Tulisan ini tidak dibuat oleh seorang yang memperoleh
pendidikan formal tentang manajemen transportasi atau tentang tata-kota. Hanya
tulisan dari seseorang yang hobi pergi kemana-mana dan membandingkan kota-kota
lain. 6 tahun merantau di kota metropolitan kedua di Indonesia tidak memudarkan
kecintaan pada Yogyakarta, dimana setiap keputusan yang
diambil oleh petinggi kekuasaan selalu atas kehendak senang-tidak senang penguasa. 18 tahun hidup di
Jogja lebih membuat saya cinta kepada Yogyakarta ketimbang cinta pada kota yang
saya tinggali 6 tahun, meskipun pada akhirnya saya tetap cinta pada kedua kota yang pernah saya tinggali itu. Tulisan ini hanya bertujuan agar Jogja menjadi kota yang
baik, teratur, dan tidak semrawut. Jogja tidak hanya dihuni oleh pribumi, namun
pendatang dari kota lain juga banyak. Tidak semua pendatang baik, demikian juga
tidak semua pribumi baik. Harapannya, ‘Ingkang Mbaureksa’ membaca tulisan ini
dan menjadi bahan pertimbangan, demi kebaikan Jogja.
TRANSPORTASI UMUM SEBAGAI SOLUSI JANGKA PANJANG
Pilihan utama pemerintah untuk mengatasi kemacetan di Jogja
adalah menyediakan angkutan umum yang terpadu, layak, aman, dan tersedia setiap waktu.
Sehingga masyarakat memiliki pilihan untuk mentransportasikan dirinya
masing-masing.
Teringat sekitar tahun 2000 awal, ketika Jogjakarta masih
didominasi bis kota, angkot, angkudes, dan sepeda onthel. Saat itu harga motor
masih dirasa mahal. Hanya satu dua saja yang punya motor. Semua jalur angkutan
umum tersedia. Dari Kenteng dan Godean (sebuah daerah di barat Jogja) ada bis
PEMUDA yang berwarna kuning, berangkat 2 kali sehari dari Kenteng. Dari Godean
menuju Terminal Jogja (Baik dari jaman masih di Umbulharjo maupun pindah ke
Giwangan) lewat pinggir kota (Wirobrajan, Kyai Mojo, Patangpuluhan, dst) juga
ada bis PRAYOGO yang tidak pernah sepi penumpang. Dari arah Turi (utara
Yogyakarta) ada angkudes jalur 23, demikian juga dari Tempel (Utara Jogja,
perbatasan DIY-Jawa Tengah) ada bis mini Jogja-Tempel yang selalu penuh dengan
pelajar, mbok-mbok sayur, dan semua orang yang akan bekerja. Dari arah timur
(Prambanan dan Maguwo) ada angkutan Prambanan-Maguwo dan bis RAS (Rukun Agawe
Santoso) yang melayani rute Maguwo dsk, masuk ke area UGM, dan berakhir di Jombor.
Dari selatan juga ada bis Imogiri-Jogja dan Parangtritis-Jogja yang sering
membawa barang bejibun di atap bis. Demikian juga di pusat kota Jogja,
diantaranya jalur 12, 15, 4, 2, 5, 7, Kobutri, dan lain sebagainya, yang
sekarang posisinya mulai tergeser. Tergeser siapa? Trans Jogja? BUKAN! Tergeser
oleh kendaraan pribadi yang saat ini memperolehnya semudah beli jajan pasar di
pasar Wage.
Pengelolaan transportasi umum Jogja perlu masuk ke jenjang
yang lebih serius lagi. Bukan sekedar berpedoman pada prinsip sejak dahulu
kala: ‘Nek ono penumpang e yo mangkat’ (Kalau ada penumpangnya ya berangkat)
alias prinsip sak karepe dhewe, sesukanya sendiri. Pengelolaan transportasi
harus terpadu, teratur, serius, dan layak, serta mengedepankan keamanan dan kenyamanan.
Trans Jogja (TJ) pada awal pendiriannya memberikan harapan
baru bagi Yogyakarta dan sekitarnya, terutama yang daerahnya dilalui rute TJ
ini. Namun kenyataannya tidak demikian. Jargon lebih cepat, lebih murah, lebih
mudah, sepertinya tidak berjalan dengan baik. Rute yang terlalu panjang
ditambah jalur yang menjadi satu dengan pengendara lain membuat jadwal yang
direncanakan tidak berjalan dengan baik. Awalnya ditawarkan sistem satu tarif untuk transit ke tujuan tertentu, ternyata tidak berjalan dengan baik karena beberapa rute harus memutar dulu, sehingga waktu tempuh akan makin panjang. Hingga akhirnya berujung pada masalah
internal TJ (potongan keterlambatan yang memberatkan, klaim kerusakan yang
tinggi, hingga sampai pada isu kelayakan dan kenyamanan kerja).
Menurut pengamatan saya, rute Trans Jogja ini terlalu luas.
Tujuan menjangkau seluruh lokasi dan ketepatan waktu tidak dapat dijadikan
satu. Harus berjalan secara terpisah. Rute yang terlalu panjang akan
meningkatkan resiko keterlambatan tiba di tujuan. Semakin panjang rutenya,
makin lama keterlambatan yang terjadi.
Untuk memperpendek rute ini, sebaiknya Trans Jogja berfokus
pada rute dalam kota Jogja saja. Bahkan, jika memungkinkan, dibuat berbagai hub
keberangkatan trans Jogja untuk tujuan ke dalam kota. Misalkan, wilayah utara
hubnya adalah Terminal Jombor dan Terminal Condong Catur, wilayah timur hub ada
di Bandara Adisutjipto dan Jl Wonosari/daerah Gembira Loka, wilayah selatan
hubnya di Terminal Giwangan, dan jika memungkinkan di daerah Jl Parangtritis,
sedangkan daerah barat, Hub bisa di Pasar Gamping maupun daerah Demak Ijo. Sub
Terminal Terban juga dapat dijadikan Hub, terutama untuk yang rute dari arah Jl
Kaliurang. Kemudian hub ini berfungsi sebagai sarana transit dari berbagai
daerah di luar Yogyakarta yang memadai. Tersedia sarana prasarana yang baik:
tempat parkir sepeda atau sepeda motor, toilet yang memadai (tidak perlu ada 20
toilet, hanya 2 atau 3 saja cukup asal terawat), papan petunjuk arah
keberangkatan bis yang baik. Dari hub ini, penumpang dapat menuju ke arah
manapun yang dilewati oleh Trans Jogja. Mungkin perlu transit beberapa kali
agar tiba di tujuan. Seperti di Belanda, untuk menuju suatu tempat, kadang
tidak bisa sekali naik angkutan kemudian sampai. Kadang bisa, namun harus
memutar. Tidak menjadi masalah, karena angkutan disana rutenya pendek-pendek,
waktunya berkesinambungan, alternatif waktu banyak sehingga pilihan juga
banyak, dan keterlambatan nyaris nol.
Untuk masalah rute, Trans Jogja tidak perlu menghubungkan
antar hub, karena kalau menghubungkan antar hub pasti akan sangat panjang
rutenya. Dibuat rute yang sederhana saja dan saling bersinggungan di beberapa
titik. Misalnya, dibuat rute Terminal Condong Catur-Jl Gejayan-UNY-UGM-Jl
Kaliurang-Condong Catur, Condong Catur-Kentungan-Jl Kaliurang-Mirota-UNY-Jl
Gejayan-Condong Catur, Terban-Tugu Jogja-Pingit-Bumijo-Malioboro-Jl Mataram-Kota
Baru-Kridosono-Terban, dst, dst. Kemudian rute dari terban tujuan kota bisa
bersinggungan dengan yang hubnya dari Condong Catur, Jombor, Giwangan, dan hub
lain. Dengan demikian, tiap hub hanya perlu menyediakan 2-3 bis saja untuk
rute-rute tersebut dengan perkiraan jarak antar bis 5-10 menit karena bis-bis
rute lain dalam satu hub akan berjalan dengan selisih waktu juga (ini Cuma kiralogi
lho ya, yang lebih ahli akan menghitung).
Sementara itu, rute Trans Jogja yang melingkari Ring Road
harus tetap diadakan dan diperbanyak armadanya sehingga setidaknya selisih antar bus hanya 15 menitan (ini lama lho, di Belanda selisih antar bis kota saja hanya sekitar 2-10 menit). Rute yang melingkari
ringroad ini akan menghubungkan semua hub yang ada di sekitar ringroad, yaitu
Terminal Giwangan, Hub Parang Tritis, Pasar Gamping, Hub Demak Ijo, Terminal
Jombor, Terminal Condong Catur, Hub Bandara Adisutjipto, dan Hub Jl Wonosari.
Sehingga, ketka suatu hub tidak punya rute ke suatu tujuan, sementara hub
terdekatnya ada tujuan tersebut, maka bisa berpindah dari satu hub ke hub
lainnya dengan cepat. Sehingga perjalanan bisa lebih cepat dan tetap murah.
Itu tadi untuk pusat kota Jogja, Kodya Yogyakarta. Bagaimana
dengan daerah seperti Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul? Ditelantarkan kah?
Atau biar pemerintah daerah yang memikirkan? Kalau didiamkan sepertinya tidak
baik, karena kebanyakan kendaraan pribadi yang masuk ke Kodya Yogyakarta adalah
kendaraan dari Kabupaten-Kabupaten di sekitarnya.
Dalam hal ini perlu ada sinergi yang sangat baik antara
pemerintah kabupaten, pemerintah kota, pemerintah propinsi, dan penyedia
layanan transportasi. Sinergi yang benar-benar sinergi, bukan Cuma kata-kata
sinergi yang sering digaungkan saat berpidato di depan masyarakat.
Jika sistem hub tersebut disepakati, maka sistem selanjutnya
adalah ‘menghidupkan kembali angkutan pedesaan yang telah mati’. Tepat sekali,
angkutan pedesaan inilah yang akan menjadi penghubung daerah kabupaten ke
hub-hub yang tersebar di penjuru Yogyakarta ini.
Dalam tulisan ini, perlu ada pemahaman bersama, kita tidak
mungkin menghilangkan kendaraan bermotor. Kita hanya bisa memperpendek jarak
tempuh kendaraan bermotor saja, memaksa mereka menggunakan angkutan umum
terdekat, dan akhirnya jumlah kendaraan bermotor di jalan dapat berkurang
perlahan (tentu akan mendapat penolakan dari produsen kendaraan bermotor).
Maka, jika ada yang usul ‘mbok ya kalau bisa kendaraan umumnya lewat di depan
rumah persis’, itu adalah usul yang MENGADA-ADA dan MUSTAHIL. Di negara
manapun, perlu jalan kaki, naik sepeda, atau naik motor agar bisa naik
kendaraan umum. Bahkan, di Belanda sewaktu kesasar disana, harus jalan 1 km
agar bisa naik bis kota disana (itupun bis kotanya rutenya tidak lebih dari 10
km, roll on roll off).
Nah, lanjut lagi. Angkutan pedesaan ini, nantinya
berbasiskan kartu (mungkin bisa dimanfaatkan e-cash atau e-money, toh sekarang
sudah mulai ‘njaman’). Demikian juga semua angkutan umum yang ada. Entah dengan
sistem jarak, atau sistem sekali naik (sepertinya bijaksana jika dengan sistem
jarak). Angkutan pedesaan inilah yang nantinya akan menjemput penumpang dari
terminal-terminal atau hub-hub sentral di kabupaten. Misalkan, di Sleman paling
utara, sentralnya adalah Tempel, Turi, Pakem, Cangkringan. Sleman timur
Prambanan dan Berbah yang nanti akan terkoneksi dengan hub Piyungan, Bantul
(hub Piyungan nantinya juga bisa sebagai terminal sentral penumpang dari Gunung
Kidul). Sementara Sleman barat hubnya ada di Kenteng, Minggir (yang nantinya
bisa menuju ke Hub Demak Ijo atau hub Terminal Jombor). Angkutan pedesaan ini
nantinya memiliki 2 sistem. Pertama adalah sistem shuttle, yaitu menghantarkan
penumpang dari hub kabupaten menuju hub Kotamadya. Jadi misalnya, rute Hub
Minggir-Hub Terminal Jombor. Nah, antar hub ini diberikan sejenis halte untuk
menaik-turunkan penumpang. Jadi nggak bisa ngawur naik turunkan penumpangnya.
Halte misalnya dibuat tiap 1 km atau tiap 2 km. Dan tiap 5 km diadakan semacam
halte besar yang bisa digunakan sebagai penitipan sepeda/sepeda motor. Kedua,
diadakan angkutan pedesaan yang menghubungkan hub kabupaten ini ke
daerah-daerah yang tidak terjangkau angkutan shuttle tadi (setidaknya radius
2-3 km dari shuttle).
Ketika sistem ini berjalan, maka hasilnya sangat baik dan
teratur sekali. Misal rumah saya ada di Minggir, dekat lesehan Mang Engking dan
ingin ke Malioboro. Saya hanya perlu naik sepeda onthel atau jalan kaki atau
naik angkutan pedesaan ke Hub Minggir. Dari Hub Minggir saya tinggal pilih ke Hub Demak Ijo/Gamping,
kemudian memilih rute yang dalam kota dan hanya perlu ganti sekali lagi di
halte tengah kota untuk tujuan ke Malioboro.
Ketka sistem ini berjalan, maka semuanya terkomputerisasi.
Bagi yang pernah berkunjung ke Belanda, tentunya mengenal web atau aplikasi
9292.nl. Dengan aplikasi ini, kita dapat menentukan mau pergi kemana, jam
berapa, dengan kereta apa, di jalur mana, bis nomer berapa, transit dimana, transportasi
datang jam berapa, dan berapa tarifnya. Sedemikian detilnya jika bisa teratur.
Mungkinkah? Jogjakarta sangat mungkin karena belum terlambat. Dengan rute yang
pendek dan menggunakan hub, sepertinya sudah cukup untuk membangun transportasi
massal yang baik. Baru kemudian jika ternyata sistem bis kota-angkot-angkudes
terintegrasi ini pertumbuhan kendaraan bermotor semakin tinggi, baru dilakukan
pembangunan subway maupun monorail.
Di negara maju, mungkin hampir semua negara maju (karena saya belum pernah datang ke seluruh kota maju di dunia), hampir tidak mungkin tidak melakukan transit ketika akan berkunjung ke suatu tujuan. Misalkan, di Singapura saya harus transit 1 kali dari kampung India menuju ke Lucky Plaza. Di Belanda pun demikian, untuk menuju ke Den Haag dari Rotterdam harus transit beberapa kali. Padahal, dalam Aplikasi Google Maps, kedua jarak tempat tersebut berdekatan. Kalau pakai mobil bisa lebih dekat sepertinya.Tapi kenyataannya waktu tempuh antara kedua tempat tersebut sama saja ketika ditempuh dengan mobil maupun kendaraan umum, dan sudah tentu biayanya lebih murah jika pakai kendaraan umum. Di Singapura diterapkan parkir berbayar dan jalan berbayar (mirip sistem tol otomatis), sehingga biaya bepergian mahal. Perlu waktu untuk membiasakan masyarakat bisa menggunakan kendaraan umum. Selain pengaturan sistem yang baik, perlu juga dilakukan penerapan peraturan yang tegas di jalan raya, biaya parkir yang makin tinggi, pajak yang makin tinggi, dan lain sebagainya.
Rumit? Yak, otak manusia memang terbatas, dan satu manusia
tidak harus kok memikirkan satu sistem ini. Era komputerisasi sudah lama
berlangsung. Sepertinya jika mengunakan komputer, semuanya amat sangat jauh
lebih mudah sekali. Tinggal mempunyai kemauan bersama, mempunyai tujuan yang
sama, membentuk tim, dan membuat semuanya nyata. Toh anak Jogja asli yang
kuliah di UGM yang kemudian menjadi orang top dalam bidang tata kota,
manajemen, manajemen transportasi, IT, dan lain sebagainya juga amat sangat banyak
sekali. Apa gunanya kita sebagai Kota Pendidikan tapi terbelakang dalam
memikirkan yang demikian? Bukankah akan lebih baik pula ketika tradisionalitas akan bersanding dengan teknologi :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar