik itu ekonomi, politik, pendidikan, ujung-ujungnya ketika sudah tidak ditemukan sebuah titik temu dan masing-masing pihak sudah saling membenci, isu SARA lah yang biasanya akan diangkat untuk turut meramaikan konflik ini. Biasanya, yang paling sering diangkat adalah isu-isu agama dengan menyebutkan karena orang ini beragama A, maka tabiatnya pun juga begitu. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa agama pun atau kepercayaan pun dapat mempengaruhi kepribadian dan sikap seseorang terhadap orang lainnya. Percaya tidak percaya, hal ini pun juga terjadi. Namun, hal seperti ini tidak perlu menjadi masalah dan diperdebatkan panjang lebar, apalagi bila sudah menyangkut doktrin-doktrin tertentu.
Perdebatan antar agama tentang memperebutkan bahwa agamanya lah yang paling baik juga merupakan sebuah hal yang umum dan lazim terjadi di masyarakat Indonesia. Bahkan, saat ini tidak hanya orang-orang yang sudah dewasa dalam hal ini telah mumpuni dalam bidangnya yang memperdebatkan hal ini. Bahkan anak-anak pun juga sudah mulai mempergunakan agama sebagai bahan olok-olok. 
Individu di Indonesia, pada umumnya memiliki agama adalah karena faktor 'turunan'. Dalam artian demikian, misalnya saya dilahirkan oleh keluarga yang beragama A, maka secara otomatis saya akan mengikuti agama A. Atau dapat juga berpola agama seorang anak pasti mengikuti agama salah orang tuanya. Jika agama kedua orang tua pun berbeda, maka ia akan memilih salah satunya. Namun, secara umum di Indonesia lebih sering menggunakan pola yang pertama. Sehingga, anak-anak dituntut ya dari awal agamamu itu, sampai mati pun ya harus itu. Hal ini sebenarnya ada baiknya dan ada buruknya. Baiknya adalah bahwa keluarga tersebut dapat mempertahankan bahwa keluarga tersebut seluruhnya adalah beragama A. Buruknya adalah bahwa ketika anak tersebut hanya diajari satu agama saja sejak ia lahir sampai ia mati, tanpa ia diperbolehkan sekedar mengetahui agama yang lainnya. Bahkan ada beberapa keluarga yang menyatakan tabu untuk belajar agama lain selain agama yang dianutnya sendiri.
Pendidikan agama, jika dilihat pun memiliki 2 sisi, menguntungkan dan tidak menguntungkan. Menguntungkan adalah ketika pendidikan agama dilaksanakan ketika pendidikan dasar karena pada pendidikan dasar ini, si anak perlu ditanamkan kecintaannya kepada agamanya sendiri, termasuk segala aspek kognitif mengenai agamanya masing-masing. Sehingga, pada akhirnya, si anak memiliki ketaatan dan kemantaban tersendiri kepada agama yang dianutnya. Pendidikan agama pada masa pendidikan menengah, terutama menengah keatas menurut pendapat saya sendiri kurang tepat. Masa-masa penanaman nilai-nilai agama saya rasa sudah cukup perlu dituntaskan ketika anak-anak mengalami pendidikan dasar. Pendidikan agama hingga pendidikan menengah atas, bahkan hingga kuliah justru kurang memberikan efek yang baik bagi perkembangan individu.
Pendidikan agama yang hanya dengan penekanan pada satu agama yang dianut hingga pendidikan selesai, ditambah lagi bahwa agama itu sifatnya adalah 'diturunkan' membuat orang tidak tahu mengenai agama lain dan akan selalu memandang bahwa agama yang dianutnya lah yang paling baik. Paling baik ini adalah karena tidak tahu agama yang lain. Ibaratnya ketika kita membeli sebuah barang, kita biasa menggunakan barang A dan kita menilai itu yang terbaik karena kita sudah biasa menggunakannya. Padahal, baik barang A,B,C, atau D itu sama saja dan menjadi buruk karena kita tidak pernah tahu apa itu barang selain barang A. Bukan merupakan hal yang tabu untuk mengetahui mengenai agama-agama lain, dan lebih baik lagi kalau mengetahui doktrin-doktrin yang ada. Karena merasa bahwa agama yang dianut ini adalah yang terbaik inilah yang bisa memicu minimnya toleransi. Dan inilah, yang menurut saya, merupakan sebuah bumerang di masa mendatang, terutama akibat pendidikan agama yang dilaksanakan terus menerus hingga proses pendidikan selesai. Lantas, apa yang harus ada? Harus belajar keenam agama yang ada di Indonesia pun juga suatu hal yang mustahil.
Inilah mengapa saya menyebutkan betapa pentingnya Pendidikan Religiositas pada pendidikan menengah bila dibandingkan Pendidikan Agama. Hal ini karena Pendidikan Religiositas memandang suatu permasalahan, suatu topik pokok kehidupan, dari segala macam agama. Ada memang beberapa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang sudah menerapkan Pendidikan Religiositas dalam kurikulumnya. Ketika melaksanakan pelajaran Pendidikan Agama, maka kita hanya melulu memandang suatu permasalahan ya dari agama yang kita anut saja. Tetapi, Pendidikan Religiositas ini dapat memandang secara lebih luas lagi sebuah permasalahan, tidak hanya melalui sisi agama yang kita anut saja, bahkan dari semua agama yang ada dibahas mengenai masalah tersebut. Mulai dari landasan Kitab Sucinya, hingga pendapat para tokoh agamanya. Religiositas mengajak siswa untuk memandang lebih jauh dari berbagai agama sehingga siswa tidak dikurung terus menerus hanya dari satu sisi agamanya saja. Religiositas juga mengajarkan siswa untuk memandang sebuah kasus secara universal. Bukan memandang kasus secara agamis. Ketika seseorang dituntut berpikir secara universal, artinya mencakup semua aspek agama yang ada di Indonesia, maka orang tersebut perasaan untuk menghargai sesamanya akan lebih tinggi.
Pendidikan Religiositas ini menjadi sebuah mata pelajaran yang penting dan perlu diajarkan untuk membuka mata hati kita, bahwa semua agama itu baik. Bahwa semua agama itu memiliki beberapa persamaan pandangan dalam menghadapi berbagai masalah. Dan dengan mengetahui agama yang satu dengan yang lainnya, maka orang pun akan memahami dan tidak akan lagi berkata bahwa agama yang dianutnya lah adalah agama yang terbaik. Kuncinya ada disini, keterbukaan dan rasa saling menghargai. Dengan demikian, harapannya adalah tidak terjadi lagi olok-olok mengenai agama, dan tidak ada lagi yang mengatakan bahwa 'agama saya adalah yang terbaik'.
Tulisan ini tidak mutlak kebenarannya. Namun, beberapa kenyataan memang menyebutkan bahwa hanya tahu (sekedar tahu saja) mengenai agama lain dapat meningkatkan rasa toleransi terhadap orang yang beragama lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar