Senin, 13 Februari 2012

Don't Judge The Book

"Don't judge the book by the cover"


Lebih kurang memiliki arti, jangan menganggap remeh seseorang hanya dilihat dari baju yang ia kenakan atau penampilannya. Prinsip ini ternyata belum sepenuhnya dilaksanakan oleh orang Indonesia. Kebanyakan orang Indonesia akan memandang orang, bahwa orang tersebut baru layak diberikan penghargaan bila memenuhi kriteria menggunakan sandang yang cukup 'wah', membawa mobil pribadi yang cukup 'wah', dompet yang ketika dibuka berisi kartu kredit atau uang cash yang banyak, jabatan yang tinggi di mata masyarakat, dan yang terakhir yang membuat orang lain dihargai adalah tutur kata dan tindak tanduknya. Memprihatinkan bahwa tutur kata yang halus dan tindak tanduk yang sopan tidak lagi menjadi titik ukur untuk menentukan baik buruknya seseorang pada pandangan pertama.
Saya ingin bercerita, bukti bahwa cukup banyak orang Indonesia yang masih memandang 'cover' orang lain untuk menentukan baik-buruknya orang tersebut. Suatu ketika, saya berkesempatan tinggal cukup lama di Jogja. Lebih kurang 3 hari. Saya ingin pergi ke Pasar Beringharjo untuk survey kain batik. Konon katanya di Beringharjo pedagangnya ramah, kiosnya mulai tertata, dan harganya murah. Maka berangkatlah saya ke Pasar Beringharjo. Seperti biasa, seperti style saya di Jogja pada biasanya, saya hanya menggunakan celana jeans yang sudah cukup kumal, jaket yang sudah 2 minggu tidak dicuci, tas kecil yang saya selempangkan mirip mendreng (penagih uang panci), dan tak lupa sandal jepit Swallow warna hijau. Kebiasaan saya memakai style seperti itu ya karena santai dan sekaligus hemat pakaian. Meskipun baju demikian, saya tetap menjaga tingkah laku dan tetap berbicara dengan bahasa krama inggil ketika berhadapan dengan pedagang. Singkat kata, saya bertemu pengemis. Orang-orang di depan saya dimintai semua. Tapi, gilirannya saya seharusnya dimintai, karena style saya yang sedemikian kumal, saya dilewati saja oleh pengemis (bahkan pengemis itu memandang saya dengan pandangan yang tidak enak, mungkin dikira pesaing). Lebih parahnya lagi, adalah ketika saya telah sampai di Pasar Beringharjo. Ketika saya tengah memilih batik, sejak awal pandangan ibu-ibu penjaga toko sudah tidak enak. Saya dipandang sebagai seolah-olah seseorang yang akan mencuri gulungan kain batiknya. Karena penjual sangat tidak bersahabat, akhirnya saya pergi begitu saja, tetap dengan mengucapkan terima kasih dan pamit kepada penjual tersebut.
Kenyataan yang sangat memilukan, bahwa memang ternyata tidak seorangpun yang ada di Indonesia yang tidak materialistis. Artinya, semua orang Indonesia materialistis. Orang yang baik pasti penampilannya rapi, naik mobil mewah, berdompet tebal, rumahnya bagus, meskipun tutur kata dan tingkah lakunya tidak terlalu baik. Orang baikkah yang ada di Senayan dan terlibat kasus korupsi? Mereka juga berbaju rapi, wajahnya dan mulutnya manis, dompet tebal, mobil mewah, dan lain sebagainya. Orang jahatkah para tukang becak yang berbaju kumal dan kesehariannya hanya di dalam becak? Tidak juga, bahkan kebanyakan orang yang menunjukkan arah dengan baik adalah tukang becak, bukan orang berdasi yang jika ditanya malah menjawab dengan pongahnya.
Kenyataan yang menyakitkan adalah bahwa buku-buku kedokteran yang baik dan sudah lama (dan biasa dipakai) memiliki sampul yang buruk, terkelupas, atau kusam. Lalu, buku kedokteran itu buruk? Ilmunya salah semua? Justru tidak kan? Justru buku-buku ini banyak dicari orang, dan ilmu yang ada di dalamnya tidak lantas salah karena sampulnya yang buruk. Maka, perlakukanlah orang-orang yang Anda temui sepanjang hidup Anda seperti Anda ketika melihat buku kedokteran ini. Hargai mereka sesuai hakikatnya sebagai manusia yang sama-sama perlu saling menghormati dan menghargai. Anda tidak perlu menaruh curiga pada setiap orang. Ilmu menaruh curiga pada setiap orang, itu adalah ilmu yang salah besar dan hanya akan memicu permusuhan. Ketika Anda menaruh semacam penghormatan kepada orang lain serta sikap tidak curiga dan rasa welcome yang besar, maka niscaya Anda tidak akan kena tipu. Hargailah orang di sekitar Anda. Berbicaralah dengan bahasa yang pantas dan mudah dimengerti. Jangan berbicara bahasa Sunda kepada orang Jawa Timur, dan jangan berbicara bahasa jawa ngoko kepada yang lebih tua. Janganlah tinggi hati, bila lawan bicara Anda tinggi hati. Berbicaralah dengan halus, dan jauhkanlah dahulu kesan pamer. Tunjukkan bahwa Anda adalah orang biasa yang tidak punya apa-apa, meskipun Anda memiliki segalanya. Dengan demikian, Anda akan belajar secara perlahan untuk tidak memandang orang hanya dari sekedar pakaian dan atribut yang digunakan. Melainkan, bagaimana orang tersebut memperlakukan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar