Sabtu, 02 April 2011

Kenapa Masih Ada?

Kejadian ini baru saya alami tidak lebih dari 1 jam yang lalu dan kejadiannya di depan kos saya.
Saat itu saya sedang kalut karena toko digital printing yang saya kunjungi ini sudah tertutup rapat. Padahal ada barang pesanan yang belum saya ambil. Saya masih sibuk menghubungi teman saya yang punya titipan tersebut agar bisa memberikan solusi yang terbaik. Ketika menunggu di depan toko yang memang lokasinya persis di depan kos saya ini, saya sedikit melamun. Tiba-tiba dari arah utara berjalan seseorang dengan wajah yang sangat kuyu dan lesu. Ia hanya menenteng sebuah kresek kecil berwarna hitam yang entah apa itu isinya. Setelah dekat, ternyata ia adalah sesosok lelaki tua yang berjalan dengan mata yang berkaca-kaca. Bapak itu berjalan mengambil jalan di belakang saya berdiri. Saya terus menatap bapak tersebut.
Bapak tersebut kemudian berhenti sejenak dan bertanya kepada saya, matanya masih berkaca-kaca, dan nada bicaranya sedikit tersendat karena kesedihannya.
"Mas, nuwun sewu. Bratang tasih tebih mboten nggih?" (Mas, Permisi, Bratang masih jauh tidak ya?)
"Bratang pundi nggih Pak? Terminal?" (Bratang mana ya Pak? Terminal? *Bratang adalah nama daerah di Surabaya)
"Wah, pokoke Bratang Mas. Kulo mboten ngertos Suroboyo." (Wah, pokoknya Bratang Mas. Saya tidak tahu Surabaya)
"Wah, mergi niki mangkih lurus teras mawon Pak. Pun, panjenengan nurut mergi niki mawon." (Wah, jalan ini nanti lurus terus saja. Sudah, nanti Anda mengikuti jalan ini saja.)
"Pundi nggih niku Mas?" (Mana itu Mas)
"Pun Pak, niki mangkih lurus teras mawon. Mangkih bangjoo ingkang sekawan. Lha niku Bratang" (Sudahlah Pak, ini nanti lurus saja terus. Nanti lampu lalu lintas yang keempat. Nah, situ itu Bratang)
"Tebih mboten nggih Mas? Jarake kinten2 pinten?" (Jauh tidak ya Mas? Jaraknya kira-kira berapa?)
"Waduh Pak, nggih sawetawis. Kinten2 2 ngantos 3 kilo Pak." (Waduh, ya lumayan Pak. Kira-kira ya 2 sampai 3 kilo Pak)
"Waduh..." Bapak ini mengambil napas sejenak, matanya berkaca-kaca dan wajahnya keliahtan bingung. Lalu saya menyambung perkataan lagi.
"Lho, lha Bapak niku saking pundi?" (Lho, lha Bapak ini dari mana?)
"Ngeten Mas. Kulo dhek wingi niku nunut rencang kulo. Kulo niki saking dusun Kenjer-Kenjer daerah pinggir laut pokoke (Kenjeran maksudnya). Kulo disanjangi rencang kulo menawi wonten damelan dados buruh bangunan. Lha pun dugi Kenjer-Kenjer wau kulo ditinggal kalih rencang kulo wau. Kulo nggih bingung mboten ngertos Suroboyo." (Begini Mas. Saya beberapa hari lalu ikut teman saya. Saya ini dari Kenjer-Kenjer yang daerah pinggir laut. Saya dibilangi kalau ada kerja menjadi buruh bangunan di sana. Lha setelah sampai Kenjer-Kenjer saya ditinggal teman saya tadi. Saya juga bingung, tidak tahu Surabaya.) Bapak ini kembali berkaca-kaca dan hampir saja menangis.
"Lho, Bapak aslinipun pundi?" (Bapak aslinya mana?)
"Kulo asli Kediri Mas." (Saya asli Kediri Mas)
"Bapak niki rencananipun ajeng pripun? Nopo ajeng nitih bis saking Bratang?" (Bapak ini rencananya bagaimana? Apa akan naik bis dari Bratang?)
"Wau kulo disanjangi pak Becak Mas. Kulo disanjangi mangkih mlampah mawon teng Bratang. Lajeng mangkih nunut truk. Kulo niki sampun 1 dinten mlampah Mas." (Tadi saya dibilangi oleh Pak Becak Mas. Saya disuruh untuk berjalan ke arah Bratang. Lalu nanti ikut truk. Saya ini sudah seharian jalan kaki Mas.)
"Wah, monggo Pak kulo dherekke mawon teng Bratang. Kulo mundhut sepedah motor sekedhap nggih..." (Wah, mari Pak saya antarkan saja sampai Bratang. Saya ambil sepeda motor sebentar...)
"Ampun Mas, saestu. Pun kulo mlampah kemawon..." (Jangan Mas, serius. Sudah. saya jalan saja...)
"Lho, mboten nopo2 Pak...mangkih kulo dherekaken dhateng Bratang...Monggo..." (Lho, tidak apa-apa Pak. Nanti saya antarkan ke Bratang. Mari...)
"Walah Mas, saestu Mas. Pun kulo mlampah mawon. O nggih Mas. Menawi Waru niku tebih mboten saking mriki? Wau kalih Pak Becake menawi teng Bratang mboten wonten kulo disanjangi teng waru. Mriko kathah truk" (Waduh Mas, serius mas. Sudah saya jalan kaki saja. Oh iya Mas. Kalau Waru itu jauh tidak ya dari sini? Tadi sama Pak Becaknya kalau di Bratang tidak ada saya dibilangi untuk pergi ke Waru. Disana banyak truk)
"Waduh, niku malah tebih malih pak. Kinten2 7 kilonan saking mriki. Pun Pak Monggo kulo dherekke mawon." (Waduh, itu malah lebih jauh lagi pak. Kira-kira 7 kilonan dari sini. Sudah Pak, mari saya antarkan saja.)
"Astagfirullah!! Pun Mas mboten usah. Saestu. Nggih pun Nggih Mas. Kulo tak mlampah mawon. Matur suwun nggih Mas." (Astaghfirullah!! Sudah mas, tidak usah. Serius. Ya sudah ya Mas. Saya jalan kaki saja. Terima kasih banyak ya Mas.)
Saya pun hanya terdiam terpaku. Seandainya Bapak itu mau, saya antarkan sampai ke Bungur sekalian dan biaya ke Kediri akan saya biayai.
Bukannya apa-apa. Saya menyadari bahwa Surabaya ini adalah sebuah kota yang sangat besar dan kejam. Selama saya hidup di Jogja, belum pernah saya menemui hal-hal seperti ini. Pernah menemukan pun hanya orang-orang sekitar Jogja saja (mungkin saya jadi teringat cerita orang tua saya yang menemukan sekeluarga yang pulang jalan kaki dari Magelang ke Gunung Kidul). Artinya, pasti banyak sekali orang dengan kasus seperti Bapak yang saya temukan tadi. Sebelumnya saya pernah bertemu orang seperti itu. Juga sama, bapak-bapak usia 40 tahunan. Beliau sedang berusaha untuk menyelesaikan konflik tanahnya di Lombok, NTB. Sebenarnya beliau kaya, tapi karena apes, beliau hanya punya uang 200 ribu untuk pulang ke Boyolali, Jateng. 2 HPnya dicopet orang, uang di ATM habis, baju pun dijual. Akhirnya beliau nunut truk dari Lombok ke Surabaya. 100 ribunya untuk bayar truk, 100 ribu sisanya untuk biaya makan dan transport bis dari Surabaya ke Boyolali.
Kembali ke cerita dan topik awal. Banyak sekali kasus seperti itu. Ditipu temannya sendiri, lalu ditinggal begitu saja. Menurut saya, ulah temannya itu benar-benar tidak manusiawi. Apa yang dilakukannya tidak mencerminkan ulah manusia. Kasus demikian ini sangat banyak terjadi di kota-kota metropolitan, seperti Surabaya, Jakarta, Denpasar bahkan mungkin Medan. Artinya apa? Kita perlu waspada. Beruntung kita yang sudah mengenal internet ini adalah orang-orang yang berpendidikan. Artinya paham sedikit-sedikit mengenai hal itu. Bagaimana dengan orang-orang luar di sekitar kita? Bukankah betapa kasihannya bila orang-orang tersebut menjadi korban penipuan yang modusnya tidak jelas demikian.
Mari, kita bantu ringankan beban saudara kita yang demikian ini. Jika memang menemukan orang yang ditipu di kota orang, berikanlah sedikit kebutuhannya yang sekiranya bisa kita bantu. Asalkan tetap teliti, dan jangan sampai kita yang menjadi korban penipuan. Berkah dalem.

1 komentar: