Kamis, 11 Agustus 2011

Nilai Tergali dari 8 Jam Bersama Sancaka

Kebiasaan mengobrol dengan sesama penumpang di kendaraan umum ternyata kadang bisa membuahkan hasil yang positif bagi kita. Meskipun tidak selalu begitu. Maraknya pemberitaan mengenai aksi pembiusan di angkutan umum oleh sesama penumpang dengan modus pura-pura akrab menjadikan banyak penumpang, meskipun tidak semua, menjadi malas menjalin komunikasi, meskipun mereka duduk berdampingan. Padahal, komunikasi ini sangat penting, meskipun hanya sekedar berbasa-basi. Misalkan hanya bertanya akan turun dimana, aslinya dari mana, di tempat tujuan kerja atau kuliah, dan lain sebagainya. Tanpa perlu diatur dengan skenario yang rumit, maka pembicaraan akan terus berlangsung, bahkan jika pembicaraan itu benar-benar menarik dan mengena di hati bahkan sampai tempat tujuan pun rasa-rasanya masih ingin ngobrol. Yang terpenting ketika komunikasi sudah dimulai, singkirkan dahulu kecurigaan kepada orang tersebut, namun tetap waspada. Tetap menolak dengan halus jika lawan bicara kita memberikan makanan atau minuman yang mencurigakan, tanpa ada perasaan ingin melecehkan.
Proses komunikasi yang semacam inilah yang sering saya alami ketika naik kendaraan umum, terutama kereta api. Ketika di bis, terutama bis ekonomi, kebiasaan komunikasi dengan teman duduk saya ini sedikit saya hilangkan karena resiko yang sangat besar terjadi pada bis-bis ekonomi. Beberapa hari lalu, saya bepergian dari Jogja ke Surabaya dan dari Surabaya ke Jogja. Kebetulan pula, kursi samping saya ada yang mengisi. Padahal biasanya kursi sebelah saya kosong.
Ketika berangkat, saya menggunakan kereta Ekspress Sancaka dan kebetulan juga hanya dapat kursi di kelas Bisnis. Dari Jogja, kursi sebelah saya masih kosong, sementara depan belakang saya telah penuh. Biasanya bila dari Jogja kosong, maka akan terisi di Solo Balapan atau Madiun. Ternyata kursi sebelah saya ini terisi di Solo. Harapan saya yang mengisi itu mbak-mbak yang cantik dan enak diajak ngobrol. Ternyata yang mengisi adalah seorang wanita. Tapi sayangnya sudah tua dan seumuran bapak saya. Ketika kereta mulai berjalan obrolan masih belum dimulai. Baru ketika menjelang masuk Stasiun Solo Jebres, kami mulai mengobrol. Awalnya juga sama, hanya ditanyai mau kemana dan kuliah dimana. Kemudian obrolan menjadi meluas ke topik-topik yang sangat sensitif : perihal bahasa dan sikap saling menghargai.
Awalnya, kami hanya mengobrol mengenai bahasa di Surabaya yang cenderung kasar. Kemudian kami mulai menyangkut paut ke bahasa Jawa yang penggunaannya sebenarnya masih banyak tapi kemudian penggunaannya kurang tepat. Secara umum, bahasa Jawa itu terdiri dari 3 jenis bahasa, yakni Jawa Ngoko (yang biasa digunakan untuk berbicara dengan teman kita. Contok : kowe ki nang ndi kok tak goleki ora ono?), Jawa Ngoko Alus (ini merupakan percampuran antara Jawa Ngoko dengan Krama (sering disebut Krama Alus). Untuk bahasa Jawa jenis ini sangat jarang digunakan. Bila digunakan pun biasanya digunakan untuk teman yang lebih tua dari diri kita), dan Jawa Krama atau Krama Alus (yang ini sudah sangat jarang digunakan karena sedikit orang yang paham). Saya dan ibu tersebut sepakat bahwa anak muda jaman sekarang itu dalam kemampuan berbahasa kurang memiliki sopan-santun dalam bertutur kata. Bahasa Jawa itu sangat mudah dikuasai, bahkan bayi-bayi di Jawa jaman sekarang ini saya yakin sudah bisa bertutur bahasa Jawa. Hanya itu tadi, bahwa banyak yang lupa bahasa Jawa itu punya konteksnya masing-masing. Bukan pada konteksnya ketika kita mengobrol dengan orang tua dengan bahasa Jawa Ngoko. Bukan konteksnya pula kita kemudian bercengkerama dengan teman-teman sepantaran kita dengan bahasa Jowo Krama Alus. Kebanyakan anak muda berbicara kepada orang yang lebih tua, katakanlah sudah kakek nenek, masih menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Hanya beberapa saja yang menggunakan bahasa Jawa Krama meskipun sedikit campur aduk, tapi saya menghargai itu. Setidaknya ada sedikit upaya untuk belajar kembali menggunakan bahasa krama. Saya dan ibu tersebut juga sedikit menyinggung mengenai penggunaan bahasa tersebut. Memang lebih baik jika tidak bisa menggunakan bahasa krama, gunakanlah bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Dua bahasa tersebut memang memaksa kita untuk menjadi lebih halus dalam bertutur kata dan menjalin sikap saling menghormati.
Dari percakapan tersebut, kami juga membicarakan bahwa ternyata penggunaan bahasa itu mencerminkan pribadi seseorang. Bagaimana seseorang menggunakan kosakata ataupun tutur kata yang sesuai konteks ketika berbicara. Jika berpicara dengan orang yang lebih tua, atau baru dikenal, gunakanlah kosakata atau bahasa yang halus. jangan menggunakan bahasa yang cenderung kasar, dan jangan menggunakan bahasa jawa ngoko. Bila sudah akrab, penggunaan kata-kata yang cukup kasar boleh digunakan meskipun tidak dianjurkan, penggunaan bahasa Jawa Ngoko juga dipesilakan. Pada intinya, kemampuan berbahasa seseorang akan sangat mencerminkan bagaimana seseorang tersebut menghargai orang lain. Perihal kedua selain bahasa yang kami bicarakan adalah mengenai perilaku menghormati keberadaan orang lain yang sudah juga jarang dilakukan oleh orang-orang muda. Sederhana sekali, pamit kepada orang yang ada di rumah sebelum meninggalkan rumah sekalipun, bahkan kepada seorang pembantu sekalipun. Kebanyakan orang muda saat ini ketika akan pergi dari rumah hanya langsung ngeloyor saja. Hanya tiba-tiba orang tua bingung dan kemudian bingung sendiri mencari-cari anaknya. Setidaknya, ketika akan pergi pun hanya berkata "Pak, Bu, Mbak, Mas, saya pergi dulu" itu saja sebenarnya cukup, meskipun lebih baiknya lagi menyampaikan akan pergi kemana. Juga perilaku kepada seorang pembantu. Jika memang yang ada di rumah hanya pembantu, pamiti juga pembantu tersebut. Jika kita makan, jangan lupa mengajak orang di sekitar kita untuk makan, bahkan seorang pengemis atau pembantu sekalipun. Karena semua manusia sama dan sederajat, maka mereka pun berhak kita hormati. Pembantu, pengemis, tukang pel itu hanya predikat pekerjaan saja. Namun subyeknya adalah bahwa mereka itu seorang manusia yang berhak dan wajib untuk dihargai.
Ngobrol ini berlangsung selama 4 jam dari Solo sampai Shelter Ngagel, Surabaya. Obrolan ini benar-benar bermanfaat, sekaligus sarana bagi saya untuk menertawakan diri sendiri karena semua yang dikatakan ibu tersebut mengenai anak muda banyak benarnya.
***

Hari berikutnya, saya memutuskan untuk pulang ke Jogja kembali berhubung ada urusan. Ketika itu saya langsung membeli tiket di stasiun Gubeng tepat 45 menit sebelum keberangkatan kereta. Ternyata tiket masih ada dan bisa dapat tempat duduk di kereta Eksekutif dan lagi-lagi Sancaka. Tepat pukul 14.50 saya sudah standby kembali di Stasiun Gubeng setelah sebelumnya pulang ke kos untuk beres-beres. Kereta akan berangkat pukul 15.00. Ketika saya naik ke kereta, harapan saya bisa dapet teman ngobrol lagi sama ketika saya berangkat kemarin. Ternyata bangku sebelah saya ada yang menempati. Seorang laki-laki yang masih kira-kira berumur 25 an tahun. Nampaknya orang yang cukup sibuk. Baru saja duduk, sudah mencolokkan BBnya ke stopkontak dan berBBM ria. HP Nokia butut miliknya yang satunya juga tak henti-hentinya berdering. Batinku, pasti orang ini sangat sibuk sehingga tidak cukup waktu untuk ngobrol. Ketika kereta sudah beranjak berjalan, saya masih berada di pintu untuk melihat-lihat perkampungan kumuh pinggir rel sepanjang Surabaya Gubeng-Wonokromo. Baru kemudian saya kembali ke tempat duduk karena pintu harus ditutup. Ketika saya kembali duduk itulah ternyata komunikasi terjadi. Orang yang supersibuk tadi ternyata adalah seorang dokter lulusan universitas Tarumanagara Jakarta dan saat ini bekerja di RS Oen Surakarta dan menjadi seorang suplyer alat-alat kesehatan. Saya diberi kartu namanya ketika sudah tiba di Solo Balapan dan ia akan turun. Kami mengobrol mengenai banyak hal, terutama masalah-masalah di bidang kesehatan. Saya diberitahu banyak tips untuk bisa sukses di bidang kedokteran, terutama bila ingin jadi PNS dan bisa memperoleh pendidikan yang tinggi. Tips-tips ini tidak akan saya florkan disini karena bersifat pribadi. Juga mengenai peluang-peluang bekerja di Kedokteran Gigi. Saya awalnya hanya mengira lulusan Kedokteran hanya akan bekerja di rumah sakit, universitas, atau praktek sendiri. Ternyata lebih dari itu. Bisa juga bekerja di perusahaan-perusahaan menjadi dokter perusahaan, atau di kebun dan menjadi dokter kebun. Bisa juga jadi makelar alat-alat kedokteran yang menggiurkan. Juga kami berbicara sedikit mengenai Farmakologi bahwa dalam ilmu tersebut, seorang dokter harus benar-benar mampu untuk tahu isi-isi apa saja yang ada dalam obat tersebut. Dalam memberikan obat tidak dapat sembarangan. Seseorang memiliki kebolehjadian mengalami alergi terhadap obat atau vitamin tertentu. Sehingga, seorang dokter harus tahu benar mengenai obat yang diresepkan kepada pasiennya.

***
Itu tadi hanya sebagian saja nilai-nilai yang berhasil saya gali dari ngobrol dengan sesama penumpang di kereta. Sangat banyak manfaatnya ketika kita mengobrol dengan sesama penumpang. Apalagi bagi para calon dokter, setidaknya ngobrol ini bisa melatih para calon dokter dalam berlatih berkomunikasi dan memahami sifat dan perilaku pasien yang kita hadapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar