Selasa, 13 Desember 2016

Jogjakarta Dalam Cengkeraman Kemacetan (Part 1)

Tulisan ini tidak dibuat oleh seorang yang memperoleh pendidikan formal tentang manajemen transportasi atau tentang tata-kota. Hanya tulisan dari seseorang yang hobi pergi kemana-mana dan membandingkan kota-kota lain. 6 tahun merantau di kota metropolitan kedua di Indonesia tidak memudarkan kecintaan pada Yogyakarta, dimana setiap keputusan yang diambil oleh petinggi kekuasaan selalu atas kehendak senang-tidak senang penguasa. 18 tahun hidup di Jogja lebih membuat saya cinta kepada Yogyakarta ketimbang cinta pada kota yang saya tinggali 6 tahun, meskipun pada akhirnya saya tetap cinta pada kedua kota yang pernah saya tinggali itu. Tulisan ini hanya bertujuan agar Jogja menjadi kota yang baik, teratur, dan tidak semrawut. Jogja tidak hanya dihuni oleh pribumi, namun pendatang dari kota lain juga banyak. Tidak semua pendatang baik, demikian juga tidak semua pribumi baik. Harapannya, ‘Ingkang Mbaureksa’ membaca tulisan ini dan menjadi bahan pertimbangan, demi kebaikan Jogja.

TRANSPORTASI UMUM SEBAGAI SOLUSI JANGKA PANJANG

Pilihan utama pemerintah untuk mengatasi kemacetan di Jogja adalah menyediakan angkutan umum yang terpadu, layak, aman, dan tersedia setiap waktu. Sehingga masyarakat memiliki pilihan untuk mentransportasikan dirinya masing-masing.

Teringat sekitar tahun 2000 awal, ketika Jogjakarta masih didominasi bis kota, angkot, angkudes, dan sepeda onthel. Saat itu harga motor masih dirasa mahal. Hanya satu dua saja yang punya motor. Semua jalur angkutan umum tersedia. Dari Kenteng dan Godean (sebuah daerah di barat Jogja) ada bis PEMUDA yang berwarna kuning, berangkat 2 kali sehari dari Kenteng. Dari Godean menuju Terminal Jogja (Baik dari jaman masih di Umbulharjo maupun pindah ke Giwangan) lewat pinggir kota (Wirobrajan, Kyai Mojo, Patangpuluhan, dst) juga ada bis PRAYOGO yang tidak pernah sepi penumpang. Dari arah Turi (utara Yogyakarta) ada angkudes jalur 23, demikian juga dari Tempel (Utara Jogja, perbatasan DIY-Jawa Tengah) ada bis mini Jogja-Tempel yang selalu penuh dengan pelajar, mbok-mbok sayur, dan semua orang yang akan bekerja. Dari arah timur (Prambanan dan Maguwo) ada angkutan Prambanan-Maguwo dan bis RAS (Rukun Agawe Santoso) yang melayani rute Maguwo dsk, masuk ke area UGM, dan berakhir di Jombor. Dari selatan juga ada bis Imogiri-Jogja dan Parangtritis-Jogja yang sering membawa barang bejibun di atap bis. Demikian juga di pusat kota Jogja, diantaranya jalur 12, 15, 4, 2, 5, 7, Kobutri, dan lain sebagainya, yang sekarang posisinya mulai tergeser. Tergeser siapa? Trans Jogja? BUKAN! Tergeser oleh kendaraan pribadi yang saat ini memperolehnya semudah beli jajan pasar di pasar Wage.

Pengelolaan transportasi umum Jogja perlu masuk ke jenjang yang lebih serius lagi. Bukan sekedar berpedoman pada prinsip sejak dahulu kala: ‘Nek ono penumpang e yo mangkat’ (Kalau ada penumpangnya ya berangkat) alias prinsip sak karepe dhewe, sesukanya sendiri. Pengelolaan transportasi harus terpadu, teratur, serius, dan layak, serta mengedepankan keamanan dan kenyamanan.

Trans Jogja (TJ) pada awal pendiriannya memberikan harapan baru bagi Yogyakarta dan sekitarnya, terutama yang daerahnya dilalui rute TJ ini. Namun kenyataannya tidak demikian. Jargon lebih cepat, lebih murah, lebih mudah, sepertinya tidak berjalan dengan baik. Rute yang terlalu panjang ditambah jalur yang menjadi satu dengan pengendara lain membuat jadwal yang direncanakan tidak berjalan dengan baik. Awalnya ditawarkan sistem satu tarif untuk transit ke tujuan tertentu, ternyata tidak berjalan dengan baik karena beberapa rute harus memutar dulu, sehingga waktu tempuh akan makin panjang. Hingga akhirnya berujung pada masalah internal TJ (potongan keterlambatan yang memberatkan, klaim kerusakan yang tinggi, hingga sampai pada isu kelayakan dan kenyamanan kerja).

Menurut pengamatan saya, rute Trans Jogja ini terlalu luas. Tujuan menjangkau seluruh lokasi dan ketepatan waktu tidak dapat dijadikan satu. Harus berjalan secara terpisah. Rute yang terlalu panjang akan meningkatkan resiko keterlambatan tiba di tujuan. Semakin panjang rutenya, makin lama keterlambatan yang terjadi.

Untuk memperpendek rute ini, sebaiknya Trans Jogja berfokus pada rute dalam kota Jogja saja. Bahkan, jika memungkinkan, dibuat berbagai hub keberangkatan trans Jogja untuk tujuan ke dalam kota. Misalkan, wilayah utara hubnya adalah Terminal Jombor dan Terminal Condong Catur, wilayah timur hub ada di Bandara Adisutjipto dan Jl Wonosari/daerah Gembira Loka, wilayah selatan hubnya di Terminal Giwangan, dan jika memungkinkan di daerah Jl Parangtritis, sedangkan daerah barat, Hub bisa di Pasar Gamping maupun daerah Demak Ijo. Sub Terminal Terban juga dapat dijadikan Hub, terutama untuk yang rute dari arah Jl Kaliurang. Kemudian hub ini berfungsi sebagai sarana transit dari berbagai daerah di luar Yogyakarta yang memadai. Tersedia sarana prasarana yang baik: tempat parkir sepeda atau sepeda motor, toilet yang memadai (tidak perlu ada 20 toilet, hanya 2 atau 3 saja cukup asal terawat), papan petunjuk arah keberangkatan bis yang baik. Dari hub ini, penumpang dapat menuju ke arah manapun yang dilewati oleh Trans Jogja. Mungkin perlu transit beberapa kali agar tiba di tujuan. Seperti di Belanda, untuk menuju suatu tempat, kadang tidak bisa sekali naik angkutan kemudian sampai. Kadang bisa, namun harus memutar. Tidak menjadi masalah, karena angkutan disana rutenya pendek-pendek, waktunya berkesinambungan, alternatif waktu banyak sehingga pilihan juga banyak, dan keterlambatan nyaris nol.

Untuk masalah rute, Trans Jogja tidak perlu menghubungkan antar hub, karena kalau menghubungkan antar hub pasti akan sangat panjang rutenya. Dibuat rute yang sederhana saja dan saling bersinggungan di beberapa titik. Misalnya, dibuat rute Terminal Condong Catur-Jl Gejayan-UNY-UGM-Jl Kaliurang-Condong Catur, Condong Catur-Kentungan-Jl Kaliurang-Mirota-UNY-Jl Gejayan-Condong Catur, Terban-Tugu Jogja-Pingit-Bumijo-Malioboro-Jl Mataram-Kota Baru-Kridosono-Terban, dst, dst. Kemudian rute dari terban tujuan kota bisa bersinggungan dengan yang hubnya dari Condong Catur, Jombor, Giwangan, dan hub lain. Dengan demikian, tiap hub hanya perlu menyediakan 2-3 bis saja untuk rute-rute tersebut dengan perkiraan jarak antar bis 5-10 menit karena bis-bis rute lain dalam satu hub akan berjalan dengan selisih waktu juga (ini Cuma kiralogi lho ya, yang lebih ahli akan menghitung).

Sementara itu, rute Trans Jogja yang melingkari Ring Road harus tetap diadakan dan diperbanyak armadanya sehingga setidaknya selisih antar bus hanya 15 menitan (ini lama lho, di Belanda selisih antar bis kota saja hanya sekitar 2-10 menit). Rute yang melingkari ringroad ini akan menghubungkan semua hub yang ada di sekitar ringroad, yaitu Terminal Giwangan, Hub Parang Tritis, Pasar Gamping, Hub Demak Ijo, Terminal Jombor, Terminal Condong Catur, Hub Bandara Adisutjipto, dan Hub Jl Wonosari. Sehingga, ketka suatu hub tidak punya rute ke suatu tujuan, sementara hub terdekatnya ada tujuan tersebut, maka bisa berpindah dari satu hub ke hub lainnya dengan cepat. Sehingga perjalanan bisa lebih cepat dan tetap murah.

Itu tadi untuk pusat kota Jogja, Kodya Yogyakarta. Bagaimana dengan daerah seperti Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul? Ditelantarkan kah? Atau biar pemerintah daerah yang memikirkan? Kalau didiamkan sepertinya tidak baik, karena kebanyakan kendaraan pribadi yang masuk ke Kodya Yogyakarta adalah kendaraan dari Kabupaten-Kabupaten di sekitarnya.

Dalam hal ini perlu ada sinergi yang sangat baik antara pemerintah kabupaten, pemerintah kota, pemerintah propinsi, dan penyedia layanan transportasi. Sinergi yang benar-benar sinergi, bukan Cuma kata-kata sinergi yang sering digaungkan saat berpidato di depan masyarakat.

Jika sistem hub tersebut disepakati, maka sistem selanjutnya adalah ‘menghidupkan kembali angkutan pedesaan yang telah mati’. Tepat sekali, angkutan pedesaan inilah yang akan menjadi penghubung daerah kabupaten ke hub-hub yang tersebar di penjuru Yogyakarta ini.

Dalam tulisan ini, perlu ada pemahaman bersama, kita tidak mungkin menghilangkan kendaraan bermotor. Kita hanya bisa memperpendek jarak tempuh kendaraan bermotor saja, memaksa mereka menggunakan angkutan umum terdekat, dan akhirnya jumlah kendaraan bermotor di jalan dapat berkurang perlahan (tentu akan mendapat penolakan dari produsen kendaraan bermotor). Maka, jika ada yang usul ‘mbok ya kalau bisa kendaraan umumnya lewat di depan rumah persis’, itu adalah usul yang MENGADA-ADA dan MUSTAHIL. Di negara manapun, perlu jalan kaki, naik sepeda, atau naik motor agar bisa naik kendaraan umum. Bahkan, di Belanda sewaktu kesasar disana, harus jalan 1 km agar bisa naik bis kota disana (itupun bis kotanya rutenya tidak lebih dari 10 km, roll on roll off).

Nah, lanjut lagi. Angkutan pedesaan ini, nantinya berbasiskan kartu (mungkin bisa dimanfaatkan e-cash atau e-money, toh sekarang sudah mulai ‘njaman’). Demikian juga semua angkutan umum yang ada. Entah dengan sistem jarak, atau sistem sekali naik (sepertinya bijaksana jika dengan sistem jarak). Angkutan pedesaan inilah yang nantinya akan menjemput penumpang dari terminal-terminal atau hub-hub sentral di kabupaten. Misalkan, di Sleman paling utara, sentralnya adalah Tempel, Turi, Pakem, Cangkringan. Sleman timur Prambanan dan Berbah yang nanti akan terkoneksi dengan hub Piyungan, Bantul (hub Piyungan nantinya juga bisa sebagai terminal sentral penumpang dari Gunung Kidul). Sementara Sleman barat hubnya ada di Kenteng, Minggir (yang nantinya bisa menuju ke Hub Demak Ijo atau hub Terminal Jombor). Angkutan pedesaan ini nantinya memiliki 2 sistem. Pertama adalah sistem shuttle, yaitu menghantarkan penumpang dari hub kabupaten menuju hub Kotamadya. Jadi misalnya, rute Hub Minggir-Hub Terminal Jombor. Nah, antar hub ini diberikan sejenis halte untuk menaik-turunkan penumpang. Jadi nggak bisa ngawur naik turunkan penumpangnya. Halte misalnya dibuat tiap 1 km atau tiap 2 km. Dan tiap 5 km diadakan semacam halte besar yang bisa digunakan sebagai penitipan sepeda/sepeda motor. Kedua, diadakan angkutan pedesaan yang menghubungkan hub kabupaten ini ke daerah-daerah yang tidak terjangkau angkutan shuttle tadi (setidaknya radius 2-3 km dari shuttle).

Ketika sistem ini berjalan, maka hasilnya sangat baik dan teratur sekali. Misal rumah saya ada di Minggir, dekat lesehan Mang Engking dan ingin ke Malioboro. Saya hanya perlu naik sepeda onthel atau jalan kaki atau naik angkutan pedesaan ke Hub Minggir. Dari Hub Minggir  saya tinggal pilih ke Hub Demak Ijo/Gamping, kemudian memilih rute yang dalam kota dan hanya perlu ganti sekali lagi di halte tengah kota untuk tujuan ke Malioboro.

Ketka sistem ini berjalan, maka semuanya terkomputerisasi. Bagi yang pernah berkunjung ke Belanda, tentunya mengenal web atau aplikasi 9292.nl. Dengan aplikasi ini, kita dapat menentukan mau pergi kemana, jam berapa, dengan kereta apa, di jalur mana, bis nomer berapa, transit dimana, transportasi datang jam berapa, dan berapa tarifnya. Sedemikian detilnya jika bisa teratur. Mungkinkah? Jogjakarta sangat mungkin karena belum terlambat. Dengan rute yang pendek dan menggunakan hub, sepertinya sudah cukup untuk membangun transportasi massal yang baik. Baru kemudian jika ternyata sistem bis kota-angkot-angkudes terintegrasi ini pertumbuhan kendaraan bermotor semakin tinggi, baru dilakukan pembangunan subway maupun monorail.

Di negara maju, mungkin hampir semua negara maju (karena saya belum pernah datang ke seluruh kota maju di dunia), hampir tidak mungkin tidak melakukan transit ketika akan berkunjung ke suatu tujuan. Misalkan, di Singapura saya harus transit 1 kali dari kampung India menuju ke Lucky Plaza. Di Belanda pun demikian, untuk menuju ke Den Haag dari Rotterdam harus transit beberapa kali. Padahal, dalam Aplikasi Google Maps, kedua jarak tempat tersebut berdekatan. Kalau pakai mobil bisa lebih dekat sepertinya.Tapi kenyataannya waktu tempuh antara kedua tempat tersebut sama saja ketika ditempuh dengan mobil maupun kendaraan umum, dan sudah tentu biayanya lebih murah jika pakai kendaraan umum. Di Singapura diterapkan parkir berbayar dan jalan berbayar (mirip sistem tol otomatis), sehingga biaya bepergian mahal. Perlu waktu untuk membiasakan masyarakat bisa menggunakan kendaraan umum. Selain pengaturan sistem yang baik, perlu juga dilakukan penerapan peraturan yang tegas di jalan raya, biaya parkir yang makin tinggi, pajak yang makin tinggi, dan lain sebagainya. 


Rumit? Yak, otak manusia memang terbatas, dan satu manusia tidak harus kok memikirkan satu sistem ini. Era komputerisasi sudah lama berlangsung. Sepertinya jika mengunakan komputer, semuanya amat sangat jauh lebih mudah sekali. Tinggal mempunyai kemauan bersama, mempunyai tujuan yang sama, membentuk tim, dan membuat semuanya nyata. Toh anak Jogja asli yang kuliah di UGM yang kemudian menjadi orang top dalam bidang tata kota, manajemen, manajemen transportasi, IT, dan lain sebagainya juga amat sangat banyak sekali. Apa gunanya kita sebagai Kota Pendidikan tapi terbelakang dalam memikirkan yang demikian? Bukankah akan lebih baik pula ketika tradisionalitas akan bersanding dengan teknologi :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar