Selasa, 14 Februari 2012

Efektifkah Pencabutan Ijin Operasional Sebuah Perusahaan Otobus?

Sebagai pecinta bis, atau sering disebut sebagai bismania atau bus lover, berbagai kecelakaan yang melibatkan bis antar kota di berbagai daerah memicu saya untuk kembali menulis keprihatinan saya atas apa yang terjadi di tengah masyarakat. Mulai dari yang hanya tabrakan biasa, serempetan dengan kendaraan lain, terguling masuk ke sungai, dan bahkan sampai tabrakan karambol yang menyebabkan belasan korban jiwa.
Ketika kecelakaan bis, semua komentar masyarakat adalah sama mengenai 2 hal ini. Pertama adalah pandangan bahwa bis lah yang pasti salah, kedua adalah (selalu) mengusulkan pencabutan ijin operasional PO (Perusahaan Otobus) tersebut. Anggapan yang pertama ini selalu berkaitan dengan nama PO yang bersangkutan. Jika PO yang terlibat kecelakaan adalah PO yang sering kecelakaan, maka kebanyakan masyarakat akan menyalahkan POnya terlebih dahulu. Kedua pendapat masyarakat umum tersebut, saya boleh mengatakan, adalah pendapat yang nilainya sama dengan nol mutlak, artinya tong kosong nyaring bunyinya, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pendapat bahwa bis selalu salah itu belum sepenuhnya besar. Hukum rimba yang berlaku dengan sangat kaku ini membawa masyarakat umum kepada jalan yang sesat dan menjauhi ranah berpikir kritis dan evidence based: yang besar selalu salah. Misalnya pada kecelakaan PO Sumber Kencono W 7503 UY di Glodok, Magetan vs mobil sedan plat AG. Ketika mendengar kasus kecelakaan tersebut, langsung banyak masyarakat langsung menyimpulkan yang salah adalah PO Sumber Kencono dan media massa beramai-ramai menulisnya sebagai kesalahan bis. Padahal, setelah diusut dengan jelas dan dengan bukti yang ada, kepolisian menyimpulkan bahwa kesalahan terletak pada pengemudi sedan yang mabuk dan mengemudikan kendaraannya terlalu ke kanan. Begitu juga dengan kecelakaan PO Sumber Kencono di Mojokerto yang mengakibatkan 20 orang tewas. Sebenarnya, selain hukum rimba yang masih berlaku di masyarakat (kemudian mengesampingkan hukum yang sah yang diatur dalam perundang-undangan) ini yang membuat seolah-olah yang besar yang salah. Peran pers dalam media massa pun juga memiliki peran penting dalam mempengaruhi persepsi masyarakat, apalagi masyarakat kita ini suka dengan yang mentah-mentah. Salah satunya, adalah hanya mencerna berita dari satu media massa saja tanpa membandingkan dengan media yang lainnya, yang (mungkin) lebih akurat, lebih tajam, dan lebih baru. Sehingga, yang didapat pun hanya sepenggal-sepenggal. Belum lagi wartawan (beberapa) yang hanya copy-paste dari berita milik kawan-kawannya yang lain tanpa ia tahu apakah berita tersebut benar atau salah (pada kasus di Magetan, plat bis W 7503 UY dan terpampang jelas di bokong bis saja bisa menjadi W 7666 UY).
Pendapat kedua mengenai pencabutan ijin operasional bis, pendapat ini perlu dipertimbangkan jauh lebih dalam lagi daripada hanya sekedar kata-kata nyinyir tanpa tahu seluk beluknya (ya kebiasaan masyarakat luas, kalau berbicara waton njeplak tanpa dipikir dulu). Ijin operasional bis, sebenarnya (kalau tidak salah) berkaitan dengan keberlangsungan sebuah perusahaan. Artinya, ijin operasional dicabut, maka satu perusahan akan dihentikan operasionalnya, tidak terkecuali. Berbeda dengan pencabutan ijin trayek. Ijin trayek dimiliki oleh masing-masing bis. Jadi, jika perusahaan tersebut memiliki 1000 bis, maka ijin trayeknya pun seharusnya ada 1000 juga atau minimalnya dikurangi bis cadangan. Sehingga, kalau pencabutan ijin trayek itu hanya berkaitan dengan bis yang kecelakaan. Misalnya, yang kecelakaan W 7666 UY, maka ijin trayek bis tersebut dicabut, dan jam keberangkatan bis tersebut dari terminal asal, terpaksa dikosongkan. Tujuannya adalah agar permasalahan kecelakaan selesai dulu, baru bis bisa berjalan kembali. Pencabutan ijin operasional yang mencakup seluruh bis dalam satu perusahaan tersebut jelas sangat tidak menguntungkan. Bayangkan saja, jika kemudian satu perusahaan otobus ditutup (ditarik ijin operasionalnya) kemudian tidak ada bis yang melayani trayek tersebut. Misalkan, trayek tersebut dikuasai oleh 200 armada bis, 123 diantaranya milik sebuah PO yang besar dan sisanya dimiliki oleh 3 PO kecil dengan jumlah bervariasi. Jika PO besar tersebut ijin operasionalnya dicabut, apa yang akan terjadi dengan trayek tersebut? Pertama, jelas penumpukan penumpang karena jumlah bis yang beroperasi saja sudah berkurang sebanyak 123 bis. Yang kedua yang terjadi, adalah pasti PHK besar-besaran dengan jumlah minimal yang di PHK adalah 369 orang (1 bis diawaki oleh 1 sopir, 1 kernet, dan 1 kondektur). Jelas-jelas penarikan ijin operasional bis itu sangat tidak menguntungkan, terutama bagi masyarakat (yang asal njeplak tadi pasti tidak memikirkan ini) dan bagi pertumbuhan ekonomi kota-kota yang disinggahi. Trayek kan bisa dibeli bis lain yang masih eksis? Ooo, tidak semudah itu karena ada prosedur panjang yang harus dilakukan. Tidak sekedar seperti membeli permen.
Disini diperlihatkan pula betapa pentingnya sebuah manajemen perusahaan otobus untuk mengurangi tingkat kecelakaan pada bis yang dikelolanya. Penyuluhan secara berkala, sistem penggajian yang baik dan fair kepada setiap kru nya, controling komponen kendaraan berupa komponen fisik dan non fisik, sistem kerja bagi karyawan, serta waktu istirahat yang cukup bagi karyawannya menjadi penting dan menjadi sesuatu yang seharusnya murah untuk menjaga keselamatan banyak orang yang menggunakan bis nya. Apalagi, semuanya telah diatur dalam perundang-undangan. Sebetulnya, tinggal pilihan perusahaan saja. Ingin untung banyak tapi keselamatan sedikit dilalaikan, atau untung sedikit dengan catatan mentaati perundang-undangan dan menjunjung tinggi keselamatan penumpang dan karyawannya.
Jadi, menyalahkan sopir dan perusahaan otobus secara penuh saja sudah kesalahan besar. Kalau masyarakat menyalahkan perusahaan otobus dan sopir, maka saya kembali menyalahkan pemerintah dan masyarakat atas 2 hal yang perlu dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dan masyarakat. Untuk pemerintah, adalah perlunya kembali meninjau sarana prasarana, berupa jalan dan rambu yang terpasang. Sudahkah layak? Sudahkah sesuai dengan kenyataan di lapangan? Saya kira belum. Masih untuk pemerintah juga, sejauh mana pengawasan dan pengontrolan terhadap standar mutu pengguna kendaraan bermotor melalui pembuatan SIM? Tidak hanya sopir bis dan truk saja yang perlu lisensi, melainkan juga seluruh masyarakat pengguna kendaraan bermotor. Ini artinya ada yang tidak beres. Buktinya, ada pengemudi yang lalai, dan ada juga (bahkan amat sangat banyak) masyarakat umum yang lalai dalam mengemudikan kendaraan bermotor. Untuk masyarakat umum, seberapa besarkah Anda sekalian memahami yang namanya peraturan lalu lintas dan etika berlalu lintas? Sudah pahamkah Anda mengenai tanda-tanda (sein, lampu hazard dan tanda-tanda lainnya) yang biasa digunakan di jalan antar kota? Sudah pahamkah Anda bahwa karakteristik jalan antar kota akan sangat berbeda dengan jalan dalam kota apalagi hanya antar kampung?
Tulisan ini bukan untuk sebagai sebuah pembelaan, melainkan membukakan mata Anda sekalian para pembaca, terutama yang belum paham dan sekedar berkoar-koar untuk mencabut ijin operasional. Kecelakaan dapat disebabkan oleh berbagai hal, dan kecelakaan disebabkan oleh multifaktor yang tidak bisa secara singkat langsung disimpulkan siapa yang bersalah. Anda, saya, dan kepolisian perlu untuk tahu ini, sehingga bisa berpikir kritis setiap kali ada kecelakaan. Bukannya waton njeplak. Kecelakaan bisa terjadi pada kita semua, tak peduli waktu. Bisa jadi ketika Anda beribadah, tempat Anda beribadah ditabrak truk yang mengalami rem blong. Maka, jangan takut untuk menaiki kendaraan umum semacam bis. Kalau Anda berpikiran akan kecelakaan, maka Anda akan benar-benar kecelakaan. Ketika Anda lebih memilih menaiki kendaraan pribadi, maka resiko kecelakaan itu akan menjadi 40% lebih besar daripada ketika Anda menaiki angkutan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar