Kamis, 22 Oktober 2009

Jogja Dengan Transportasinya

Jaman SMP, lebih kurang 3 tahun lalu, saya sangat senang dan hobi menggunakan angkutan kota. Selain murah, relative cepat, bisa berinteraksi dengan banyak orang, juga lebih membuat saya sehat (harus berjalan dari jalan besar ke dusun lebih kurang sejauh 2-3 kilometer). Jaman dahulu pula, di Jogja bisa dikatakan angkutan umum menjadi primadona bagi masyarakat. Mulai dari pelajar hingga pegawai sekalipun.

Tak lama ini pula telah diluncurkan sebuah program untuk jangka panjang mengatasi kemacetan di Jogja. Dialah Trans Jogja. Saya acungi 4 jempol untuk pemkot yang telah memikirkan Jogja di masa depan. Saya bangga dengan Trans Jogja, dan secara keseluruhan angkutan umum di Jogja. Mulai dari becak (symbol cirri khas Jogja), Taxi (yang beberapa waktu lalu menambah armada baru dan berkembang jadi Taxi Motor), Kereta Api (dengan komuternya Prambanan Express), bus kota (yang dengan cepat membawa penumpang, biar sedikit ugal-ugalan), dan trans jogja (dengan berbagai bus yang mulai perlahan menurun kualitasnya).

Ada yang ingin saya sampaikan disini mengenai angkutan umum kita. Pertama-tama, masalah ini mulai muncul ketika TJ (sebutan akrab Trans Jogja) pertama kali muncul. Saya di Jogja ini selalu mengendarai sepeda motor kemanapun saya pergi karena memang saya hanya punya motor. Saya suatu ketika membandingkan trans jogja dengan naik motor. Rumah saya di daerah Mlati. TJ tidak sampai daerah itu, dan terpaksa harus titip motor di terminal Jombor. Lalu naik jalur 2B untuk sampai di UNY. Lalu nyebrang halte, ganti jalur 1B, turun di shelter De Britto. Lalu pulangnya, naik jalur 1A dang anti 2 A di UNY. Turun Jombor lagi. Kita hitung keuanggannya : titip motor 2000, naik TJ 2B 3000, naik TJ 1B karena transit luar halte, jadinya bayar lagi 3000. Naik TJ 1A dan 2B karena transit satu halte bayar 3000. Totalnya adalah 11000. Waktu tempuh dari Jombor, waktu itu saya berangkat jam 6.15 (bus keluar dari Halte Jombor). Tiba di shelter De Britto jaln 07.02. Artinya itu memerlukan waktu 47 menit.

Suatu ketika, saya juga naik bus kota dari depan Hartz Chicken Buffet jalan Magelang hingga depan gedung Wanita. Perjalanan memakan waktu 45 menit dengan tariff 5000 rupiah. Nah loh? Kalau naik motor lah bisa dihitung. Untuk PP dari rumah sampai sekolah kembali ke rumah lagi saja, saya Cuma butuh sekitar 1 strip bensin (sekitar 0.5 liter) dengan nominal lebih kurang 3000. Waktu tempuh dari rumah ke sekolah (10 km) sekitar maksimal 20 menit dengan kecepatan rata-rata 40-60 km/j. Jarak dari sekolah ke rumah lewat Tugu Yogya sekitar 11 km dengan waktu tempuh maksimal 30 menit bila macet.

Mungkin sekilas ini mencerminkan mengapa banyak masyarakat saat ini lebih mending naik kendaraan pribadi. Perhitungan matematis ini mutlak diperhitungkan. Masak sehari habis 9000 untuk transport dengan waktu tempuh hampir 3 kali naik kendaraan pribadi? Ini yang perlu menjadi bahan introspeksi. Bagaimana membuat sebuah moda transportasi tepat waktu dan murah. Lantas penggunaan kendaraan mulai dibatasi. Ini akan lebih fair ketimbang membatasi penggunaan kendaraan pribadi, namun angkutan umum masih carut marut.

Bravo untuk pemerintah Jogjakarta. Kembangkan kembali transportasi kita agar Jogja tidak lagi mendapat predikat Jogja Kota Seribu Kendaraan. Mari, ciptakan Jogja yang minim kendaraan. Minim kendaraan, minim polusi juga kan?

1 komentar: