Jumat, 19 April 2013

Perspektif Pemberdayaan dalam Problem Solving

Setiap insan manusia pasti menginginkan menjadi pemimpin yang sangat radikal dan revolusioner, terutama kaitannya dalam memimpin sebuah organisasi menuju ke arah yang lebih baik. Beberapa orang berpendapat bahwa saat ini pemimpin yang revolusioner sangat diperlukan, sehingga banyak insan muda dan pemimpin 'anyaran' yang berusaha diri untuk menjadi revolusioner. Revolusioner dalam artian begitu datang sebagai seorang pemimpin dalam suatu wilayah atau organisasi, langsung membuat berbagai sistem baru yang dianggapnya baik dan ideal dengan menabrakkan sistem baru tersebut dengan sistem yang sudah ada. Tidak salah. Namun, tindakan gegabah ini justru akan benar-benar menimbulkan kesan revolusioner kepada pemimpin tersebut, bahwa dengan tindakannya tidak jarang terjadi crash yang cukup mengerikan terutama kaitannya dengan problem solving dalam suatu masalah. Dan sindroma ini sangat sering terjadi, terutama di orang yang tengah panas-panasnya dalam berorganisasi. Dan saya sendiri sudah pernah mengalami fase ini.
Sebenarnya tidak salah mengartikan revolusioner dengan makna mengubah segala-galanya menjadi lebih baik dalam jangka waktu yang cepat, mudah, dan instan. Cara-cara tersebut, secara teoritis, dapat berjalan dengan baik. Namun, jangan lupa, dalam perspektif penyelesaian masalah (problem solving) yang kita selesaikan adalah banyak manusia dengan banyak sifat dan pemikiran. Cara-cara represif, dengan membangun sebuah sistem baru yang lebih baik diatas sebuah sistem yang telah lama mapan di masyarakat, terkadang menimbulkan banyak penolakan karena masyarakat yang telah terlanjur nyaman dengan sistem yang lama. Alih-alih permasalahan dapat selesai, namun justru muncul permasalahan baru: konflik antar sistem yang bisa merugikan komponen pengguna sistem tersebut.

Berbagai Cara Penyelesaian Masalah

Penyelesaian masalah sebenarnya ada banyak cara. Pertama adalah dengan cara seperti yang saya sebutkan di atas, membuat sistem baru yang pemimpin saat itu anggap lebih baik, lebih mapan, dan lebih sempurna dari sistem sebelumnya, namun dengan mendesak atau menyaingi sistem yang lama. Kemudian akan terjadi dua pendekatan. Secara represif dan secara perlahan-lahan. Secara represif yakni dengan memaksakan sistem yang baru tersebut untuk berjalan dan secara tidak langsung melalui berbagai cara dan media menonaktifkan sistem yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan secara perlahan-lahan adalah dengan memaksakan sistem baru itu tetap jalan sembari secara perlahan-lahan melakukan pendekatan persuasif kepada pengguna sistem lama untuk mau mengikuti sistem baru. Pembuatan sistem baru diatas sistem yang lama tentu akan berakibat pada 'persaingan antar sistem'. Ini berbahaya, karena pandangan masyarakat Indonesia pada umumnya, baik di organisasi tingkat masyarakat maupun kumpulan masyarakatnya, berpandangan skeptis terhadap sistem baru karena dianggap merusak kemapanan. Konflik kecil kadang muncul, dan munculnya konflik-konflik kecil ini akan menjadi sarana untuk melakukan tindakan represif bagi seorang pemimpin.
Cara kedua adalah dengan memanfaatkan empowerment. Empowerment atau sering diartikan sebagai pemberdayaan merupakan sebuah proses yang menghargai kearifan lokal. Kearifan lokal dalam hal ini tidak memiliki arti sempit hanya dalam aspek seni, budaya, dan kebudayaan masyarakat sekitar/masyarakat organisasi. Kearifan lokal disini lebih memandang sebagai suatu hal yang luas: segala sesuatu yang ada di lingkungan masyarakat sebelum ada pemikiran akan dibuatnya sebuah sistem baru. Misalnya, Pak Jokowi, Gubernur Jakarta, akan membuat sebuah Mass Rapid Transit yang terintegrasi. Maka, Pak Jokowi memandang angkot, metromini, trans jakarta, commuter line yang sudah ada sebagai apa yang disebut sebagai 'kearifan lokal' tersebut.
Prinsip pemberdayaan ini, sejauh saya mencoba selama beberapa tahun terakhir ini, merupakan sistem yang jauh sangat efektif dalam melaksanakan perubahan yang revolusioner. Meskipun membutuhkan waktu yang lama, namun segala proses yang terjadi akan diimbangi dengan hasil yang sangat memuaskan juga: perasaan sikap saling menerima di antara pihak yang konflik terhadap keputusan yang sudah diberikan.
Prinsip pemberdayaan, dalam hal ini adalah memberdayakan kearifan lokal tersebut. Memanfaatkan apa yang sudah ada terlebih dahulu, untuk dilaksanakan beberapa pengaturan kecil. Misalkan, dalam sebuah organisasi terdapat seminimalnya BPH dan koordinator seksi berikut anggotanya. Organisasi ini memiliki permasalahan di dalam ketertiban anggotanya. Jika kita akan memanfaatkan prinsip pemberdayaan, maka kita tidak perlu membentuk sistem baru, dengan membentuk seksi tata tertib atau membuat struktur tandingan misalnya. Kita cukup memberdayakan apa yang sudah ada, memberikan polesan dan arahan secara pelan-pelan. Polesan tersebut berupa pengintegrasian antar hubungan seksi sehingga terjalin komunikasi yang baik. Adanya integrasi yang baik, perasaan saling mengenal dan saling memiliki ini lama kelamaan akan menuju ke suatu tujuan yang sama. Meskipun proses ini sangat lama, membutuhkan kesabaran, dan tentunya harus bekerja dengan hati. Ketika semuanya sudah 'terangkul' dalam suatu lingkaran besar, memiliki suatu solidaritas (kalau Kopassus bilangnya jiwa korsa) dan rasa saling memiliki yang tinggi, hingga akhirnya memiliki tujuan dan keinginan yang searah, maka 'segerombolan orang' ini akan lebih mudah dibawa ke tujuan yang dimaksud, tanpa meninggalkan tujuan awal kita. Maka, dimulailah proses-proses selanjutnya dengan penyusunan komitmen bersama menuju ke tujuan awal yang merupakan tujuan awal yang telah kita buat dan tujuan awal yang telah menjadi kesepakatan 'mereka'. Karena adanya satu kesamaan titik pandang, ini akan membuat laju gerak organisasi dalam menghadapi permasalahan menjadi sangat ringan. Dan dengan cara ini, penolakan terhadap sistem yang kita ciptakan bisa diminimalisir. Minimnya penolakan ini dapat disebabkan karena tiap individu atau tiap kelompok yang berkepentingan difasilitasi secara aktif. Maksudnya, diberikan ruang gerak yang cukup bebas dalam mengeskpresikan tujuannya. Tinggal pandai-pandainya seorang pemimpin mengelola konflik yang ada di dalamnya sehingga organisasi tidak disusupi oleh kepentingan-kepentingan yang menyesatkan.

Contoh Kasus

Contoh sederhana adalah pedagang kakilima di Solo. Proses penyatuan dan problem solving difasilitasi oleh Bapak Joko Widodo (Walikota Solo saat itu) dan Bapak FX Hadi Rudyatmo (Wawali Solo saat itu). Para pedagang kaki lima Solo tergabung dalam wadah-wadah tertentu, dan biasanya berbasiskan jenis, kepentingan, dan daerah. Cara fasilitator saat itu sangat indah, dengan memanfaatkan potensi yang ada: pedagang yang meskipun berdagang, tetap senang juga kumpul-kumpul, kongkow-kongkow, dan ngopi bareng untuk membicarakan suatu masalah. Maka fasilitator menggunakan cara ini: mengumpulkan semua pedagang kaki lima di Solo untuk kongkow-kongkow malam bersama walikota dan wawali Solo. Sederhana, mereka dikumpulkan pertama kali tujuannya hanya agar para pedagang saling kenal, bisa saling berbagi cerita, bisa tahu suka duka pedagang di zona yang lain. Pertemuan kedua, dibuat dengan format yang sama lagi, sudah mulai masuk ke tahapan yang lebih meningkat lagi: memikirkan konsep penataan pedagang kaki lima. Pertemuan kedua tentu sudah mulai cair karena pedagang sudah mulai saling kenal. Hingga ke tahapan-tahapan selanjutnya sampai muncul suatu keprihatinan yang sama: bahwa pertumbuhan pedagang kaki lima di Solo perlu ditata dan perlu dikontrol, dan ini perlu perhatian khusus dari pemerintah. Pihak pemerintah kala itu memiliki tujuan yang sama, namun tidak diutarakan secara gamblang, teratur, dan berbentuk sistem sejak awal ketika pertemuan pertama karena justru akan bubar semuanya. Pertemuan terus berlanjut hingga pedagang kaki lima tersebut menemukan solusi tersendiri untuk membuat dagangan mereka terlihat rapi, tertata, dan nyaman dikunjungi, meskipun ini sebenarnya juga difasilitasi pemkot (dalam hal ini adalah benar, karena seorang pemimpin dalam konsep empowerment ini hanyalah sebagai fasilitator). Hingga akhirnya penataan tahap 1 berhasil dilaksanakan di depan Solo Grand Mall. 

Kelemahan Sistem Empowerment

Setiap sistem pasti ada kelemahannya. Kelemahan terbesar dari sistem ini sebenarnya banyak berkaitan dengan sikap kepemimpinan seseorang. Diperlukan kepemimpinan yang sangat matang dari seorang pemimpin yang menjadi fasilitator dalam sistem empowerment dalam problem solving ini. Menjadi fasilitator artinya harus benar-benar netral dan tidak terbawa terhadap ambisi pribadi untuk sistem yang didambakan. Pemimpin dalam menjalankan sistem ini harus benar-benar berpegang pada konsep win-win solution, bukan berujung pada pemaksaan konsep awal. Konsep awal boleh dibuat, namun pandai-pandai juga fasilitator dalam membawa sekumpulan massa yang akan diolah tersebut mulai dari nol, digiring pelan-pelan pada konsep yang diharapkan, hingga terbentuk konsep yang pure dari mereka sendiri tanpa paksaan namun sesuai dengan konsep dasar dari pemimpin. Sehingga pelaksana lapangan tidak merasa 'dipaksa' untuk menjalankan sistem yang baru. Pemimpin harus benar-benar sosok yang kuat, mampu menggiring dengan halus, dan sabar tidak memaksakan kehendaknya. Ini susahnya yang pertama.
Kedua, pemimpin harus memiliki kesabaran dan menggunakan perasaan dalam menghandle komponen konflik. Sindrom pemimpin anyaran adalah menggebu-gebu, ingin serba cepat dengan hasil yang baik, kasar, dan penuh ambisi. Sifat seperti itu sangat rentan terhadap gagalnya sistem empowerment. Perlu perlahan-lahan dan perlunya seorang pemimpin merangkul komponen konflik tersebut untuk dapat duduk bersama, memiliki kesamaan jiwa dan perasaan, hingga timbul suatu penyelesaian yang baik.
Kelemahan ketiga, dan biasanya tidak disukai oleh pemimpin yang radikal, adalah waktu proses yang sangat lama. Empowerment ini sangat lama, karena berfokus pada perkembangan masing-masing individu, bukan kelompok. Masing-masing individu adalah independen, memiliki pemikiran sendiri, memiliki daya rasa, karya, dan karsa masing-masing. Maka perkembangan individu akan sangat penting dalam proses empowerment ini. Namun, dengan hasil kerja yang cukup lama dan ketekunan yang tinggi, saya berani jamin bahwa hasilnya tidak akan pernah mengecewakan.

Hari ini tentu masih banyak orang yang berpemikiran untuk menggunakan cara represif. Segeralah tinggalkan cara itu karena cara itu memang efektif untuk jangka pendek. Ketika Anda sudah turun dari kursi kepemimpinan, maka segala sistem yang telah Anda buat akan kembali diacuhkan dan segala-galanya akan menjadi seperti sediakalanya lagi. Dengan prinsip empowerment, tidak akan ada program kerja jangka pendek yang tiap tahun berubah-ubah. Karena prinsip empowerment adalah memberdayakan apa yang sudah ada, dikelola kembali, dimasukkan beberapa sistem baru, untuk dibawa menuju ke yang lebih baik sesuai tatanan yang dihadapkan. Indonesia sudah kebanyakan sistem. Maka jangan penuhi Indonesia dengan sistem-sistem yang baru lagi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar