Selasa, 17 April 2012

Pendidikan Dokter Gigi 5 Tahun: Sunatan Masal

Lama tidak menulis, saya berusaha hadir untuk kembali menulis. Kali ini topik yang, mungkin, sudah tidak segar, sudah lama, tapi ingin kembali saya kupas mengingat urgensinya untuk diketahui khalayak umum. Kali ini, saya akan membahas mengenai akselerasi (percepatan) pendidikan, terutama pendidikan dokter gigi. 
Seperti yang telah diketahui, banyak universitas berlomba-lomba menyajikan pendidikan S1 (Sarjana) dengan waktu pendidikan yang lebih cepat. Normalnya, gelar sarjana ditempuh dalam waktu 4-5 tahun. Namun, karena program percepatan ini, gelar sarjana dapat diraih hanya dalam waktu 3,5-4 tahun saja. Semua pendidikan sarjana mengalami percepatan, tanpa terkecuali pendidikan dokter gigi (PDG) dan pendidikan dokter yang kedua-duanya notabene pekerjaannya berurusan dengan jiwa seseorang. Sesungguhnya, pendidikan sarjana dokter gigi (lulus dapat gelar S.KG) yang dipercepat menjadi 3,5 tahun menjadi sebuah pertanyaan yang besar. Mungkin bagi banyak orang, hal tersebut menjadi hal yang membahagiakan karena pendidikan dokter gigi hanya cukup ditempuh selama 5 tahun sudah termasuk profesi dokter gigi, sementara sebelum ada percepatan ini pendidikan dokter gigi lengkap dengan profesinya paling cepat ditempuh 6 tahun. Namun, kebanyakan orang tidak akan melihat jauh ke depan bagaimana pendidikan yang tidak lengkap yang harus dialami oleh para calon dokter gigi ini.
Lama pendidikan 3,5 tahun saya rasa cukup menjadi penghalang bagi seorang calon dokter gigi. Waktu yang sedemikian cepat ini (anggap saja 1 semester waktu efektif hanya 3-4 bulan saja) harus mampu mempelajari kedokteran dasar ditambah bidang kedokteran gigi. Akibatnya, ketika waktu untuk kuliah saja sudah diperpendek, maka mata kuliah yang ada pun akan semakin diperpendek. Ini berakibat fatal karena apa yang dipelajari akan menjadi tidak menyeluruh. Sementara, yang namanya sistem tubuh tidak dapat dipelajari secara sepotong-sepotong, hanya bagian tertentu saja. Akibatnya, memang benar mahasiswa kedokteran gigi hanya akan mempelajari bagian-bagian tertentu yang berhubungan dengan maksilofacial saja. Maka, yang dirasakan mahasiswa kedokteran gigi pada umumnya adalah ada bagian yang seharusnya mereka tahu, tapi malah hilang. Sehingga, pengetahuan yang diperoleh pun tidak lengkap. Untuk memperoleh hal yang lebih dari mata kuliah melalui sistem SCL pun akan sangat mustahil untuk didapatkan dengan himpitan-himpitan tugas serta jadwal kuliah yang padat (simak tulisan saya selanjutnya mengenai sistem SCL yang disalahgunakan).
Akibatnya pula, ada cukup banyak kompetensi yang sebelumnya bisa dilakukan seorang dokter gigi angkatan tua yang kemudian tidak bisa dilakukan oleh dokter gigi angkatan muda. Akibat lebih fatalnya lagi, adalah bahwa lulusan fakultas kedokteran gigi ini akan menjadi dokter yang tidak utuh, pengetahuannya setengah-setengah karena sistem pendidikan yang hanya mengutamakan asal cepat saja. Maka, jangan salahkan dokter maupun dokter gigi ketika akan banyak dokter yang dianggap bekerja kurang profesional, bila dibandingkan dengan dokter-dokter terdahulu. Salah siapa? Salahkan bangsa kita sendiri yang selalu ingin yang instan-instan dan yang cepat-cepat. Jangan salahkan pula generasi muda yang akhirnya menjadi lulusan yang prematur dan akan menambah panjang rantai kemunduran bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar