Selasa, 12 April 2011

Apa Artinya Safety Riding?

Kekacauan lalu lintas yang ada saat ini merupakan sebuah dampak nyata dari melonjaknya jumlah kendaraan bermotor di Indonesia. Kesadaran menggunakan angkutan umum, yang notabene lebih murah tapi pada keadaan tertentu bisa jadi lebih mahal, masih rendah. Justru banyak dealer berlomba-lomba memberikan diskon terbesar bagi orang yang ingin membeli kendaraan pribadi. Akibatnya, pihak kepolisian perlu melakukan sosialisasi safety riding, yang sudah dimulai sejak beberapa tahun lalu, demi keberlangsungan kelancaran lalu lintas. Tapi, hasil yang didapatkan masih belum nyata. Apa dan kenapa? Adakah yang salah? Tentu saja ada dan banyak.
Safety Riding secara harafiah berarti mengemudi secara baik dan benar sehingga cara mengemudinya dapat menjamin keamanan dan keselamatan dari diri pengguna kendaraan bermotor maupun orang yang ada di sekitarnya. Yang ditanamkan seharusnya adalah hal-hal yang mengacu pada arti secara harafiah tersebut : kelengkapan kendaraan yang baik (spion, lampu sein, lampu utama, lampu rem, dlsb), kondisi kendaraan (mesin kondisi baik, rem kondisi baik dan kampas masih dalam taraf normal, kekencangan rantai, tekanan udara ban), beban kendaraan (beban maksimal sekitar 150 kg pada motor, lebar beban tidak melebihi lebar stang kemudi motor), dan tentu attitude pengendara yang perlu diperhatikan. Tapi, saat ini yang banyak diajarkan adalah : Safety Riding adalah mengemudi secara pelan-pelan. Kata pelan-pelan ini perlu digarisbawahi bahwa ternyata program safety riding yang dicanangkan oleh kepolisian belum diserap dengan benar oleh warga negara kita. 
Apakah jika mengemudi dengan pelan-pelan bisa dipastikan selamat? Tidak juga. Tergantung konteks. Berjalan pelan belum tentu safety. Seperti misalnya mengemudi pelan-pelan di tengah jalur antar kota lagi. Perlu diperhatikan sebelumnya, Indonesia menganut sistem yang aneh. Di negara lain rata-rata jalan antarkotanya sudah menggunakan sistem bebas hambatan, artinya tidak ada persimpangan atau hambatan lain yang membahayakan. Harapannya, adalah dengan adanya jalur antarkota kecepatan kendaraan bisa maksimal (meski ada pembatasan kecepatan) sehingga keefisienan waktu tempuh bisa dimaksimalkan (lihat saja, meskipun menggunakan bis antar kota di luar negri, katakan Jerman, tapi ketepatan waktu mereka sangat baik karena jalannya sangat baik dan lancar). Sementara di Indonesia, semua disamaratakan. Seharusnya, jalan antarkota antarpropinsi itu adalah jalur cepat yang tidak bisa sembarang orang bisa lewat dan memotong jalan tersebut. Jarak dengan rumah pun perlu diperhatikan (contohnya bisa lihat Ring Road Jogja). Ini artinya infrastruktur saja masih kalah jauh dan sangat jauh dari kata sempurna.
Ngebut berarti maut? Saya belum bisa membuktikan kalimat tersebut selama kurun waktu saya mengemudi selama rentang waktu 9 tahun (5 tahun kondisi tidak sah, 4 tahun kondisi sah memiliki SIM). Selama kurun waktu tersebut, saya mengalami kecelakaan 3 kali (1 kali ketika kelas 2 SMP, 2 kali di kelas 1 SMA). Kalau ingin tahu cara mengemudi saya, tanyakan pada teman yang kenal dengan saya. Bawaan saya memang ngebut. Ingat, ngebut tidak sama dengan ugal-ugalan. Definisi ngebut adalah berjalan dengan kecepatan tinggi. Saya memang ngebut, tapi saya safety. Artinya, saya tahu tempat. Saya membawa sepeda motor di jalan sepi, maka saya akan berjalan dengan kecepatan yang agak tinggi, tentunya dengan melihat keadaan dan situasi sekitar. Apakah aman untuk kecepatan tinggi atau tidak. Tapi, ketika macet, tidak mungkin saya ngebut karena ngebut di kondisi macet adalah ugal-ugalan. Yang terpenting lagi adalah jaga jarak. Jarak yang harus dimiliki antar kendaraan harusnya berbeda. Ini berkaitan dengan kemampuan pengereman antar kendaraan. Standar pengereman paling baik dimiliki oleh bis, baru disusul mobil, sepeda motor, dan truk. Jarak ini penting dan berkaitan juga dengan kecepatan. Misalnya saya berjalan di belakang bis dengan kecepatan 30 km/jam. Maka, saya agak mepet bis saja tidak apa-apa (lebih kurang 1 meter). Lain halnya ketika saya berada di belakang bis dan melaju dengan kecepatan 100 km/jam. Jarak antar kendaraan akan semakin lebar. Pada umumnya, jarak antar kendaraan ini paling diabaikan. Karena apa? Di tes SIM (saya tes SIM 2 kali, SIM A dan SIM C dan hasilnya di atas 75 semua) tidak ada soal yang menyebutkan berapakah jarak aman antar kendaraan pada kecepatan x km/jam. Maka, jangan salahkan pengemudi jika memang banyak kecelakaan karambol karena kurangnya kemampuan menjaga jarak karena mental masyarakat Indonesia pada umumnya hanya waton mepet.
Safety Riding juga tidak melulu hanya pengetahuan yang bersifat kognitif. Diperlukan juga kemampuan untuk meramal dan membaca situasi. Tentunya membaca gerak-gerik dari pengendara lain dan kemampuan untuk melihat dan mengenali situasi sekitar. Insting sangat diperlukan dalam mengemudi. Makanya, saya paling tidak setuju ada orang baru saja bisa mengemudi kendaraan dibiarkan dan dilepasliarkan langsung di jalan raya. Kemampuan mereka belum banyak dan insting mereka belum terlatih.
Yang perlu diingat bahwa Safety Riding bukan hanya melulu pada mengemudi dengan perlahan-lahan. Jika masih berpikiran seperti itu, segera saja hapuskan pemikiran Anda, atau hapuskan saja UU Lalu Lintas. Safety Riding adalah lebih bagaimana menggunakan kendaraan secara efisien, sesuai dengan peraturan yang berlaku di UU, serta tetap dengan berpedoman pada kondisi kendaraan yang terbaik dan emosi dari pengemudi yang baik. Satu prinsip pula yang perlu diingat adalah bahwa fungsi dari kendaraan bermotor adalah untuk mempercepat waktu tempuh. Kalau waktu tempuhnya sama dengan bersepeda, kenapa tidak bersepeda saja mulai dari sekarang? Toh tidak ada bedanya antara waktu tempuh dengan bersepeda dan bersepeda motor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar