Senin, 25 Oktober 2010

BROMO SEPENUH HATI



Sudah 2 tahun yang lalu kepergian saya yang terakhir ke Bromo setelah lebih kurang 8 tahun yang lalu pernah menuju Bromo. Kedua-duanya saya lakukan dengan jalan
yang berbeda. 8 tahun yang lalu saya menggunakan angkot hijau lumut dari RM Panorama Probolinggo menuju Cemoro Lawang, kemudian dilanjutkan dengan Hardtop yang memang sengaja disewa biro perjalanan. 2 tahun lalu saya menggunakan angkot hijau
lumut dari Terminal Bayuangga Probolinggo dan dilanjutkan dengan berjalan kaki hingga ke Pananjakan.
Sebuah perjalanan yang sangat mengesankan bagi saya 2 tahun silam. Kala itu, saya menilai perjalanan saya ini penuh perjuangan. Begitu bus AKAS dari Surabaya yang mengangkut saya masuk terminal Probolinggo, saya dan teman saya langsung turun dari bus dan memasang tampang keras agar tak ditawari macam-macam. Begitu keluar terminal, saya langsung mencari angkot berwarna hijau lumut itu. Segera saya dan teman saya naik. Namun apa daya
, ternyata kami harus menunggu 2 jam lebih. Bahkan saya sempat mengancam sopir angkot untuk turun dari angkot dan tidak jadi naik angkot ke Bromo. Plan B saya saat itu adalah mencari bus jurusan Lumajang dan menginap di rumah kakek saya di Yosowilangun, Lumajang. Ternyata ancaman saya manjur. Angkot segera berangkat namun ke dalam terminal. Di dalam terminal kami diajak kong kalikong untuk menipu turis (namun itu adalah tarif sebenarnya). Satu angkot biaya sewanya Rp 300.000 cukup oversize sampai 20 orang. Kami disuruh membayar Rp 120.000. Sementara sepasang kekasih dari Inggris tersebut diminta membayar Rp 150.000. Kami disuruh mengaku membayar Rp 150.000. Akhirnya kami menurut saja daripada tidak sampai Bromo.
Pukul 19.00 kami sampai di Cemoro Lawang, pos terakhir sebelum perjalanan ke Pananjakan atau Bromo. Kami menginap di salah satu homestay yang murah. Cukup Rp 75.000 untuk 10 orang. Pagi-pagi
sekali pukul 02.30 kami sudah siap untuk mendaki Pananjakan melalui jalur potong kompas (jalur hiking). Namun, ada yang kurang. Kami tidak membawa senter!! Akhirnya kami menunggu turis yang membawa senter yang juga akan melakukan hiking ke Pananjakan. Setelah sang turis keluar dan berjalan, kami berdua membuntuti dari belakang agak jauh, seperti seolah-olah sedang mengintai seseorang. Harapan kami adalah kedua turis tersebut tidak berhenti dan mengajak kami ngobrol. Apa daya ternyata turis tersebut berhenti di pinggir tebing dan memaksa kami untuk mengobrol dengannya menggunakan bahasa Inggris yang sangat cepat dan tidak jelas. Ternyata, kedua turis tersebut berasal dari Inggris. Jelas saja berpuluh-puluh kata "Pardon?" dan "I'm sorry, I can't understand you" keluar begitu saja dari mulut kami hingga sang turis mengartikan
setiap katanya dengan gerakan tangannya.
Perjalanan malam kami lanjutkan. Ada beberapa misteri yang sempat kami temukan. Ada hardtop dengan pengemudi yang berteriak mencari orang, ada sekelebat bayangan putih, dan ada cahaya aneh. Kami juga sempat tersesat dan menemui anak tangga yang berujung pada sebuah tebing yang sangat tinggi, sehingga perlu menyabung nyawa untuk melewatinya. Akhirnya, pukuul 04.00 perjalanan kami mentok di sebuah gazebo yang berada di pinggir jurang dengan view Bromo yang sangat jelas. Kami menghabiskan waktu kami dengan berbagi cerita, berbagi foto, dan berbagi Tim-Tam rasa coklat yang cukup memberi energi. Tepat pukul 05.30 matahari terbit, dan kami sudah siap naik tebing untuk menuju Pananjakan. Kami bertemu dua orang turis dari Perancis yang berada
di atas tebing. Mereka mengatakan bahwa mereka tersesat semalaman suntuk dan hanya berputar di gunung tersebut saja. Akhirnya, setelah mereka lewat, kami berpamitan dengan turis asal Inggris tadi yang tetap ingin tinggal di gazebo itu. Kami melanjutkan perjalanan melalui jalan setapak dengan lebar rata-rata tak sampai 2 meter, namun dengan view yang sangat indah dan tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Pukul 06.30 kami sampai di Pananjakan. Para pengunjung sudah beranjak turun karena tidak ada lagi yang bisa ditonton. Kami mampir ke warung sejenak menikmati mi hangat dan milo hangat. Setelah tenaga pulih, baru kami menuju Gardu Pandang Pananjakan dan melihat indahnya Bapak dan Anak : Semeru dan Bromo.
Begitu kami puas berfoto, kami langsung berniat turun ke Bromo untuk jalan kaki. Karena jarak yang terlalu jauh, kami akhirnya mencegat ojek seharga Rp 60.000 untuk 2 orang (cenglu) dari Pananjakan hingga Cemoro Lawang. Kami memperoleh banyak cerita dari tukang ojek mengenai daerah sekitar Bromo. Mulai dari rawan kejahatan hingga budaya dan perjuangan masyarakat sekitar. Lebih kurang perjalanan dari Pananjakan ke Bromo 15 menit yang kemudian kami lanjutkan dengan kegiatan naik ke Bromo sambil menghitung anak tangga Bromo dan ketika turun membuat debu pasir bercapur tahi kuda hingga dimarahi oleh pengunjung lainnya. Perjalanan dilanjutkan menuju Cemoro Lawang untuk mandi dan berangkat ke Probolinggo.
Kali ini, untuk pulang ke Probolinggo benar-benar menjadi backpacker sejati bermodalkan jempol karena tidak ada angkot hijau lumut yang lewat. Kami berjalan 2 km ke arah Probolinggo. Ketika ada truck, kami mengacungkan jempol kami meminta tumpangan. Untungnya ada truck merah yang bersedia menjadi tumpangan bagi kami hingga Pasar sebelum kota Probolinggo.
Sebuah perjalanan yang menyenangkan meskipun sedikit menyusahkan. Segalanya membuat diri menjadi lebih dewasa dan makin mencintai alam. Bukan hanya wanita saja yang layak untuk dicintai, melainkan juga alam. Maka bersetubuhlah dengan alam saat ini juga dan kamu akan peroleh jiwanya dalam hatimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar