Rabu, 05 Oktober 2011

Acuh Tak Acuh, Belum Tentu Sebuah Sikap Dewasa

Acuh tak acuh. Lebih kurang itulah sebuah gambaran seseorang mengenai sebuah sikap 'dewasa'. Dewasa sering dikaitkan dengan perkataan : "Selesaikan sendiri masalahmu, itu bukan urusanku, itu urusanmu!" atau kata-kata yang lain. Ungkapan seperti itu, dapat disamadengankan dengan sikap yang acuh tak acuh.
Dewasa. Sebuah kata yang menggelitik, bila digali akan banyak sekali interpretasinya. Dewasa itu pilihan katanya, meskipun tidak sepenuhnya demikian. Sering kali kata 'dewasa' disamaartikan dengan tindakan acuh tak acuh kepada teman. Acuh tak acuh tidak selamanya merupakan sebuah cerminan sikap dewasa. Saya menganggapnya, justru sebagai sikap yang egois. Misalkan kita seorang pemimpin sebuah kelompok. Lalu ada yang bertanya secara detail mengenai tugasnya. Lalu kita berkata bahwa dia sudah dewasa, kenapa persoalan demikian saja tidak bisa diselesaikan sendiri. Seorang pemimpin tersebut tidak salah, namun tidak juga benar. Sikap anggotanya tersebut juga tidak salah, dan juga tidak benar. Pemimpin tersebut, seharusnya mampu mengarahkan anggotanya tersebut dengan baik. Bukannya acuh tak acuh dengan anggotanya tersebut. Sementara anggotanya tersebut juga harus menginterpretasikan dengan baik tugas yang diberikan oleh pemimpinnya tersebut.
Jadi, dewasa itu seperti apa? Full dengan rasa acuh tak acuh itu bukan dewasa. Itu konyol. Acuh tak acuh akan menimbulkan sikap yang egois. Dan egois itu, sama sekali tidak dewasa. Dewasa itu, menurut saya, adalah mampu bekerja sesuai porsinya, dan pandai menempatkan diri, baik dalam tutur kata, sikap, maupun perilaku. Bila ada orang yang bertanya mengenai suatu hal kepada kita karena kita dianggap yang lebih tahu, maka jawablah itu dengan jawaban yang seharusnya. Bukan jawaban "Lho, kok aku? Kamu harusnya bisa sendiri dong." Begitu juga bila bukan porsi kita, hendaknya bertanya kepada yang mempunyai porsinya. Pada intinya adalah sikap saling memahami satu sama lain, saling menjaga satu sama lain. Itulah dewasa. Ketika jiwa kekanak-kanakan masih terjaga dalam hidup, semisal menjadi egois, sangat acuh tak acuh, menjadi serigala bagi temannya sendiri, hal itu tentu harus diminimalisir. Orang dewasa memiliki segala sesuatu yang lebih terasah dan lebih baik daripada seorang anak kecil. Sehingga, seorang yang sudah dewasa, harus lebih mampu, terutama dalam optimalisasi diri dan pengaturan ritme perasaan.
Begitu juga dengan kemampuan menempatkan diri. Tidak mungkin kita dengan teman-teman sendiri, atau sahabat kemudian berbicara dengan bahasa krama alus. Akan sangat lucu ketika kita ngobrol dengan sahabat di warung kopi dengan bahasa krama alus dengan gelagat mirip abdi dalem. Akan sangat bodoh juga ketika kita berbicara dengan kakek atau nenek dengan bahasa gaul, bahasa Jawa ngoko, atau bahkan bahasa walikan. Pada intinya, pandai menempatkan diri. Boleh ketika berbicara dengan teman-teman selalu menggunakan kata "Cuk, kowe ki...." dan lain sebagainya. Tapi jangan sampai gaya percakapan tersebut dipakai untuk berbicara dengan orang yang lebih tua, atau yang kita hormati.
Dewasa, dewasa adalah segalanya. Kata dewasa mudah diucapkan dengan bangganya, bahwa umur 17 sudah dewasa. Tapi, dewasa yang sesungguhnya sangat kompleks dan masih perlu banyak yang diintrospeksi. Dewasa tidak hanya sekedar acuh tak acuh pada urusan orang lain (ini urusanku, dan itu urusanmu) meski privasi juga diperlukan. Kemampuan otak, perasaan, dan aspek psikomotorik diperlukan untuk menuju kedewasaan. Pertanyaan selanjutnya, sudahkah Anda dewasa sekarang? Dewasa tidak berarti tua, dan tua belum tentu dewasa. Selamat berintrospeksi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar