Senin, 04 April 2011

Bermain Dengan Idealisme

Banyak orang meributkan makna idealisme dan penerapannya dalan kehidupan sehari-hari. Apa implementasinya dan bagaimana mengimplementasikannya?
Sekolah saya ketika SMA dulu kebetulan mengajarkan seseorang untuk memiliki idealisme yang kuat. Dan kami semua murid-muridnya juga diharuskan memiliki idealisme yang kuat. Setidaknya idealisme itu melandasi alur pikir kami semua. Baik yang masih bersekolah maupun yang sudah menjadi alumni. Ketika berbicara dengan siswa atau alumni dari SMA saya ini memang memiliki aura yang berbeda. Pemikirannya bisa dikatakan berbeda dengan anak SMA kebanyakan yang masih enak-enaknya bermimpi tentang pacaran dan bersenang-senang. Sementara itu kami sudah berkutat pada berbagai permasalahan : korupsi, politik, agama, kesenian, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan lulusannya.
Saya, sebagai alumni SMA tersebut juga merasa bahwa idealisme-idealisme yang ditanamkan selama proses pembelajaran tertanam kuat di dalam hati. Idealisme disini saya sama artikan dengan sebuah visi atau tujuan. Yang ada adalah sejauh mana saya menjaga diri untuk mencapai tujuan tersebut. Tapi, saya baru-baru ini menyadari bahwa tujuan itu tidak dapat dipaksakan bila melihat kondisi saat ini.
Kisah yang saya sajikan ini kisah saya sendiri yang saya alami. Saya mendaftar di lebih kurang 10 universitas berbeda, 5 fakultas berbeda dan melalui 8 sistem penerimaan mahasiswa baru. 7 fakultas yang saya pilih diantaranya adalah fakultas kedokteran dan fakultas kedokteran gigi. Saya dulu memiliki satu idealisme : saya harus berkuliah di fakultas kedokteran. Saya berpikir bahwa saya mampu, saya berpikir bahwa saya bisa. Saya berpikir hasil tes potensi akademik (psikotes) dan hasil pembelajaran ini bisa membawa saya untuk mencapai tujuan saya. Saya berpikir bahwa dengan semangat saya yang berapi-api ini saya bisa mencapai tujuan saya. Namun, akhirnya semuanya justru loss. Semuanya hilang. Saya merubah idealisme saya tepat 2 bulan sebelum SNMPTN. Saya akhirnya berpasrah diri saja, dan memilih semua yang terbaik. Orang tua saya sempat hampir stress gara-gara idealisme saya. 
Setidaknya ini adalah gambaran kecil dari bagaimana bermain idealisme itu. Tidak mudah mempertahankan idealisme itu. Tak jarang justru idealisme itu menjadi suatu hal yang utopis. Ini bukan karena keadaan sekitar, tapi karena pemikiran diri sendiri bagaimana idealisme itu dipertahankan. Diri sendirilah yang membentuk sebuah idealisme, didasarkan dari lingkungan sekitar. Tapi, adanya idealisme itu harus kembali lagi menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Idealisme itu tidak dapat secara mutlak diperjuangkan secara 'saklek' atau sama plek dengan idealisme. Ketika yang ada di lingkungan berbeda dengan idealisme, akan menjadi sangat sulit bila memperjuangkan idealisme tadi secara 'saklek'. Maka, pelaksanaan idealisme itu disesuaikan dengan keadaan lingkungan. Idealisme itu dinamis, bukan suatu hal yang statis yang tidak bisa berubah bentuk melihat situasi. Dinamis, dalam artian tidak murni dinamis. Idealisme itu ibarat botol plastik. Ada kalanya dia bisa berubah bentuk, ditekan sedikit, atau bahkan diremas. Tapi, ada titik dimana botol plastik ini tidak dapat lagi ditekan ataupun diremas. Seperti itulah idealisme. Dinamis, tapi mempunyai batasan tenggang.
Memperjuangkan idealisme secara 'saklek' itu tidak mudah. Banyak orang mati karena mempertahankan idealismenya sendiri. Entah itu mati gantung diri, atau dibunuh (lihat masa-masa 98 dimana sekelompok orang berusaha mempertahankan idealismenya dan harus hilang sia-sia). Sangat makan hati tentunya. Tapi, ketika tidak bisa mempertahankan idealisme, maka orang tersebut masih sama saja dengan yang namanya ababil. Meski memperjuangkan idealisme itu sungguh sulit, tapi idealisme itu tetap diperlukan. Biar bagaimanapun, idealisme itulah yang membentuk sikap dan pribadi manusia. Idealisme dan bagaimana menerapkannya itulah yang membedakan antara satu individu dan satu individu lainnya. Milikilah idealisme yang dinamis, dan siaplah bersakit-sakit hati apabila bermain idealisme dengan 'sistem paksa'. Amdg.

*Bagi yang belum beridealisme, beridealismelah karena itulah yang akan membuat Anda lebih berpendirian dan mempunyai arah dalam tujuan hidup.

6 komentar:

  1. aseeekk Nendong..
    idealisme memang harus dijalankan melihat keadaan lingkungan juga..ketetapan pada idealisme yang terlalu kuat juga bisa dibilang sebagai pikiran yang picik.

    ada suatu organisasi berkedok agama yang punya idealisme tinggi. tapi ketika memaksakan idealismenya pada lingkungan sekitar juga tidak akan mungkin karena setiap orang punya idealisme sendiri.

    yang jangan lupa dengan Man For Others juga to ndong? idealisme itu penting tapi ingat kita ga hidup sendiri juga

    yoyokpeyok

    BalasHapus
  2. Bener banget Yok. Idealisme tidak bisa berjalan sendiri tanpa adanya penyesuaian dengan lingkungan. Sek sering podo menyalah artikan ki bahwa idealisme adalah harga mati. Padahal sebenarnya idealisme itu bukan harga mati, tapi harus tetap diperjuangkan. Begitu juga dengan 'organisasi berkedok agama' mau. Ra bakal iso, asalkan setiap orang masih memiliki dan memegang idealismenya masing-masing, serta tetap berpedoman pada ajaran agama yang 'sah' dan 'benar' sesuai yang dianutnya.

    Nek Man For Others itu merupakan nilai mutlak yang pernah diajarkan. Kan artine podho dengan ungkapan 'manusia sebagai makhluk sosial'. Nek kuwi tetep kudu dijalani sebagai sistem yang sangat baik, tapi yo melihat kondisi. 'Man For Others' berlaku pada kondisi khusus.

    Twitt : @HerluinusTND

    BalasHapus
  3. nek masalah koe ganti jurusan, itu bukan idealismemu yg dinamis, tapi kamu yang dinamis dalam "beridealisme"..

    idealisme itu ada yg dinamis, sebut saja pancasila. Visi JB juga dinamis ndong, tapi perlu diketahui bahwa idealisme yg dinamis itu sering membuat sang pelaksana idealisme menjadi salah mengartikan idealisme itu sendiri.

    kui nek pendapatku seko kuliah kewarganegaraan loh..

    BalasHapus
  4. Ya setidaknya seperti itulah. Bukan hanya idealisme saja yang perlu dinamis, tapi yang beridealisme juga. Masalahnya adalah seperti itu, orang yang beridealisme itu tidak dinamis. Makanya, idealisme hanya menjadi utopis, dan terkadang menjadi suatu titik buntu dari kehidupan, dan mereka menyalahkan kehidupan. Seharusnya, merekalah yang dinamis, karena hidup selalu dituntut dinamis.
    Bukan begitu saudara ucok?

    BalasHapus
  5. sebetulnya saudara nendong, kalau anda terlalu berdinamis dalam memilih idealisme,bisa jadi nanti malah terbawa arus jaman loh..

    idealisme ki prinsip hidup dan bertindak, nek koe berdinamis dalam memilih dan memilih terhanyut oleh arus jaman, sakjane kui yo iso ra elek og..
    salah satu buktinya, microsoft yang mengikuti tuntutan zaman dan pasar dalam perkembangan dirinya.

    sakjane "konteks" atau "kacamata" kita memandang terbawa arus zaman itu yang salah

    BalasHapus
  6. Pendapat Anda tepat saudara Ucok. Lebih bagaimana memandang terbawa arus jaman. Dalam konteks yang Anda sampaikan, dalam artian konteks ekonomi atau industri, memang bagus untuk mengikuti arus jaman. Bayangkan jika perusahaan sekelas Microsoft menentang arus jaman, misalnya, justru tidak mengeluarkan OS baru semisal Windows 7 Home Premium dan tetap mempertahankan Windows 98, tentu ini bukan suatu hal yang Anda katakan "baik" di bidang Industri. Begitu juga dalam permainan saham. Menentang arus sedikit saja, bisa jadi mereka keok.

    Yang terpenting adalah bagaimana memiliki idealisme, sehingga tidak mudah terseret arus dan dinamika jaman yang semakin beragam. Terutama secara arif dan bijak menyikapi globalisasi. Bukankah semasa SMP kita pernah diajari oleh Pak Advent dan di SMA pernah dibimbing oleh guru-guru kita untuk menghadapi apa yang dinamakan globalisasi. Bisa dibedakan mungkin, konteks idealisme bidang industri/ekonomi dan idealisme yang dimiliki kita, sebagai individu yang berdiri sebagai 'pribadi yang khas' dalam kehidupan ini.

    BalasHapus