Kamis, 06 Oktober 2011

Minoritas Tidak Sama Dengan Nol Mutlak

"Menjadi minoritas bukan alasan untuk tidak bermasyarakat dan tidak berkarya."

Diskusi malam ini bersama dua orang pengurus UKMKK cukup mengena: memaknai arti sebuah kata 'minoritas'. Tak hanya minoritas dalam hal agama, tapi dalam segala hal. Baik itu Suku, Ras, kemampuan akademik, bahkan kepercayaan diri.
Menjadi kaum minoritas, tentu bukan yang diharapkan setiap orang. Bahkan semua orang pun pasti menginginkan tidak ada minoritas. Kalau bisa semuanya menjadi satu padu, cuma caranya saja yang salah dengan sedikit pemaksaan penyeragaman. Minoritas tidak perlu digabungkan dengan mayoritas, sehingga semuanya menjadi satu tidak ada perbedaan. Tidak ada perbedaan, itu rasanya akan sama saja seperti makan pagi semuanya isinya nasi. Tidak ada lauk pauk, piring dan sendok pun juga dari nasi. Hambar, kosong, blong, tidak mengena.
Kenapa sih minoritas kok identik dengan kata 'disingkirkan'? Sebenarnya bukan demikian. Perasaan pribadi saja yang membuat sekelompok manusia merasa 'disingkirkan' karena ia minoritas. Lebih tepatnya bukan karena mereka itu minoritas. Tapi memaksa diri menjadi minoritas dan menjadi semakin minoritas. Kecenderungannya adalah begini, tiap orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok yang dianggap masyarakat sebagai kelompok 'minoritas' biasanya akan semakin tersudut dan membentuk kelompok-kelompok yang sangat eksklusif, tertutup, dan orang lain tidak diperkenankan untuk tahu dan kelompok eksklusif ini tidak mau tahu dengan kondisi luar kelompok mereka. Keberadaan minoritas yang kemudian membentuk kelompok-kelompok eksklusif inilah yang membuat kelompok minoritas akan semakin menjadi minoritas. Menjadi semakin minoritas dan tertutup akan membuat kelompok tersebut disingkirkan bahkan lebih parahnya ditindas.
Menjadi minoritas bukanlah halangan untuk terus bermasyarakat dan terus berkarya. Justru inilah yang harus dilakukan. Justru jangan membuat kelompok-kelompok yang semakin eksklusif. Justru orang-orang yang tergolong dalam minoritas, dalam semua hal lho ya, sekali lagi dalam semua hal karena konteksnya sangat luas, harus berbaur, bahkan dengan yang mayoritas sekalipun. Bukankah akan segelas teh susu akan menjadi sangat nikmat bila di tengah-tengah molekul air yang banyak, terdapat molekul-molekul teh, susu, dan gula? Demikian juga dengan kehidupan. Jika sebuah kehidupan yang kecil-kecil itu menjadi satu yang besar, akan lebih enak dan indah. Bayangkan bila kita membeli teh susu, ternyata molekul-molekul air itu berkumpul sendiri, begitu juga dengan molekul susu, gula, dan teh. Rasanya akan sangat lucu, bahkan aneh. Kadang-kadang manis, kadang sepet, kadang tawar, dan lain sebagainya.
Menjadi minoritas juga bukan berarti tidak berkarya sama sekali. Tidak mau berkarya akan membuat diri semakin terkucil dan jauh dari peradaban. Ketika menjadi minoritas dalam segala hal, berkaryalah karena karya itulah yang akan menunjukkan eksistensi seseorang, meskipun dalam karya tersebut harus benar-benar berkarya dengan benar, tidak serampangan, dan menunjukkan hasil yang sesuai (sesuai belum tentu bagus dan bagus belum tentu sesuai). Tetaplah berkarya, tentu pada bidang yang sesuai, meskipun minoritas. Misalnya, meskipun tercatat sebagai ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) harus tetap berkarya di tengah masyarakat. Bisa juga dengan aktif dalam olahraga, membuat barang-barang kerajinan, dan lain sebagainya. Ketika hanya berdiam diri dan terkungkung dalam ketakutan, maka hal itu akan membuat diri semakin menjadi minoritas yang sedalam-dalamnya.
Minoritas bukan alasan untuk membentuk kelompok-kelompok kecil yang eksklusif yang membuat semakin menjadi minoritas. Minoritas bukan juga berarti sebuah alasan untuk tidak bermasyarakat dan tidak berkarya. Indahnya kehidupan, jika elemen-elemen kehidupan berbaur menjadi satu, membentuk sebuah bentukan dengan warna, jiwa, dan rasa yang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar