Sabtu, 01 Juni 2013

Indonesia, Perokok, dan Beban Kehidupan

"Ngopo e kok leh mu ngrokok ngebes tenan" (Kenapa kok ngrokoknya kenceng banget?)
"Lagi ngelu e..." (Baru pusing)

Setidaknya potongan percakapan di atas biasa terjadi ketika saya menanyai sahabat/teman yang sedang merokok, dan merokoknya kenceng pada suatu kesempatan. Dan jawaban 'sedang pusing', 'sedang ada masalah', atau 'sedang tidak punya uang' selalu muncul ketika saya menanyai orang yang ngerokoknya 'ngebes'. Ada hubungan yang saling terkait antara beban hidup (gaji, permasalahan, beban pekerjaan, urusan sekolah, dan lain sebagainya) dengan kebiasaan merokok.
Kita mencoba memandang kebiasaan merokok dari sisi lain. Sudah biasa kita menuding-nuding perusahaan rokok berikut iklan-iklannya sebagai salah satu agen yang menyebabkan banyak orang rela menghabiskan uang untuk membeli rokok. Namun, jarang kita melihat dari sisi si pengguna rokok tersebut bahwa ada hal lain yang membuat ia harus senantiasa membeli rokok, hingga menjadi kebiasaan merokok, karena beban kehidupan yang harus mereka tanggung.
Orang Indonesia tergolong orang dengan beban kehidupan yang luar biasa tinggi. Tanpa menggunakan data, saya berani berkata demikian melalui pengalaman dan pengamatan (karena data terkadang menipu, dan data hanya akan sekedar berkata secara kuantitatif, tidak kualitatif). Bisa kita lihat secara bersama, sejak jaman sekolah saja sudah dibebani dengan beban mata pelajaran, yang menurut saya, bukan tuntutannya untuk anak-anak dengan usia tersebut. Anak-anak SD kelas 1-3 sudah dituntut untuk bisa berbahasa Inggris, bahasa yang bukan bahasa ibu dan sangat dipaksakan untuk menjadi bahasa ibu. Alasannya, supaya lebih maju. Padahal tidak ada korelasi langsung antara bisa berbahasa Inggris dan Indonesia maju, yang ada si anak malah semakin terbeban. Begitu juga dengan tingkatan selanjutnya yang dipaksa untuk belajar yang seharusnya belum menjadi porsinya. Ditambah les musik, les olahraga, dan lain sebagainya yang sebenarnya menambah beban pikiran dari si anak tersebut. Beranjak SMP beban akan semakin berat, masih tetap les ini itu. Dan beranjak ke bangku SMA harus mampu masuk IPA, jurusan yang dianggap bagus (padahal menurut saya tidak demikian juga (saya SMA di IPA)) dan harus bisa masuk kuliah favorit: Kedokteran! Ketika kuliah, kembali dibebani dengan jumlah SKS. Beban ketika kuliah yang sangat menyiksa bagi generasi masa kini adalah percepatan kuliah, dimana 144 SKS harus bisa diselesaikan selama 3,5 tahun. Hanya demi IPK 3,5 dan predikat lulus Cumlaude. Dan ketika kerja, dibiasakan dengan pressure yang sangat tinggi, dan manusia disamakan mesin! Lebih baiknya lagi, bahwa di Indonesia, untuk mengimbangi semua pressure yang diberikan tersebut, hanya sedikit atau bahkan tidak ada waktu untuk liburan yang diberikan hanya sekedar untuk meletakkan beban-beban tersebut dan sedikit refreshing saja (Sekolah, dari SD-SMA libur semester hanya 2 minggu, perkuliahan lumayan panjang (1-2 bulan), dan kerja nyaris tidak ada hari libur kecuali Sabtu -Minggu dan hari libur besar). Wow!
Pertanyaannya, kemana beban kehidupan ini harus dilarikan ketika semua orang dikatakan memiliki beban kehidupan yang rata-rata relatif sama? Manusia penuh dengan beban. Seharusnya, seorang suami bisa sedikit berbagi beban kepada isterinya. Namun, karena isterinya pun pasti punya tanggungan beban rumah tangga sendiri, maka isterinya pun tidak mampu turut serta menanggung beban kehidupan suaminya. Seharusnya, seorang mahasiswa bisa berbagi beban kehidupannya dengan curhat dengan teman-temannya. Tapi, tidak jarang yang terjadi adalah bebannya bertambah lagi karena harus ikut-ikutan menanggung beban temannya juga.
Hingga akhirnya, rokok menjadi pelarian dan menjadi tempat 'menanggung beban' sementara. Pertanyaan yang pasti muncul adalah, orang luar negri (baca: Eropa dan Amerika) memiliki beban kerja yang sedemikian besar. Tapi kenapa mereka tidak menyerahkan seluruh beban kehidupannya pada sebatang rokok? Jawabannya adalah karena setiap pekerja di Eropa dan Amerika memiliki jatah 'berlibur' yang 'dibiayai oleh perusahaan mereka' untuk 'meletakkan sedikit beban kerja mereka, dan refreshing bersama keluarga mereka'.
Karena di Indonesia kesempatan untuk refreshing menjadi sebuah kesempatan yang sangat mahal dan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang sudah kaya. Rokok menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang berpenghasilan menengah ke bawah ini untuk menjadi sarana refreshing yang bisa dilakukan sewaktu-waktu dan hanya membutuhkan waktu singkat. Cukup 5-15 menit, seseorang sudah bisa berpetualang dengan sebatang rokoknya. Karena awalnya bisa menenangkan diri dengan sebatang rokok, maka kemudian ini menjadi keterusan, dan menjadi sebuah kebiasaan: menenangkan diri, meletakkan beban dengan merokok.
Pemerintah, perusahaan, dan tiap individu di Indonesia tidak akan pernah memahami ini. Percuma demo besar-besaran, membuat spanduk, membuat himbauan tentang bahaya rokok ketika memang kondisi yang ada seperti ini. Saat ini, tidak hanya perlunya pemahaman mengenai bahaya rokok. Dan saya yakin, perokok di Indonesia tidak bodoh. Mereka tahu, mereka paham tentang bahaya rokok. Namun, ada 1 hal yang telah membuat merokok menjadi kebiasaan. Maka, yang terpenting adalah bagaimana membuat orang yang belum terbiasa merokok ini menjadi terbiasa menyalurkan beban kehidupannya melalui cara lain yang lebih positif jika dibandingkan dengan merokok. Misal, memperbanyak refreshing dengan browsing internet, atau ke taman di dekat rumah. 

Tulisan ini, secara khusus saya buat secara khusus untuk memperingati World No Tobacco Day. Bukalah mata, bahwa ternyata kesalahan tidak murni 70% terletak pada perusahaan rokok berikut sarana promosinya dan pada pribadi-pribadi yang mengkonsumsi rokok. Beban kehidupan tidak hanya memicu 80% kasus bunuh diri, tapi juga mengambil peranan penting 60% pada kasus kecanduan rokok.

Jangan jauhi perokoknya. Tapi, jauhi dampak buruk dari merokok. Karena perokok adalah manusia. Karena perokok adalah keluarga kita dan memiliki hak yang sama dengan kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar