Senin, 18 Oktober 2010

Wonogiri Aku Kan Kembali


Kenangan beralih ke 2 tahun yang lalu, kala senja memisahkan Wonogiri dan Jogjakarta, dengan sebuah bis mini dan sepotong kenangan cerita akan kehidupan murni pedesaan.
Sebuah pelajaran yang takkan didapatkan di kota manapun. Perjalanan bisa ditempuh melalui Kota Solo ke arah selatan, maupun melalui Wonosari ke arah timur, arah Pacitan. 3 jam dari kota Solo dan 2 jam dari Wonosari. Bukan sebuah kota yang besar dan ber mall banyak, melainkan sebuah padang tandus dengan tanaman yang bisa dibilang cukup menghijau, dengan beberapa rumah khas pedesaan yang menjadi ciri khas daerah selatan Pulau Jawa. Jalan yang ada di sana bukanlah jalan hotmix yang sangat halus, seperti yang pernah diidam-idamkan melalu JJLS (Jalur Jalan Lintas Selatan). Jalan yang ada justru hotmix yang sudah ada mungkin sejak jaman Orde Baru dan hingga kini hanya ditambal sulam, menyebabkan jalan bergelombang parah.
Tempatku ini memang masuk cukup jauh dari jalan aspal utama Pracimantoro-Baturetno. Sekitar satu kilometer, mepet dengan Bengawan Solo. Sebuah dusun dengan rumah yang agak berjauhan. Setidaknya ada jarak 10 meter antar rumah, namun tidak ada jarak yang membatasi warga-warganya untuk terus berkomunikasi satu sama lain.
Banyak nilai yang ditanamkan di sana. Salah satunya adalah bagaimana menjalin relasi dan berkomunikasi. Di sana informasi dapat dengan sangat cepat beredar meskipun antar rumah sangat berjauhan. Teknologinya kalah dengan penyebaran informasi melalui SMS. Tiap tingkah laku yang dilakukan akan langsung diketahui oleh seluruh warga masyarakat sebagai imbas dari jaringan komunikasi yang sangat baik dan kuat. Yang membuat banyak orang kota merasa kikuk adalah bahwa kebiasaan main ke rumah teman bisa jadi membuat malu diri sendiri. Suatu ketika, saya bertandang ke rumah live in teman saya yang ada di seberang rumah saya. Saya pergi kesitu karena diundang oleh teman saya. Di tempat itu saya disuguhi berbagai makanan dan tentunya sambil menonton TV. Tiba-tiba saya dipanggil ibu angkat saya. Sampai di rumah, ibu angkat mengatakan bahwa hal tersebut sangat memalukan. Itu artinya sama saja meminta makanan kepada tetangga. Inilah pelajaran yang tidak diperoleh melalui kehidupan di kota maupun melalui pendidikan formal. Anak muda jaman sekarang dengan ringan dan enaknya pergi ke rumah temannya untuk sekedar minta makanan tanpa basa-basi.
Banyak sekali pelajaran yang saya dapat. Apa yang belum pernah kualami, aku alami sendiri di tempat itu. Membawa seikat daun hasil 'ngarit' dengan sepeda dan dipanggul. Merawat ladang yang ditumbuhi banyak tanaman liar, dan merasakan suasana desa yang penuh dengan keramahan dan senyuman antar warganya.
Satu yang sangat tidak akan pernah dilupakan ketika bertandang ke Wonogiri. Ketika berjalan menyusuri jalan desa, satu yang akan mereka katakan pada kita :
"Monggo Mas, mampir rumiyin. Nge-teh rumiyin Mas." (Mari mas, mampir dulu. Minum teh dulu)
Dan itu semua dilaksanakan secara tulus ikhlas dan gratis ketika kita benar-benar masuk ke rumahnya, sekalipun kita orang asing yang baru saja datang ke tempat itu. Sungguh suatu ikatan persaudaraan di pedesaan yang benar-benar layak dirindukan. Bagaimana di kota? Boro-boro bilang "Mampir Mas", yang ada kita justru diusir oleh gongongan anjing galak yang memang telah sengaja disiapkan agar tidak ada orang yang sudi mampir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar