Selasa, 16 April 2013

Serba-Serbi BBM: Kasus Lama yang Selalu Baru

Tentang BBM bersubsidi akhir-akhir ini kembali menjadi topik hangat sekaligus meresahkan: negara kehabisan dana untuk menyubsidi BBM. Akibatnya kembali berbagai opsi, yang cuma itu-itu saja, ditawarkan: menaikkan harga BBM lah, pembatasan BBM lah, BBM bersubsidi cuma untuk ini lah itu lah. Dan pada akhirnya, di Jawa (atau mungkin di Indonesia) kebijakan yang diterapkan adalah pembatasan pembelian BBM bersubsidi (Premium dan Solar) hanya Rp 100.000,00 setiap kendaraan setiap pom bensin. Itupun selalu disertai antrian panjang di beberapa SPBU (salah satunya adalah di Magetan). Dampaknya? Angkutan barang dengan truk jelas akan tersendat, dan jelas angkutan antar kota antar propinsi akan terhambat juga.
Sudah menjadi permasalahan klasik dan penyelesaiannya hanya itu-itu saja. Masyarakat sepertinya juga sudah mulai jengah dengan masalah subsidi BBM, dengan masalah kenaikan minyak dunia, dan serba-serbinya terkait bahan bakar. Seharusnya permasalahan ini dapat dipoles lebih baik dan mendapatkan penyelesaian yang jangka panjang. Menaikkan harga BBM, pembatasan BBM untuk kalangan tertentu hanya merupakan solusi jangka pendek saja. Menaikkan harga BBM berimplikasi dengan kenaikan harga bahan pokok yang tentunya akan berimplikasi juga dengan permintaan kenaikan upah pegawai. Endingnya, masyarakat pada akhirnya kembali dimampukan membeli bahan bakar yang awalnya naik tersebut secara normal lagi. Konsumsi pun normal lagi, pasokan kurang, subsidi kurang, dan lain sebagainya. Akhirnya akan berputar lagi. Kita bisa bercermin dari tahun 1998-hari ini. Tahun '98 harga BBM bersubsidi lebih kurang masih Rp 1500, hingga akhirnya pada masa reformasi sempat naik jadi Rp 6000. Kenaikan yang sedemikian besarnya ternyata masyarakat segala kalangan masih mampu membeli, setelah diimbangi dengan kenaikan pendapatan (pasti kalau harga bahan pokok naik, buruh-buruh tanpa dikoordinir langsung demo untuk kenaikan UMR/UMK). Hingga harga BBM bersubsidi turun menjadi Rp 4500.
Pembatasan BBM untuk kalangan tertentu juga dirasa hanya akan menambah lingkaran setan. Misal BBM bersubsidi hanya untuk mobil tahun sekian dengan cc sekian. Orang Indonesia, saya yakin, adalah orang yang cerdas dan pandai kalau masalah 'ngakali' dan 'ngadali'. Sehingga bagaimanapun juga kalau tidak diterapkan peraturan yang ketat, maka tetap lolos.
Bocornya BBM bersubsidi ini jelas sangat mengkhawatirkan: sedemikian dahsyatnya kah pertumbuhan kendaraan di Indonesia? Tentu kali ini yang menjadi kambing hitam adalah Jawa, dan beberapa kota besar di pulau lain. Sebagian besar BBM bersubsidi di Indonesia dihabiskan di Jawa. Percaya atau tidak percaya, jumlah kendaraan di Jawa yang sangat pesat ini sebagai salah satu penyebabnya. Hari ini, satu orang sudah membawa satu motor. Bahkan di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Semarang, Jogja, Bandung satu orang sudah membawa satu mobil. Jadi, kalau satu rumah ada empat anggota keluarga, maka minimal rumah tersebut terdapat 3 sepeda motor, dan maksimalnya terdapat 4 mobil dan 1 sepeda motor (biasanya untuk pembantu). Mengerikan. Meskipun mau dibilang mobil yang digunakan adalah mobil dengan tingkat efisiensi yang terbaik, tentu ini sangat mengerikan. Rata-rata 1 mobil digunakan dalam kota membutuhkan bensin Rp 50000-100000 untuk ukuran mobil jaman sekarang (tidak peduli tahun berapa, rata2 mobil untuk dalam kota habis sekian). Sepeda motor 1 minggu untuk dalam kota habis paling banyak bensin Rp 20000. Tinggal dikalikan saja berapa konsumsi BBM satu keluarga tersebut selama 1 minggu-bulan-tahun, dan berapa defisit subsidi yang harus dikeluarkan.
Pembelian kendaraan yang terlalu mudah juga dituding sebagai salah satu penyebabnya. Beli mobil tinggal berangkat ke lembaga leasing dan membayar sejumlah uang yang tidak seberapa besar jika dibandingkan dengan KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Beli sepeda motor, ada yang tinggal DP Rp 500.000 sudah bawa pulang sepeda motor. Masyarakat semakin menjadi generasi yang mudah membeli, tapi melupakan bahwa kendaraan tersebut perlu BBM dan perlu perawatan. Akhirnya, mobil tidak lagi menjadi milik orang yang benar-benar mampu saja untuk 'mbensini-ngopeni' kendaraan tersebut. Semua kalangan punya kendaraan. Dan akhirnya ya ini, subsidi habis belum sampai akhir tahun!

****

Mengerikan ketika pada akhirnya dengan pembatasan pembelian BBM ini kendaraan pribadi lebih diuntungkan. Dengan Rp 100.000 sebuah angkutan umum dengan bahan bakar solar hanya dapat membeli solar sebanyak 22,2 liter. Ketika sebuah angkutan umum bus dengan kapasitas 59 orang dapat berjalan 3 kilometer dengan 1 liter solar, artinya kendaraan tersebut dapat melaju hingga 66,6 kilometer. Jarak tersebut lebih kurang hanya cukup untuk 1 kali PP bus kota Bungurasih-Kota-Tanjung Perak Surabaya. Dan untuk bus antar kota antar propinsi hanya cukup berjalan paling jauh Surabaya-Jombang. Bandingkan dengan mobil, Rp 100.000 bisa untuk bepergian dalam kota selama 1 minggu dengan 4 penumpang. Dan tentunya pengguna kendaraan pribadi tidak akan terimbas dengan pembatasan pembelian BBM tersebut.
Akan lebih arif ketika BBM bersubsidi diarahkan kepada pihak-pihak yang benar-benar membutuhkan. Dalam hal ini, sekali lagi, pemerintah perlu benar-benar tegas dalam mengatur hal ini. Siapa saja kira-kira pihak yang benar-benar 'membutuhkan'? 
Jelas dalam hal ini yang pertama adalah transportasi umum. Transportasi umum sangat membutuhkan karena dengan transportasi umum ini dapat ditopang pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Ketika transportasi umum mendapatkan subsidi yang selayaknya, maka akan terjadi sebuah sistem transportasi massal dengan tarif yang murah dan masyarakat banyak dapat dimobilisasi melalui transportasi massal ini. 
Pemerintah, dewasa ini, mulai mengembangkan secara serius transportasi massal yang ada di kota-kota besar di Indonesia dengan harapan jumlah penggunaan kendaraan bermotor menjadi lebih rendah, dampak selanjutnya tidak ada lagi kebingungan tentang subsidi BBM. Hal ini tidak akan terjadi ketika BBM subsidi masih dapat diminati oleh semua kalangan: orang bermobil bisa beli BBM bersubsidi. Akibatnya, selalu ada ketimpangan biaya operasional dengan kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Biasanya jatuhnya jauh lebih murah kendaraan pribadi sehingga orang lebih suka membeli kendaraan pribadi. Dengan memberikan BBM bersubsidi kepada transportasi massal ini, jelas akan terjadi ketimpangan biaya operasional lagi, dan transportasi massal akan diuntungkan karena biaya operasional kendaraan pribadi jadi lebih tinggi (Pertamax 92 saat ini Rp 10300, dan Pertamina DEX saat ini Rp 10300 juga). Dampaknya memang nanti banyak kendaraan yang tidak akan digunakan, namun dapat dipastikan pemasukan pajak melalui pajak kendaraan akan tetap. Transportasi massal akan mendapatkan keuntungannya. Tarif kereta api pun juga dapat diturunkan karena selama ini kereta api menggunakan BBM non-subsidi. Angkutan dalam kota pun bisa jadi lebih murah dan efisien. Pemberian BBM bersubsidi ini tidak terbatas hanya pada angkutan manusia, namun memungkinkan juga angkutan barang dengan syarat tertentu (namun diutamakan angkutan manusia terlebih dahulu). Namun, langkah ini akan berhasil ketika pemerintah daerah mengikutinya dengan pembangunan sistem transportasi massal terintegrasi di kotanya. Tidak susah sebenarnya, asalkan semua pihak sepakat pada 1 tujuan.
Kedua industri dalam negeri. Industri dalam negeri, terutama industri menengah dan kecil, berhak mendapatkan BBM bersubsidi. Dan ini bisa diterapkan ke semua daerah di Indonesia. Industri kecil dan menengah juga turut menopang perekonomian Indonesia dan masih perlu stimulus untuk terus berkembang. Pemberian stimulus dengan dana fresh tidak akan terlalu membantu ketika harga BBM yang harus mereka beli sangat tinggi.
Ketiga, ini adalah opsi yang boleh jadi dipertimbangkan, boleh jadi tidak. Salah satu dari 3 pihak yang layak mendapatkan BBM bersubsidi adalah pengguna sepeda motor. Namun, tidak semua pengguna sepeda motor adalah orang yang tidak mampu. Harley Davidson juga sepeda motor (meskipun mungkin tidak mengkonsumsi BBM bersubsidi karena CC yang besar). Pihak sepeda motor ini fifty:fifty mengenai kelayakannya menggunakan BBM bersubsidi. Mungkin mekanismenya bisa diatur menjadi dua cara. Pertama, hanya pengendara sepeda motor yang mempunyai Jamkesmas saja yang dapat membeli BBM bersubsidi, atau dalam tanda kutip orang yang secara ekonomi kurang mampu namun membutuhkan mobilitas yang tinggi dimana pemerintah tidak dapat memfasilitasi dengan kendaraan umum. Misalkan di kota kecil seperti Pacitan. Untuk menuju ke kota sangat jauh, medan berat, dan akses menuju jalan utama yang dilewati kendaraan umum juga jauh. Ini bisa jadi opsi tersebut. Kedua, hanya sepeda motor khusus yang dapat mengisikan BBM bersubsidi di SPBU-SPBU. Misalnya kendaraan bebek dengan besar silinder 115 CC kebawah (karena kebanyakan sepeda motor kelas menengah kebawah didesain dengan kapasitas silinder 115 CC). Sedangkan 116 CC keatas (termasuk 125 CC, 135 CC, 150 CC) tidak diperbolehkan membeli BBM bersubsidi. Salut untuk beberapa industri sepeda motor yang sudah memproduksi sepeda motor yang harus benar-benar menggunakan BBM non subsidi dan mekaniknya juga dilatih untuk memberikan settingan khusus BBM non subsidi (salah satu kolega pernah ada yang coba-coba mengisi dengan premium, motor jadi ngadat). 

***

Pemberian BBM subsidi kepada ketiga pihak tersebut saya rasa lebih menguntungkan daripada membuat kebijakan pembatasan BBM untuk mobil ini, mobil itu, dan pembatasan pembelian cuma sekian saja. Penerapannya tidak perlu susah-susah. Seandainya pemberian BBM bersubsidi kepada ketiga pihak tersebut diatas hanya berjalan di Jawa saja, yang notabene memiliki jumlah kendaraan yang bejibun, tentu pihak pemerintah pusat sudah cukup terbantu dan kondisi subsidi BBM bisa diselamatkan/dialihkan ke subsidi pendidikan/subsidi yang lainnya.
Tinggal bagaimana pemerintah berpikirnya saja sekarang. Mana mungkin pemerintah menyubsidi orang yang mampu? Bukankah orang yang dianggap mampu adalah orang yang salah satunya bisa membeli kendaraan bermotor? Maka, ariflah dalam memberikan subsidi. Berikan kepada yang benar-benar mampu: transportasi massal, industri kecil menengah, dan sepeda motor di daerah yang akses angkutan umumnya belum terjangkau. Dengan cara ini, harapannya selain subsidi BBM bisa ditekan, penggunaan dan kepercayaan terhadap transportasi massal dapat lebih ditingkatkan, penggunaan kendaraan pribadi dapat ditekan, pada akhirnya dapat menjadikan kota-kota besar bebas macet dan bebas polusi, serta mampu meningkatkan taraf ekonomi bagi kalangan menengah kebawah sebagai penggerak industri kecil-menengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar