Selasa, 01 November 2011

Kereta Semen, Masa Lalu yang Menjadi Kenangan

Naik kereta semen. Mungkin hanya sebagian saja orang yang pernah menaikinya karena kereta semen identik dengan angkutan semen, serta orang yang naik di dalamnya hanya orang-orang yang tidak berduit alias tidak bermodal. Kereta semen sendiri adalah sebuah kereta barang yang difungsikan oleh PT KAI untuk mengangkut semen. Menurut official websitenya, Kereta Semen tertutup (semen dalam zak) melayani trayek Gresik-Madiun-Jogjakarta, Gresik-Banyuwangi, Gresik-Malang, Cilacap-Tegal, Cilacap-Tasikmalaya, dan Cilacap-Jogjakarta-Surakarta-Semarang. Dulu tahun 2004 an kereta masih sistem 1 gandar (1 pasang roda pada setiap kruk as). Sekarang sudah memakai sistem 2 gandar yang diyakini lebih kuat, lebih stabil, dan lebih aman.
Jadi teringat jaman-jaman SMP dulu. Saya pernah naik kereta semen tersebut. Pertama kali naik bersama teman akrab saya yang sekarang berkuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Berawal dari ingin menyusuri rel kereta api dari Stasiun Jogjakarta (tugu) ke arah barat. Hingga kami kelelahan dan terpaksa mencari stasiun terdekat. Kala itu stasiun terdekat adalah stasiun Rewulu (daerah belakang depo pertamina Jl Wates). Kala itu kami langsung ke ruang kepala stasiun dan meminta seorang bapak-bapak untuk mencarikan kereta ke arah Kota Jogja atau solusi yang terbaik. Ternyata yang ada kala itu hanya kereta barang (semen) terakhir tujuan Cilacap, tapi akan berhenti di stasiun Wates (sebuah ibukota kabupaten Kulon Progo). Akhirnya, lampu signal pun dinyalakan merah, dan kereta barang berhenti. Kala itu, tempat yang tersisa hanya bordes (sebuah tempat kecil di dekat sambungan antar gerbong) di belakang lokomotif persis. Tempat lainnya sudah ditempati oleh para pemancing yang memang tiap sore pergi berbondong-bondong ke arah Kebumen dan Gombong. Karena letaknya di belakang loko persis, maka kalau lokomotif menyalakan semboyan 35 (klakson) maka rasa-rasanya dunia akan kiamat karena suaranya yang amat sangat keras (dalam kondisi malam hari, suara klakson kereta ini bisa terdengar sampai radius 9 km).
Pengalaman berikutnya adalah pengalaman bersama teman saya yang juga kuliah di PTS di Jogja. Kami berdua berangkat dari Stasiun Lempuyangan jam 1 siang (jadwal kereta semen lebih kurang ada 4. Jam 09.00, jam 11.00, jam 13.00, dan jam 15.00. Yang jam 15.00 ini jarang berangkat). Kami berdua naik yang gerbong bergandar 2 (satu-satunya gerbong bergandar 2, yang lainnya masih bergandar 1). Getarannya sangat dahsyat karena letaknya di tengah. Suspensinya sama sekali mati karena tidak ada muatan. Jika ada muatan semennya, maka suspensi akan lebih enak (jangan bayangkan seperti suspensi kereta penumpang, yang ada suspensi seperti di bak truk). Sampai di Kutoarjo pukul 14.00. Hari itu kebetulan sekali karena kereta semen tidak berhenti di stasiun kecil dan kebetulan juga, jam 14 itu jadwal masuknya kereta-kereta dari barat ke timur (jakarta, bandung ke Jogja-Solo-Surabaya). Kami menuju loket dan menanyakan harga tiket ke Jogja. Yang tercantum kala itu (tahun segitu belum ada Prambanan Express komuter dengan harga murah) Pasundan Ekspress (ekonomi) Rp 21.500, Fajar Utama Jogja dan Lodaya bisnis Rp 75.000, dan kereta-kereta eksekutif macam Argo Dwipangga dan Lodaya Eksekutif Rp 120.000. Kala itu kami hanya membawa uang tidak lebih dari Rp 20.000 tiap orang. Hingga akhirnya, kami mengambil keputusan nekat dengan naik tanpa tiket. Toh dulu pernah naik kereta ke Stasiun Maos Cilacap, ada orang gak beli tiket malah cuma bayar Rp 10.000 padahal harga tiket seharusnya Rp 30.000. Bermodal kenekatan dan kerelaan duduk di bordes, akhirnya membayar kondektur kereta Pasundan Ekspress dengan 2 lembar uang Rp 5.000 dan 2 lembar Rp 1.000 dan Pak Kondektur pun langsung pergi. Perjalanan selamat sampai Stasiun Lempuyangan Jogja, meskipun beberapa kali ada polisi khusus kereta api (Polsuska) yang berkali-kali meliaht kami dengan penuh curiga. Pengalaman selanjutnya, kebanyakan saya jalani sendirian saja karena sudah ada Prambanan Ekspress. Kalaupun tidak ada kereta bisa naik bis karena dari stasiun Kutoarjo-Kebumen-Gombong-dan Ijo kalau jalan ke jalan besar hanya sebentar saja.
Sekarang pengalaman nekat seperti itu sudah susah. Bisa-bisa bayar harus lebih mahal. Paling parah didorong keluar dari kereta. Masuk peron saja sekarang sudah lebih susah. Pengalaman nakal seperti ini juga mungkin akan mustahil bagi generasi muda saat ini. Hidup penuh kenekatan dan penuh keinginan untuk bertahanpun juga akan sulit. Semuanya ini karena kebijakan baru di PT KAI yang benar-benar mengharuskan beli tiket. Jika tidak beli tiket, maka harus turun di stasiun berikutnya. Dan yang membahagiakan, kondektur sekarang berani tegas menurunkan mereka di stasiun selanjutnya dan tidak sudi disogok. Semoga perubahan ini membawa kebaikan tersendiri bagi PT KAI. Tapi, tetap jangan lupakan golongan menengah kebawah yang juga tetap butuh bepergian. Masa untuk kereta Jogja-Kebumen mereka harus membayar Rp 31.500 untuk kereta ekonomi sementara bis saja sudah berani pasang tarif Rp 15.000? :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar