Kamis, 18 November 2010

CINTA BUDAYA, CINTA BANGSA

"Lagi ngrungokke opo?"(Lagi mendengarkan apa?)
"Iki lho, lagu campursari karo kroncongane Gesang."(Ini lho, lagu campursari sama keroncongannya Gesang)
"Lah, kowe ki koyo wong tuwo wae, koyo wong dhusun. Ngrungokke ki opo ngono lho. Sik lagi ngetrend po piye." (Lah, kamu tu seperti orang tua aja, seperti orang desa. Ndengarkan tu ya apa gitu lho. Yang lagi ngetrend apa gimana gitu.)

*****

"Weh, kok ndengaren kowe nganggo batik?" (Kok kebetulan kamu pake batik?)
"Lha iyo, wujud cinta budaya." (Lha iya, wujud cinta budaya.)
"Halah, koyo wong tuwo. Koyo bapak-bapak nek nganggo batik kuwi."(Halah, seperti orang tua. Seperti bapak-bapak kalau pakai batik tu.)

*****

"Ayo nonton jathilan."
"Wegah ah. Mending nonton DMasiv. Luwih gayeng. Jathilan lak yo ngono-ngono wae to?"(Nggak mau ah. Mendingan nonton D Masiv. Lebih seru. Jathilan kan yo gitu-gitu aja to?)

*****

Tiga dialog di atas benar-benar pernah saya alami. Memang sekilas sepele, hanya gojegan biasa. Namun menjadi sebuah keprihatinan yang harus mulai dikuak di kalangan remaja ini sebagai generasi pembaharu bangsa.
Remaja masa kini mulai kehilangan identitasnya sebagai bangsa Indonesia. Budaya, bahkan bahasa daerahnya sendiri saja sudah tidak tahu. Bahkan mulai marak trend masa kini di kalangan orang tua yang lebih suka mendidik anak-anak kecilnya dengan menggunakan bahasa Inggris tanpa mengajarkan terlebih dahulu bahasa daerahnya. Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah si anak kehilangan orientasi dan rasa bangga dan sayangnya terhadap budaya daerahnya sendiri. Tidak ada landasan untuk bersikap dan yang ditiru adalah melulu budaya dari luar. Ini tentunya sangat berbahaya bagi masa depan bangsa ini.
Yang ironis lagi adalah keengganan remaja masa kini untuk sekedar menyaksikan pertunjukan tradisional. Baik itu musik, pertunjukan berupa seni tari, maupun juga makanan khas daerah. Mereka berkata bahwa itu kuno. Mana ada anak muda sekarang yang tahu apa itu lemet, ndhog gludhug, cemplon, marinda, atau bahkan timus saja mereka tidak tahu. Mana ada anak sekarang yang mau menonton pertunjukan Jathilan, Reog Ponorogo, Angklung, Pethilan calung (Thilung), tari saman, atau bahkan sekedar menonton Barong ketika berkunjung ke Bali? Yang ada anak muda sekarang lebih suka menonton musik-musik masa kini yang telah hilang identitasnya sebagai musik yang bermutu dan yang ada kini hanyalah musik berkualitas labil. Bahkan, pernah suatu ketika menonton jathilan di dekat rumah, yang menonton kebanyakan orang tua. IRONIS. Apa jadinya bangsa ini jika anak mudanya saja lebih gandrung dengan budaya luar? Padahal sejujurnya menonton Jathilan tidak kalah serunya dengan bermain balap mobil di timezone.
Belum lagi dengan tata cara busana daerah saja. Misal busana kejawen lengkap. Ada diantara anak muda yang bisa menggunakan baju kejawen itu dengan benar? Mulai dari jarik hingga beskapnya? Sangat jarang dan mungkin tidak mau. Mereka lebih bangga menggunakan baju berlabel Bilabong atau Planet Surf daripada menggunakan budaya asli daerahnya. Batik misalnya, atau menggunakan surjan motif lurik sebagai jaket dalam bepergian.
Lantas, kalau seperti ini bangsa kita akan hilang? Tentu saja. Perlu ada perubahan mindset di otak anak muda sekarang ini. Bahwa jika ini dibiarkan terus menerus, landasan budaya daerah yang telah ditanamkan sejak SD pun akan sirna dan tergantikan dengan jiwa-jiwa yang labil dan tidak terarah (lihat saja dimana-mana banyak ababil karena kekurangan batu pijakan akibat budaya sendiri saja tidak paham). Seakan-akan budaya asing didewakan dan dianggap tidak penting. Satu yang perlu diingat bahwa budaya daerah merupakan sebuah azas pijakan kehidupan. Dari situlah kehidupan beranjak, mulai mengenal bahasa, tata krama, kosakata yang bejibun banyaknya, hingga budaya budaya dalam bentuk nyata lainnya. Dengan dasar yang kuat itu, bukannya tidak boleh mempelajari budaya lain. Namun, dengan adanya batu pijakan, yakni budaya daerah itu sendiri, membuat manusia menjadi semakin kuat dalam melangkah karena ia memiliki jatidiri yang telah dipegang teguh, sebagai manusia yang berbudaya, Bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar