Kamis, 21 Oktober 2010

SECUIL TROTOAR SURABAYA

Siang hari tanggal 20 Oktober 2010 merupakan siang dengan panas yang tidak terlalu menyengat. Sejak tadi saya keluar dari gerbang FKG Unair, tempat saya menempuh ilmu dan terpaksa mengalami banyak hal, saya melihat ada banyak sepeda motor dengan membawa umbul-umbul, spanduk, atau apalah yang mencerminkan sebuah demonstrasi. Saya acuh dengan hal itu.
Saya terus berjalan keluar FKG, belok ke kanan dan naik ke jembatan penyeberangan. Perasaan aman dan nyaman melingkupi diri saya saat itu. Jalan di bawah jembatan penyeberangan (Jl Prof Moestopo) sangat ramai siang itu. Menunggu 10 menit saja belum tentu bisa menyeberang. Perasaan aman lebih terasa lagi di atas jembatan penyeberangan karena di jembatan ini sudah ada CCTV nya yang bisa menjamin keamanan dan keselamatan pejalan kaki. Saya merasa, ini sebuah hal yang baik di sebuah kota yang sudah metropolitan, namun sebenarnya baru beranjak menuju ke metropolitan ini.
Saya berjalan terus menyusuri trotoar RSU Dr Soetomo ke arah barat, kemudian ke arah selatan karena tujuan saya saat itu adalah Jl. Dharmawangsa. Saya merasa cukup nyaman. Akses trotoar yang dibuat indah dan rapi, terkesan masih baru. Juga beberapa pohon perindang yang terkesan dipaksakan, meskipun masih terlihat cukup gersang dan terasa panas, namun cukup membuat teduh.
Rasa nyaman saya kembali hilang dan merasa sama di kota-kota lainnya ketika mulai masuk ke trotoar di Jl Dharmawangsa. Ada becak yang nangkring di atas trotoar, ada lapak pedagang, ada juga taksi, ada juga orang nongkrong sehingga menutupi trotoar. Lebih parah lagi ketika melewati pertigaan Jl Airlangga. Menyeberang ke arah barat sangat susah. Motor tidak bisa diprediksi. Awalnya ngerem, tiba-tiba kok ngegas. Niatnya tidak ikhlas memberikan jalan pada pejalan kaki. Ditambah lagi yang sangat membuat ironis, trotoar yang sedemikian lebarnya dan bagusnya tidak lagi hanya untuk mendirikan lapak. Melainkan untuk tempat parkir sepeda motor, dengan tukang parkir. Dahsyat!!
Sebuah kesan yang ironis muncul dari mulut saya. Di tengah kemegahan gedung bertingkat dengan arsitektur yang menawan, ternyata aspek-aspek dan hak-hak pejalan kaki ditinggalkan begitu saja. Sebagai warga baru, saya sempat mengamati bahwa pengguna jalan di sekitar RSU adalah mahasiswa Universitas Airlangga yang ngekos atau tinggal di dekat daerah tersebut. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang kos-kosannya hanya di belakang kampus, tapi ke kampusnya bawa mobil. "Panas!" katanya.
Nah, seandainya pemerintah kota Surabaya bermurah hati sedikit saja, dengan memberikan kesempatan kepada pedestrian, terutama sarana perindang trotoar (pepohonan menahun atau tanaman menjalar), pasti yang kos-kosannya dekat akan lebih memilih untuk berjalan kaki. Dan semakin banyaknya orang berjalan kaki, maka jumlah kendaraan di jalan raya akan menjadi semakin sedikit. Efek jangka panjangnya adalah mengurangi kemacetan.
Seandainya memang rencana perbaikan sarana dan penambahan sarana peneduhan ini, maka akan membawa dampak yang positif bagi perkembangan lalu lintas di Surabaya. Dan fasilitas yang ada saat ini bukannya suatu hal yang mubazir. Melainkan merupakan sebuah kebanggaan tersendiri yang perlu dirawat dan dikembangkan demi kepentingan orang banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar