Senin, 06 Februari 2012

Ubahkan Pikiranmu

Keprihatinan ini menuntun saya untuk menulis (kembali) dalam blog saya yang sederhana ini. Mungkin ini pandangan saya pribadi, tapi (mungkin) menjadi pandangan kebanyakan orang di Indonesia.
Masih tentang Kolese, khususnya Kolese milik Jesuit, atau lebih dikenal milik romo-romo ordo Serikat Jesus (SJ). Saya menulis ini bukan karena sedang banyak yang menulis tentang Kolese, tapi saya merasa bangga bisa mengenyam pendidikan di Kolese milik Jesuit, SMA Kolese De Britto. Jesuit sendiri memiliki 8 Kolese di Indonesia yang terdiri dari SMA Kolese Kanisius (Jakarta), SMA Kolese Aloysius Gonzaga atau lebih dikenal sebagai Gonz (Jakarta), SMA Kolese Loyola (Semarang), SMA Kolese De Britto (Jogjakarta), SMA PIKA (Semarang), SMA St. Mikael (Surakarta), SMA Le' Cocq D Armanville (Papua), dan Seminari Menengah St. Petrus Kanisius Mertoyudan (Magelang) yang diisukan kepemilikannya akan diambil alih oleh Keuskupan Agung Semarang. Kolese-kolese ini memang berbeda secara nama, namun nilai-nilai yang diperjuangkan adalah sama. Kami tidak dituntut sama dalam menjalani pendidikan di kolese ini, namun kami dituntut untuk menjadi pribadi yang benar-benar khas dan memiliki ciri khas yang unik sesuai karakter masing-masing pribadi.
Kembali ke topik utama, Kolese ini mengubahkan pikiran saya. Banyak hal yang membuat saya harus mengubah pandangan saya selama ini, terutama setelah saya sekolah di kolese. Pandangan saya yang pertama adalah bahwa orang yang pintar dalam pelajaran pasti adalah orang yang rapi, tutur katanya terjaga, rambut potongan cepak, dan kadang berkacamata. Pandangan saya dimentahkan ketika bersekolah di sini. Justru teman-teman saya yang juara olimpiade malah potongannya tidak rapi-rapi amat (di kolese tempat saya bersekolah, kalau rapi itu malah pasti sedang kena hukuman). Tutur katanya juga sama saja dengan teman-teman yang lainnya, dan wajahnya juga sama sekali tidak menunjukkan kalau dia pintar dalam bidang mata pelajaran. Malah cenderung pekok (bodoh, lugu, dan lucu bercampur jadi satu). Bahkan, yang wajahnya mbladhus-mbladhus (tidak karuan bentuknya) bahkan yang gondhes-gondhes yang biasanya identik tawuran dan tarikan di jalan raya, ternyata juga memiliki prestasi dalam berbagai hal. Bahkan, di Kolese Gonzaga (kalau tidak salah) untuk bisa berpenampilan mbladhus dan gondrong harus memiliki nilai diatas 70 (bayangkan di kolese untuk mendapatkan nilai 65 saja kadang sangat susah). Ini yang mengubah pandangan saya, memang benar kata-kata don't judge the book by the cover. Jangan pandang seseorang dari penampilannya saja, melainkan dari segala sisinya. Pintar pun tak harus rapi, bersih, tutur kata terjaga, dan jaim. 
Pandangan kedua yang berhasil dimentahkan adalah mengenai kebebasan. Bagi saya, dulu, kebebasan itu adalah suatu hal yang benar-benar sebebas-bebasnya, bebas lepas tanpa ada aturan. Kolese ini berhasil menambahkan kata bertanggung jawab di belakang kata bebas, sehingga menjadi bebas bertanggung jawab.  Pandangan banyak orang tentang kebebasan itu bisa dikatakan salah. Bebas yang baik adalah bebas yang bertanggung jawab. Artinya, kita dapat bertingkah laku bebas tanpa harus memakan atau mengurangi hak orang lain. Bebas dalam koridor kebebasan yang baik. Bebas pun belum tentu ada aturan. Yakinkah Anda jika bebas tanpa adanya aturan akan menjadi sebuah kebebasan yang bertanggung jawab? Saya rasa nihil besar. Di Kolese tempat saya sekolah ini, meskipun segala-galanya bebas, tapi tetap ada peraturan yang berlaku. Bahkan berlakunya lebih ketat. Sekolah lain, terlambat 1 menit masih boleh masuk. Di sekolah saya ini, bahkan pernah saya terlambat 1 menit lebih sedikit saja sudah diminta menghadap Sub Pamong (sejenis guru piket, tapi bukan guru piket. Jabatan yang berada di bawah Wakasek Kesiswaan). Kemudian, atas keterlambatan itu kami dihukum mulai dari push up, sit up, lari keliling lapangan hingga 50 kali (kadang dicicil), mencabuti tapak dara (tanaman yang sangat susah dicabut dan buat tangan sakit) di lapangan, hingga memandikan patung John De Britto sebesar itu di halaman kelas XII (ini pekerjaan paling memalukan). Bahkan ada juga yang karena saking seringnya terlambat di skors beberapa hari. Peraturan yang ketat ini justru semakin membiasakan kami untuk bebas, namun lama kelamaan dapat bertanggung jawab atas apa yang kami lakukan. Apalagi, kami sebagai laki-laki yang memang dituntut memiliki tanggung jawab lebih.
Di kolese ini, yang saya yakin tidak ada di sekolahan manapun, adalah pendidikan karakter. Ini ternyata penting untuk menjamin keberlangsungan bangsa dengan pribadi-pribadi yang berkarakter. Bayangkan negara ini tanpa anak muda yang memiliki karakter, memiliki kepribadian, dan memiliki pendirian. Ya akibatnya seperti sekarang ini. Secara tidak langsung, kita kembali dijajah oleh bangsa-bangsa barat dan oleh Jepang. Lulusan kolese ini, walaupun tidak pandai, tapi setidaknya memiliki kepribadian dan pendirian. Akan sangat berbeda ketika bertemu dan berbicara dengan alumni-alumni kolese-kolese ini bila dibandingkan dengan lulusan SMA-SMA yang lainnya.
Dan pandangan keempat yang berhasil dimentahkan lagi adalah bahwa dulu ketika SMP saya sangat tidak ingin masuk ke kolese ini. Saya ingin masuk SMA negri terbaik di Jogja saja. Namun, ketika saya telah lulus dari kolese ini dalam waktu yang sangat singkat dan mengalami seluruh dinamika dan pendidikan di dalamnya, saya kemudian mengubah pandangan saya dan berkata bahwa saya bangga bisa sekolah di SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Ad Maiorem Dei Gloriam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar